Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[REVIEW] Victoria, Film One Take Terbaik yang Minim Eksposur

Victoria (dok. Jour2Fete/Victoria)

Teknik one-take shot sebenarnya cukup umum dipakai dalam pembuatan film. Namun, tak banyak sineas yang mampu mengambil tantangan itu. Bukan hanya plot dan set yang harus matang sebelum eksekusi, para aktor juga harus siap tampil prima sepanjang proses pengambilan gambar tanpa putus.

Namun, memang harus diakui ada trik-trik tertentu yang bisa dilakukan untuk menciptakan kesan one-take shot tanpa harus benar-benar melakukannya. Salah satunya dengan rekayasa editing. Itu yang dilakukan Alejandro González Iñárritu saat menggarap Birdman (2014) dan Sam Mendes di film 1917 (2017).

Namun, ada satu film yang mungkin terlewat dari radarmu. Victoria (2015) judulnya, sebuah film kriminal yang benar-benar menggunakan asas one-take shot tanpa rekayasa. Film asal Jerman itu berdurasi 138 menit (belum termasuk credit roll), yang berarti para kru dan aktor harus berkomitmen menggambil gambar tanpa putus selama lebih dari 2 jam. Terobosan ambisius dari sutradara Sebastian Schipper, tetapi terbayar lunas.

Belum pernah nonton? Review film Victoria ini mungkin bisa menggugah rasa penasaranmu dengan film ini. Simak sampai habis biar makin penasaran.

1. Benar-benar diambil dengan teknik one shot, tanpa rekayasa editing

Victoria (dok. Jour2Fete/Victoria)

Film dibuka dengan adegan Laia Costa, selaku pemeran utama, menari di sebuah kelab malam penuh pengunjung. Pada fase ini, ia tampak seperti anak muda pada umumnya yang bersenang-senang di tengah lautan manusia ditemani iringan musik house. Namun, perlahan kita disuguhi fakta bahwa ia tak sebahagia yang tampak sebelumnya. 

Saat mencoba membuka topik pembicaraan dengan orang lain, ia diabaikan. Sang lakon pun memilih untuk pulang sendirian dengan sepedanya. Suasana film pun berubah. Penonton kini sadar kalau ia kesulitan membangun koneksi dengan orang-orang di sekitarnya. Sampai sekelompok anak muda lain mengajaknya ngobrol sambil berjalan mengiringinya.

Awalnya terintimidasi karena orang-orang asing itu semuanya bergender laki-laki, sang lakon ternyata menemukan sambutan hangat yang selama ini tak pernah ia dapat. Ia mulai membuka diri dan membocorkan beberapa detail tentang dirinya. Termasuk fakta penting bahwa ia bernama Victoria, bukan warga lokal, dan belum fasih berbahasa Jerman. 

2. Plot memikat dan character development-nya apik!

Victoria (dok. Jour2Fete/Victoria)

Dari situ, obrolan mulai bergulir natural. Layaknya orang yang baru berkenalan, mereka saling berbagi nama dan sedikit detail kehidupan. Beberapa kali penonton dibuat tak nyaman karena sikap para teman baru Victoria yang slengean, tak serius, dan sering kali melakukan hal-hal berisiko. Meski ada empat aktor baru yang diperkenalkan di layar, hanya dua sosok yang sering berinteraksi dengan sang lakon, yakni Sonne (Frederick Lau) dan Boxer (Franz Rogowski). 

Konflik mulai terbangun tatkala Sonne ngotot menemani Victoria sampai ke tempat kerjanya. Beberapa kawannya, terutama Boxer, sudah berusaha menghalangi dan mengingatkannya soal urusan yang harus mereka selesaikan. Kamera kemudian fokus ke Sonne dan Victoria, menyisihkan Boxer dan dua karakter lain. Hingga Boxer kembali ke depan kamera membawa sebuah kabar yang bakal mengubah hidup mereka semua. 

Bergenre crime-thriller, tentu kamu sudah bisa menebak kalau kabar itu bukan jelas bukan kabar menyenangkan. Victoria yang sebenarnya punya opsi untuk tidak terlibat, justru memilih untuk membantu kawan-kawan barunya. Schipper berhasil meramu character development yang apik untuk sang lakon. Dari perempuan bertubuh mungil yang terlihat naif, Victoria menunjukkan sosok aslinya, yakni berpendirian teguh dan punya survival skill mumpuni. 

3. Tipe film yang siap mengacak-acak emosimu

Victoria (dok. Jour2Fete/Victoria)

Berdurasi lumayan panjang, Schipper juga berhasil mengacak-acak emosi penonton lewat struktur filmnya yang tak biasa. Setelah konflik pertama diselesaikan, ketegangan dalam film sempat turun dan para aktor serta penonton pun bisa rileks. Namun, itu hanya bertahan beberapa menit sebelum konflik kedua muncul dan mengacaukan segalanya. Bisa dibilang, Victoria adalah tipe film yang tak membiarkan penontonnya bersantai. 

Dikombinasi dengan teknik one-take dan latar waktu yang pendek, ketegangan dan urgensi ceritanya pun kuat serta menyakinkan. Film 1917 sebenarnya menggunakan formulasi serupa. Sayangnya, Victoria yang dirilis secara independen dan berasal dari Jerman jelas tak dapat eksposur sebesar film-film produksi Hollywood. 

Meski begitu, mereka berhasil meraih tiga piala di Berlinale 2015, termasuk Golden Bear (penghargaan tertinggi untuk film terbaik di festival tersebut) serta empat nominasi di European Film Awards 2015, yakni Aktris Terbaik, Film Terbaik, dan Sutradara Terbaik. Sayang kalau dikacangi, tonton setidaknya sekali seumur hidup untuk rasakan pengalaman nonton film one-take yang autentik.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Ayu Silawati
EditorDwi Ayu Silawati
Follow Us