Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
JWC 2205 ditutup dengan 'It Was Just an Accident' dan pemberian hadiah untuk pemenang kompetisi.jpg
It Was Just an Accident, penutup JWC 2025 (dok. Memento Distribution/It Was Just an Accident)

Jakarta, IDN Times – Jakarta World Cinema 2025 resmi ditutup pada Sabtu malam (4/10/2025) di CGV Grand Indonesia, Jakarta, dengan pemutaran film It Was Just an Accident, karya terbaru sineas legendaris Iran, Jafar Panahi. Film ini menjadi penutup yang emosional dan reflektif, bawakan satire politik tajam yang membedah luka sosial, represi, dan trauma akibat rezim otoriter di Iran.

Dengan gaya khas Panahi yang minimalis namun penuh makna, film ini tak hanya menggugah secara intelektual, tapi juga meninggalkan aftertaste yang menyakitkan di hati penontonnya. Kabar baiknya, film ini bakal dirilis di bioskop Indonesia pada 17 Oktober 2025. Sebelum nonton, yuk simak ulasan lengkapnya di bawah ini!

1. Sebuah kisah tentang trauma yang pernah dialami Jafar Panahi

It Was Just an Accident (dok. Memento Distribution/It Was Just an Accident)

It Was Just an Accident terasa seperti cermin yang merefleksikan masa lalu Jafar Panahi sendiri. Sebelum terbang ke Cannes untuk menerima Palme d'Or, Panahi pernah dipenjara, dilarang membuat film, dijadikan tahanan rumah, sampai dilarang meninggalkan Iran selama bertahun-tahun. Trauma pribadi itu tidak pernah disebutkan secara eksplisit, tetapi bergetar di setiap menit film ini.

Panahi menggambarkan dunia pasca-represi, di mana batas antara pelaku dan korban menjadi kabur. Para karakter hidup dalam bayang-bayang masa lalu, dihantui oleh apa yang telah mereka lakukan atau biarkan terjadi. Film ini berfungsi layaknya terapi kolektif, sebuah ruang bagi Panahi (dan masyarakat Iran pada umumnya) untuk memproses luka, rasa bersalah, dan keinginan untuk menemukan makna dari semua penderitaan yang dialami.

Satu hal yang membuat film ini luar biasa adalah bagaimana Panahi menolak menjadikan dirinya sebagai martir. Ia tidak memusatkan film pada penderitaannya sendiri, tetapi membuka percakapan yang lebih luas: bagaimana trauma politik menular ke seluruh lapisan masyarakat, dan bagaimana bangsa yang tersiksa bisa tetap mencari esensi kemanusiaan di tengah represi.

2. Film ringan dengan dark comedy, tapi menyimpan amarah yang nyata

It Was Just an Accident (dok. Memento Distribution/It Was Just an Accident)

Meski temanya berat, It Was Just an Accident justru disajikan dengan nada ringan dan humor gelap. Panahi memadukan satire, absurditas, dan tragedi dengan cara yang membuat penonton tertawa getir. Beberapa adegan terasa seperti sketsa teatrikal, terutama saat para tokoh berdebat panjang, kadang hingga terasa berlebihan. Namun di balik tawa itu, ada amarah yang sangat nyata.

Kemarahan tersebut bukanlah teriakan, melainkan nyala api yang membara perlahan. Panahi tidak menuding langsung rezimnya, tetapi membiarkan absurditas sistem itu berbicara sendiri. Ia pun mempertanyakan, apakah dendam bisa menyembuhkan? Apakah korban bisa benar-benar bebas tanpa memaafkan? Semua disajikan dengan empati mendalam dan kejujuran yang menggigit.

Uniknya, film ini tidak pernah terasa hitam-putih. Setiap karakter berada di wilayah abu-abu. Ada rasa bersalah, ada keinginan untuk membalas dendam, tapi ada juga keinginan untuk memperbaiki. Dari situ, It Was Just an Accident menjadi potret menyeluruh tentang manusia yang terjebak dalam sistem yang bengkok, tapi masih berjuang untuk mempertahankan sisi kemanusiaannya.

3. Naskah memukau dengan pace yang lambat

It Was Just an Accident (dok. Memento Distribution/It Was Just an Accident)

Secara struktur, It Was Just an Accident lebih menyerupai drama panggung yang direkam dalam bentuk film. Setiap adegan terasa panjang, dengan dialog berlapis dan ritme yang lambat. Bagi sebagian penonton, hal ini mungkin terasa membosankan. Namun, di situlah kekuatannya. Panahi tidak terburu-buru, ia membiarkan setiap percakapan antarkarakter menjadi ruang kontemplasi.

Visual filmnya bersih dan simetris, khas Panahi. Kamera seolah tak ingin mengintervensi, hanya menjadi saksi bisu dari kehidupan yang terus berjalan di tengah luka kolektif. Akting para pemain, terutama Mariam Afshari sebagai Shiva, luar biasa memikat. Ia tampil penuh emosi namun tetap tenang, menjadi simbol kemarahan yang tertahan sekaligus kesedihan yang mendalam.

Namun, perlu diingat kalau film ini menuntut kesabaran. Beberapa bagian terasa repetitif, bahkan berputar di ide yang sama. Tapi begitu kita menyelami maknanya, justru di situlah kedalaman karya ini muncul. It Was Just an Accident seolah menjemla sebagai bentuk seni yang tidak hanya ingin "bercerita," tapi juga membuat penonton merasakan tekanan dan ketidakpastian yang dialami karakternya.

4. Seberapa recommended It Was Just an Accident untuk ditonton?

It Was Just an Accident (dok. Memento Distribution/It Was Just an Accident)

It Was Just an Accident bukanlah film yang bisa dinikmati semua orang. Selama 1 jam 42 menit, ia bergerak perlahan, penuh simbolisme, dan lebih mengandalkan percakapan ketimbang aksi. Namun bagi mereka yang tertarik pada film thriller dengan pesan politik, humanisme, dan moralitas, karya ini adalah pengalaman sinematik yang sangat berharga.

Film ini mengajak penonton untuk tidak hanya memahami Iran di bawah rezim represif, tetapi juga memahami kondisi manusia secara universal: tentang rasa bersalah, balas dendam, dan upaya mencari makna hidup setelah keluar dari neraka dunia. Panahi sekali lagi membuktikan bahwa ia bukan hanya pembuat film, tetapi juga penyair visual yang bicara melalui kesunyian dan satire.

Bagimu yang mencari tontonan reflektif dan berani, It Was Just an Accident wajib masuk daftar. Film ini adalah perenungan politik, spiritual, sekaligus emosional, sebuah karya yang menegaskan kembali bahwa seni bisa menjadi bentuk perlawanan paling halus tapi paling berbahaya.

Editorial Team