The Little Mermaid, Momen Pembuktian Seorang Halle Bailey

Look at this stuff, isn't it neat?
Wouldn't you think my collection's complete?
Wouldn't you think I'm the girl
The girl who has everything?
Sebagai penggemar film animasi Disney, kamu pastinya sudah tak asing lagi dengan penggalan lirik "Part of Your World" yang dinyanyikan oleh Jodi Benson, pengisi suara Ariel, dalam The Little Mermaid (1989) di atas. Yap, siapa yang bisa melupakan kesan magis sekaligus romantis yang dihadirkan oleh film animasi garapan John Musker dan Ron Clements tersebut?
Tiga dekade berselang, Walt Disney Pictures ingin menghidupkan kembali kisah sang Disney Princess lewat versi live-action berjudul sama, The Little Mermaid (2023). Sayangnya, proses pembuatan The Little Mermaid tak semulus kisah percintaan Ariel dan Pangeran Eric dalam versi animasinya.
Tagar #NotMyAriel mulai bermunculan di media sosial sebagai bentuk protes atas penunjukan Halle Bailey sebagai sang putri duyung. Menurut mereka, Bailey yang berkulit hitam tak cocok dengan penggambaran Ariel versi animasi yang berkulit putih dan berambut merah.
Lantas, apakah kontroversi tersebut membuat film yang tayang di bioskop Indonesia sejak Rabu (24/5/2023) ini menjadi film live-action Disney terburuk? Percaya atau tidak, The Little Mermaid justru berhasil mematahkan komentar miring yang berseliweran di internet selama ini, lho. Yuk, simak beberapa poin positifnya dalam review film The Little Mermaid di bawah ini!
1. The Little Mermaid berikan modifikasi tanpa merusak cerita orisinalnya

Sejak era Cinderella (2015), Disney sepertinya paham kalau formula sukses untuk membuat film live-action tentang Disney Princess adalah kesetiaan pada materi asli. David Magee (Mary Poppins Returns, A Man Called Otto), selaku penulis naskah, menyadari hal itu dengan menghadirkan cerita yang familier bagi semua kalangan.
Sama seperti versi animasinya, The Little Mermaid berawal dari rasa penasaran Ariel (Halle Bailey) terhadap dunia manusia yang menuntunnya pada Pangeran Eric (Jonah Hauer-King). Namun, larangan keras dari ayahnya, Raja Triton (Javier Bardem), membuat Ariel melakukan perjanjian terlarang dengan Ursula (Melissa McCarthy), sang penyihir laut, untuk mengubahnya menjadi manusia.
Meski setia dengan materi orisinalnya, bukan berarti Magee lalai dalam memberikan kedalaman pada ceritanya. Sebaliknya, dengan durasi 52 menit lebih panjang dari versi animasinya, The Little Mermaid mampu menyuguhkan backstory yang membuat motif para karakternya terasa lebih kuat.
Salah satunya yakni mengenai alasan di balik sikap Raja Triton yang super protektif terhadap Ariel. Selain itu, film ini juga menghadirkan karakter baru, yakni ibu angkat Pangeran Eric yang bernama Ratu Selina (Noma Dumezweni). Kemunculannya mampu menambah dinamika tersendiri dalam jalan cerita The Little Mermaid, lho.
2. Born to play Ariel, Halle Bailey berhasil patahkan persepsi negatif tentang dirinya!

Tak bisa disangkal, terpilihnya Halle Bailey sebagai Ariel pada 3 Juli 2019 silam membuat fans The Little Mermaid terbagi menjadi dua kubu. Sebagian ada yang mendukung pentolan duo Chloe x Halle tersebut, sementara sebagian lagi melontarkan komentar bernada rasis mengenai warna kulit dan rambut Bailey yang berbeda 180 derajat dengan Ariel versi animasi.
Lewat performanya sebagai Ariel dalam The Little Mermaid, Bailey seakan membungkam segala komentar miring yang ditujukan kepadanya selama empat tahun terakhir. Bailey tak hanya memamerkan suara emasnya lewat tembang "Part of Your World" dan "For the First Time," tapi juga membawa semangat Ariel dalam setiap penampilannya.
Kebaikan, keberanian, kecerdasan, dan kecantikan sang putri duyung dipresentasikannya dengan sempurna. Menurut penulis, tak berlebihan jika mengatakan kalau Halle Bailey memang terlahir untuk memerankan Ariel.
3. Hadirkan lagu lama dengan aransemen kekinian, "Under the Sea" bikin candu!

Harus diakui, keputusan Disney untuk kembali menggandeng Alan Menken, komposer versi animasinya, sebagai komposer The Little Mermaid merupakan langkah yang tepat. Menken, yang pernah terlibat dalam sejumlah proyek live-action Disney, seperti Beauty and the Beast (2017) dan Aladdin (2019), mampu memberikan kesan magis sekaligus megah pada sejumlah adegan krusial dalam The Little Mermaid.
Bersama dengan Lin-Manuel Miranda (In the Heights, Tick, Tick... Boom!), komposer peraih delapan piala Oscar tersebut juga membuat tiga lagu baru selain "For the First Time." Salah satunya yakni "Wild Uncharted Waters." Dibawakan dengan penuh penghayatan oleh Jonah Hauer-King, tembang ini berhasil memberikan vibes serupa lagu-lagu power ballad yang populer di era 90-an.
Sementara untuk lagu-lagu lama yang muncul di versi animasinya, Menken mempercantiknya dengan menambahkan aransemen modern. Salah satunya dapat kamu dengar di "Under the Sea."
Kental dengan nuansa Karibia, tembang tersebut sukses menyatu dengan aksen Jamaika milik Daveed Diggs (pengisi suara Sebastian). Dijamin bikin terngiang-ngiang!
4. Selain musik, komedi dan romansa juga menjadi magnet dalam The Little Mermaid

Kamu pasti setuju kalau romantisme antara Ariel dan Pangeran Eric adalah salah satu alasan yang bikin kita semua jatuh cinta dengan The Little Mermaid (1989). Dalam film ini, Rob Marshall (Chicago, Memoirs of a Geisha), selaku sutradara, berhasil mengkreasi ulang sederet adegan romantis yang muncul dalam versi animasinya.
Salah satunya yakni sekuen musikal "Kiss the Girl" yang menjadi momen PDKT antara Ariel dan Pangeran Eric. Berkat chemistry menggemaskan antara Halle Bailey dan Jonah Hauer-King serta kepekaan Marshall dalam mengemas adegan, momen tersebut tak hanya menjadi momen intim, tapi juga menjadi salah satu momen terbaik dalam The Little Mermaid.
Sementara untuk urusan komedi, The Little Mermaid mempunyai Melissa McCarthy, Daveed Diggs, dan Awkwafina yang menonjol lewat ciri khasnya masing-masing. Mengisi suara Scuttle dan Sebastian, Awkwafina dan Daveed Diggs sukses mengocok perut penonton lewat celotehan dan interaksi mereka yang atraktif.
Di sisi lain, aktris peraih dua nominasi Oscar lewat Bridesmaids (2011) dan Can You Ever Forgive Me? (2018), Melissa McCarthy, menampilkan Ursula yang komikal sekaligus menyeramkan. Membuatnya layak disejajarkan dengan villain live-action Disney terbaik lainnya, seperti Lady Tremaine (Cate Blanchett) dan Cruella de Vil (Emma Stone).
5. Dengan bujet hampir 4 triliun rupiah, apakah visualnya mampu memanjakan mata?

Sayangnya, meski unggul dalam segi akting, musik, dan penceritaan, The Little Mermaid mengalami permasalahan dalam hal visual, khususnya penyajian CGI. Beberapa adegan di atas air memang terlihat "mahal" dan meyakinkan—adegan terbakarnya kapal Pangeran Eric menjadi salah satu momen yang paling mendebarkan!
Namun, ketika memasuki dasar laut, The Little Mermaid mengalami sejumlah kontradiksi. Beberapa di antaranya yakni sekuen musikal "Under the Sea" yang berakhir canggung akibat CGI kasar serta desain Flounder (Jacob Tremblay) yang terlampau realistis sehingga menghilangkan kesan lucu dan bersahabat.
Hal tersebut cukup mengejutkan mengingat efek visual The Little Mermaid dikerjakan oleh sederet studio beken. Salah satunya yakni Wētā FX yang menggarap Avatar: The Way of Water (2022).
Namun, melihat bujet film ini yang hanya separuh dari bujet film arahan James Cameron tersebut—yakni sekitar 250 juta dolar AS—kekurangan itu tentunya bisa dimaklumi, bukan?
Meski sedikit mengecewakan dalam hal CGI, The Little Mermaid tetap menjadi salah satu film live-action terbaik Disney berkat perpaduan ciamik antara akting, musik, dan penceritaan.
Terlebih, Halle Bailey berhasil membuktikan kalau warna kulit tak ada hubungannya dengan talentanya yang luar biasa sebagai Ariel. Jadi, jangan ragu mengajak orang-orang terkasihmu untuk menonton The Little Mermaid di bioskop, ya!