4 Sutradara yang Sering Dicap Psikopat oleh Penonton, Kenapa?

- Lars Von Trier membuat film R-rated yang mengekspos sisi tergelap manusia, termasuk karakter pria misoginis.
- Larry Clark sering melibatkan aktor belasan tahun dalam film-film kontroversialnya, seperti Kids dan Ken Park.
- Gaspar Noe dikenal karena inovasi sinematografinya, namun sering mengeksplor sisi gelap manusia dalam film-filmnya.
Mengambil risiko dengan membuat film yang mengganggu, alih-alih mencerahkan memang sah-sah saja dalam industri seni. Namun, pernahkah kamu mencermati beberapa sutradara yang memilih untuk mengambil risiko itu terus-terusan? Bahkan beberapa film mereka sampai dilarang tayang.
Berkat kebiasaan tersebut, gak sedikit yang mencap mereka sebagai psikopat terselubung gara-gara konten ceritanya yang di luar nalar. Ari Aster dan Zach Cregger bukanlah sosok yang dimaksud. Meski film-film mereka juga mengganggu, penonton sepakat mereka tak ada apa-apanya dibanding empat sutradara berikut. Siapa saja?
1. Lars Von Trier

Siapkan mental saat kamu hendak menengok koleksi film Lars Von Trier. Ia paling dikenal lewat film-film R-rated (terbatas untuk penonton dewasa di atas 17 tahun karena muatan kekerasan dan seksualitasnya), seperti Dogville (2003), Antichrist (2009), Nymphomaniac (2013), dan The House That Jack Built (2018).
Dalam film-film itu, Von Trier seolah mengekspos sisi tergelap manusia, yakni ketika mereka membiarkan keserakahan, nafsu, dan egoisme menang melawan akal sehat dan empati. Ia juga sering membuat karakter-karakter pria misoginis yang bikin penonton kesal setengah mati.
Lars Von Trier pernah membuat film yang lebih mild, seperti Dancer in the Dark (2000), Melancholia (2011), dan The Boss of It All (2006). Namun, tetap saja, ia menyisakan trauma buat penontonnya. Seolah mengindikasikan kalau ia juga tipe sutradara penganut miserabilisme, yakni terobsesi membuat lakon-lakonnya sengsara dalam film.
2. Larry Clark

Larry Clark bikin penonton benar-benar tak nyaman dengan karya-karya sinematiknya. Terutama fakta bahwa ia sering melibatkan aktor belasan tahun dalam film-film kontroversialnya. Hampir semua filmnya dikritik karena mengeksploitasi tubuh dan seksualitas anak-anak belasan tahun, sebagian bahkan di bawah umur. Cek saja Kids (1995), Bully (2001), dan Ken Park (2002).
Film Ken Park sempat dilarang tayang di Australia, bahkan polisi ikut terlibat membatalkan rencana penayangan perdananya di sebuah festival pada 2003. Miris, ia benar-benar tak kapok. Film fitur termutakhirnya yang rilis pada 2010—2020-an juga masih pakai formula sama. Sontak saja, pada era woke ini, Larry Clark kehilangan panggung.
3. Gaspar Noe

Gaspar Noe dikenal dan dielu-elukan banyak penikmat film karena gebrakannya yang inovatif, terutama dari segi sinematografi. Namun, gak sedikit filmnya yang bikin penonton curiga kalau ia punya masalah. Seperti Lars Von Trier, ia sering mengeksplor sisi gelap manusia. Itu yang mungkin menjelaskan bagaimana ia bisa bikin film semengerikan Irreversible (2002).
Ia juga sering dikritik karena menolak merekrut jasa koordinator intimasi untuk adegan seks eksplisit di film Love (2015) dan Enter the Void (2009). Penggunaan koordinator intimasi memang jadi perdebatan sengit dalam industri film. Kalau menurut Noe, mereka berpotensi membuat adegan jadi kurang natural seperti yang diinginkannya.
4. David Cronenberg

David Cronenberg juga sering dipertanyakan, nih. Di balik inovasi dan keberaniannya mengambil risiko dengan membuat film-film mengganggu, Cronenberg pernah dicemooh saat film Crash (1996) buatannya tayang perdana di Cannes Film Festival. Film itu memotret fetisisme dengan pendekatan yang tidak biasa, dramatis, dan eksplisit.
Sama dengan Videodrome (1983) beberapa tahun sebelumnya, yang jadi bulan-bulanan karena konten seksual dan kekerasannya. Menariknya, film ini belakangan dapat label cult-classic karena relevan dengan kondisi peradaban manusia dan disrupsi teknologi saat ini. Meski begitu, banyak film Cronenberg yang dapat pujian, seperti The Fly (1986), The History of Violence (2005), dan Naked Lunch (1991).
Sutradara memang bebas mengekspresikan apa yang mereka mau dan pikirkan. Namun, tentu, mereka tetap butuh penonton dan penyokong dana. Beruntung keempat filmmaker tadi berhasil dapat keduanya meski pakai pendekatan penuh risiko. Apa pendapatmu?