Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

The Brutalist dan Pro Kontra Penggunaan AI dalam Film

The Brutalist (dok. A24/The Brutalist)

Dijagokan jadi salag satu kontender Oscar 2025 untuk beberapa kategori utama, termasuk Best Picture, The Brutalist karya Brady Corbet diselimuti kabar tak sedap. Film itu terkonfirmasi melibatkan peran kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dalam proses produksinya. Tepatnya untuk menyempurnakan dialog bahasa Hungaria yang diucapkan beberapa aktornya dalam sejumlah adegan.

Fakta ini terkuak lewat sebuah wawancara yang dilakukan editor The Brutalist, Dávid Jancsó dengan media Red Shark News. Sontak, keabsahannya jadi salah satu film yang layak dapat nominasi Oscar mulai disangsikan. Apalagi untuk sebuah karya seni yang amat menempatkan keahlian dan keterlibatan manusia sebagai titik sentralnya. Lantas, benarkah AI susah untuk dihindari dan bakal dinormalisasi dalam penggarapan karya seni? 

1. The Brutalist bukan satu-satunya film populer yang terkonfirmasi menggunakan AI

Karla Sofia Gascon dalam film Emilia Perez (dok. Netflix/Emilia Perez)

The Brutalist ternyata bukan satu-satunya film populer 2024 yang terkonfirmasi menggunakan AI. Emilia Perez, salah satu kontender kuat Oscar yang banjir kritik karena ketidakakuratan representasi kulturalnya, juga menggunakan AI untuk beberapa adegan. Tepatnya, untuk menyempurnakan suara Karla Sofia Gascon saat bernyanyi. Software kecerdasan buatan yang dipakai Emilia Perez sama dengan The Brutalist, yakni Respeecher.

Perusahaan pembuatnya berbasis di Ukraina dan perangkat lunak itu ternyata pernah pula dipakai dalam beberapa franchise film Star Wars, seperti mereka ulang suara Mark Hamill saat muda untuk karakter Luke Skywalker di serial The Mandalorian. Respeecher juga terkonfirmasi dipakai untuk menyempurnakan suara karakter Darth Vader di Obi-Wan Kenobi. Tentu, penggunaan AI dalam dua serial itu tak luput dari kritik. Tak sedikit yang mengamati kalau suara-suara buatan itu terdengar kaku dan canggung. 

2. Mengapa tak merekrut aktor lokal saja?

The Brutalist (dok. Venice Film Festival/The Brutalist)

Lantas, mengapa AI jadi masalah besar untuk film The Brutalist? Ini karena mereka punya opsi yang lebih autentik ketimbang menggunakan bantuan kecerdasan buatan. Bila memang alasannya karena ingin menyempurnakan percakapan bahasa Hungaria para karakternya, mereka sebenarnya bisa saja merekrut aktor lokal Hungaria. Namun, pihak produser justru memilih Adrien Brody dan Felicity Jones untuk memerankan dua protagonis utamanya yang diceritakan berkebangsaan Hungaria. 

Brody punya keturunan Hungaria dari ibunya, tetapi lahir dan besar di Amerika Serikat. Sementara, Felicity Jones adalah seorang Inggris keturunan Italia. Ada beberapa adegan yang mengharuskan mereka berdialog dalam bahasa Hungaria dan ini yang kemudian mendasari keputusan Jancsó menyempurnakan aksen mereka dengan software AI. 

Memilih merekrut aktor profesional yang sudah punya nama, ketimbang aktor yang sesuai dengan latar belakang karakternya memang kecenderungan produser dan sutradara Hollywood. Selain menyingkat waktu, aktor dengan nama tenar akan mempermudah pemasaran. Emilia Perez juga dikritik soal hal yang sama, terutama setelah penonton mendengar aksen bahasa Spanyol Selena Gomez. 

3. AI masih dianggap musuh pekerja kreatif

The Brutalist (dok. Universal Pictures/The Brutalist)

Penggunaan AI memang masih jadi perdebatan sengit. Khususnya buat industri kreatif, kecerdasan buatan punya cap buruk, terutama mencuri pekerjaan-pekerjaan strategis yang selama ini dikendalikan penuh oleh manusia. Misalnya untuk dialog bahasa asing, film biasanya butuh seorang pelatih dialog yang memandu para aktor untuk mencapai aksen yang autentik. 

Bukannya tanpa pelatih dialog, The Brutalist nyatanya melibatkan Tanera Marshall, pelatih dialog dan ahli aksen yang pernah terlibat dalam serial The Bear (2022) dan film The Hunger Games: The Ballad of Songbirds & Snakes (2023). Corbet sang sutradara menyatakan bahwa Respeecher hanya dipakai dalam film untuk menyempurnakan beberapa pengucapan huruf vokal. 

Cukup disayangkan sebenarnya. Mengingat tak sedikit film yang berhasil menyajikan keautentikan aksen bahasa tanpa AI. Ambil contoh Pachinko. Serial ini menggunakan dua bahasa yang digunakan silih berganti, Korea dan Jepang. Meski menurut para penutur asli, kebanyakan aksen mereka tidak seberapa sempurna dan tidak mencerminkan aksen daerah yang seharusnya, kreator film memilih untuk tidak melakukan penyempurnaan berlebih apalagi dengan AI.

Bahasa Rusia dan Armenia juga jadi bagian penting dalam dialog film Anora. Untuk mengurangi inakurasi dan memperkuat keautentikannya, Sean Baker dan Emily Fleischer selaku casting director memilih merekrut aktor dari negara yang bersangkutan. Hal serupa bisa kamu temukan pula dalam Anatomy of a Fall karya Justine Triet. Meski hampir semua cast dan kru berasal dari Prancis, Justine Triet memilih aktris Jerman, Sandra Hüller untuk memerankan sang protagonis utama. Ini sesuai dengan latar belakang karakter Sandra yang diperankan Hüller. 

AI memang satu disrupsi teknologi yang susah untuk dihentikan. Terlepas dari pro kontranya, kita bakal menemukan mereka di berbagai aspek kehidupan. Namun, tentu tak bisa dimungkiri, mereka mencerabut sisi autentik sebuah karya ketika dinormalisasi dalam industri kretif.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Hella Pristiwa
EditorHella Pristiwa
Follow Us