Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[REVIEW] Go, Film dengan Efek Rashomon Paling Terabaikan

Go
Go (dok. Sony Pictures Classics/Go)

Sebagai salah satu teknik bercerita dalam pembuatan film, Efek Rashomon memang punya daya pikat tinggi. Selain menambah kompleksitas dan kedalaman cerita, Efek Rashomon jadi punya daya kejut dan tentunya mengingatkan penonton kalau selalu ada lebih dari 1 sisi dalam setiap cerita. Terbukti beberapa film yang pakai teknik ini berhasil meraih sukses, sebut saja Rashomon (1950), Pulp Fiction (1994), dan yang terbaru Monster (2023), Maharaja (2024), serta Weapons (2025).

Namun, ada satu film yang sepertinya terlewat dari radar para penikmat film. Go judulnya, sebuah film indie Amerika yang dirilis pada akhir 90-an. Ia ditulis John August (Charlie and the Chocolate Factory, Big Fish), disutradarai Doug Liman (Swingers, The Bourne Identity), dan melibatkan beberapa aktor muda potensial macam Katie Holmes, Sarah Polley, Desmond Askew, dan Timothy Olyphant.

Kini diberi label cult-classic dan jadi favorit pengguna Letterboxd, Go sering disandingkan dengan Pulp Fiction dari segi genre dan kemiripan struktur. Tentu dengan pesona mereka sendiri. Seperti apa filmnya dan seberapa perlu untuk ditonton? Ini ulasan film Go (1999), khusus buatmu.

1. Salah satu film yang berhasil memakai POV kelompok marginal

Go
Go (dok. Sony Pictures Classics/Go)

Menggunakan point-of-view (POV) kelompok tersisih memang hal biasa dalam skena film independen. Namun, tak semua film berhasil melakukan eksekusi dengan tepat. Beberapa justru diklaim ableist atau bahkan memperburuk citra kelompok marginal itu sendiri. Berlegalah hati karena Go berhasil mewakili kelompok marginal dengan citra yang berimbang.

Mulai dari lakon pertama, Ronna (Sarah Polley), yakni representasi kelas pekerja yang terhimpit secara ekonomi. Simon (Desmond Askew), imigran asal Inggris yang slengean, tapi punya sisi naif. Duo Adam dan Zack (Scott Wolf dan Jay Mohr), pasangan gay yang berakting layaknya teman biasa. Sampai Marcus (Taye Diggs), satu-satunya karakter kulit hitam di film ini. Mereka dipotret August dan Liman dengan sisi gelap dan terang masing-masing, tanpa ada sifat yang mencerminkan stigma maupun bias gender.

2. Karakter pendukungnya dapat porsi yang signifikan, tak ada karakter tak berguna

Go
Go (dok. Sony Pictures Classics/Go)

Poin plus lain dari film ini adalah karakter pendukung yang solid dan berdampak, bukan hanya filler belaka. Keberadaan dan keputusan mereka memengaruhi jalan cerita. Secara keseluruhan, film ini dibagi dalam 3 POV seperti tryptich. Mereka antara lain: Ronna, si pegawai toko ritel; Simon, rekan kerja Ronna yang berasal dari Inggris; dan duo Adam dan Zack. Nasib mereka tak sengaja bersilangan pada satu hari, tepatnya saat Ronna mengambil jam kerja Simon yang pergi ke Las Vegas bersama tiga temannya.

Pada hari yang sama, Adam dan Zack yang sebenarnya mengincar Simon untuk bertransaksi narkoba, justru menawari Ronna untuk menggantikan posisi rekan kerjanya. Terdesak kebutuhan, Ronna melihat tawaran itu sebagai peluang untuk dapat uang cepat. Jadilah, malam itu ia bersama dua rekannya yang lain, Claire (Katie Holmes) dan Manny (Nathan Bexton) pergi ke pemasok reguler Simon, Todd (Timothy Olyphant). Setelah berhasil mengambil suplai narkoba dari Todd, Ronna menuju rumah si pemesan, Adam dan Zack. Namun, di sana kita justru diperkenalkan pada satu karakter baru yang mengubah segalanya.

Beberapa orang di cerita Ronna mungkin hanya pemeran pendukung, begitu pula orang-orang yang ditemui Simon di Las Vegas. Namun, mereka bakal punya posisi yang tidak bisa diabaikan. Bahkan jelang akhir film, mereka justru dapat porsi screentime yang lumayan. Ini bikin tiap detail dalam Go terasa berharga.

3. Pulp Fiction dengan elemen komedi dan rave culture

Go
Go (dok. Sony Pictures Classics/Go)

Mengusung genre crime, tak heran kalau orang membandingkan Go dengan Pulp Fiction. Namun, Go bisa dibilang lebih jelas elemen komedinya. Kamu akan menemukan dirimu menertawakan dialog dan tingkah para aktornya. Dikemas pula dengan laju cepat, humor-humor edgy di film ini jadi lebih hidup. Kamu yang mengaku punya rentang konsentrasi rendah, bolehlah mencoba.

Elemen lain yang membuat Go makin menarik dan spesifik adalah keberadaan referensi rave culture. Ia merujuk pada genre electronic dance music (EDM) psikedelik yang melejit pada 1980—1990-an. Ini hal yang tak bisa kamu temukan di Pulp Fiction terlepas dari fakta bahwa keduanya dirilis pada tahun yang berdekatan. Jadi, menyamakan keduanya sebenarnya bukan hal bijak. Sebaliknya, kamu sebenarnya sedang disuguhi dua film Efek Rashomon 90-an yang memberimu pengalaman berbeda.

Go memang lebih seru ditonton tanpa membaca sinopsisnya terlebih dahulu. Namun, kalau sudah terlanjur baca ulasan ini, jangan takut untuk merasakan pengalaman menontonnya sekali seumur hidup. Apalagi kalau kamu menikmati Pulp Fiction dan Weapons, jangan coba melewatkannya, deh!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Diana Hasna
EditorDiana Hasna
Follow Us

Latest in Hype

See More

Review Serial Indonesia OPEN BO: I Am Campus, Adegan 21+ Dibalut Komedi

30 Sep 2025, 18:43 WIBHype