[WANSUS] Timo Tjahjanto soal Nobody 2, Debut Hollywood yang Punchy

Jakarta, IDN Times - “Senang sekali bisa dapat wawancara di debut Hollywood-nya Mas Timo. Such an honor.” Itu yang saya katakan pada Timo Tjahjanto sebelum mengawali sesi wawancara virtual untuk membicarakan film terbarunya, Nobody 2. Ya, film garapan Universal Pictures ini menandai jejak Timo sebagai sutradara di kancah perfilman Hollywood.
Kini tengah sibuk di luar negeri, sulit sekali mendapat waktu untuk berbincang dengan sutradara yang mentereng dengan film-film aksi brutalnya tersebut. Saat wawancara ini dilakukan, Timo tengah berada di London dan sepanjang 15 menit, saya mencoba menggali bagaimana action dalam film Nobody 2 ini diracik. Kami juga berbincang tentang serunya bekerja sama dengan Bob Odenkirk serta Sharon Stone yang merupakan legenda di Hollywood.
Ini kutipan wawancara lengkap IDN Times dengan Timo Tjahjanto yang dilakukan pada Kamis (7/8/2025).
1. Sebenarnya gimana Mas Timo pertama kali gabung sama proyek ini? Ditawarin atau kayak gimana?
“Yes, waktu itu kebetulan I was just finishing Shadow Strays. Lagi di tengah-tengah post-production, ya. Maksudnya lagi edit segala macam. Tiba-tiba my agent, my Hollywood agent, tiba-tiba bilang, ‘Hey, mereka mau bikin Nobody 2 and we’re sending the script to you now, gitu.’
Dan jujur gue emang udah fan dari film pertama. Saya nonton waktu itu di Apple iTunes, gitu. Dan saya kayak, damn, gue suka nih film, gitu. Karena sutradaranya emang gue fan, yaitu Ilya Naishuller. Dia seorang filmmaker yang luar biasa.
Terus begitu gue ditawarin skripnya, gue pertama kaget, kok skripnya positif dan berwarna banget, gitu. Kayak beda banget dengan film pertama. Tapi justru karena itu gue merasa tertantang, kayaknya gue pengen nih.
Apalagi setelah bikin Shadow Strays yang lumayan gelap dan lumayan moody, gue kayaknya merasa tertantang, bagaimana kalau bikin sesuatu yang lebih berwarna dan lebih hopeful dan lebih tentang family, gitu. Kalau Shadow Strays kan tentang gak punya keluarga, ya,” ia terkekeh.
2. Iya, iya, iya. Berarti waktu itu langsung di-approach gitu, Mas?
“Iya, di-approach dan juga aku harus pitch. Biasanya kalau kayak gini-gini, pasti ada kayak pitching ide, pitching visi gitu.
Dan waktu itu gue emang pitch-nya ke Universal Studios, Universal Pictures, sama terutama ngobrol ke Bob-nya. Tapi di Bob, kita ngobrol lumayan nyambung tentang suka dan duka menjadi seorang father with two kids, gitu. Dia juga punya dua anak.
Anaknya jelas lebih grown up, cuman kayak kita bilang bahwa, oh ya, hidup di dunia kreatif ini tuh ini ya kayak banyak-banyak dukanya juga gitu. Bahwa lu harus banyak jauh dari anak-anak lu segala macam. Karena kita bicara tentang itu, kita nyambung, dan akhirnya i got the job.”
3. Kayak Mas Timo bilang, ini kan lebih berwarna ya dibanding film-film Mas Timo sebelum-sebelumnya. Waktu ditawarin, dari Universal ada kayak minta

“Ya mungkin ada, cuman bukan sesuatu yang menurut gue restriktif ya. Maksudnya, kita emang selalu harus melihat bahwa, oke, secara topik kreatif, gue tahu kapan gue bikin scene-scene yang penuh kekerasan yang bikin orang gak nyaman gitu.
Gue tahu kayak Shadow Strays, The Night Comes for Us, gitu-gitu, emang tujuan gue adalah kayak ngasih lihat bahwa violence itu sebuah pengalaman yang sangat, kalau bahasa Indonesia itu mungkin sangat kena di sendi dan saraf.
Sedangkan waktu bikin Nobody, gue emang udah memakai topi bahwa oke, mungkin gue pernah latihan waktu di Big Four, gue mencoba membuat violence sebagai sesuatu yang sedikit fun dan almost komik gitu ya. Dan gue mencari, oke, Nobody 2 artinya gue di tengah deh gitu, di mana ada that fine line between, yes, violence-nya masih punchy, masih lumayan brutal, tapi pada akhirnya gue gak pengen penonton keluar dengan bete, gak pengen mereka dengan bersedih, gitu.”
4. Tapi emang kerasa sih, tadi pagi kan aku udah nonton ya. Jadi kayak, ini Mas Timo banget, tapi kayak ngerem dikit gitu gak, sih?
“Iya, ada di situnya, lah. Karena kadang-kadang gue ngerasa, oh kenapa gue sebagai seorang filmmaker di Indonesia lumayan violent, ya? Dan gue selalu bilang di wawancara bahwa ya karena gue ngelihatnya di kehidupan di Jakarta atau di Indonesia emang pada dasarnya sangat keras dan violence. Dan itu kadang-kadang terefleksi di film gue.
Di sini, waktu gue bikin, apalagi ada anak kecil, ada keluarganya Hutch Mansell, jadi gue ngerasa, oke, kita coba buat ada fine line-nya lah, gitu. Bahwa gue nak mau harus kelihatan kayak bola mata keluar, gitu, sedangkan film ini pada akhirnya hatinya mengenai keluarga.”
5. Oke. Terus kalau misalnya unsur-unsur lokal gitu ada gak yang dimasukin, entah itu dalam koreografinya atau mungkin lainnya?
“Well, sebenarnya karena, jujur gitu ya, karena ini film pertama gue, gue lebih kayak, satu-satunya yang gue bawa adalah identitas gue sebagai seorang filmmaker Asia. Jadi, gue waktu itu gak terlalu, gue bukan orang yang suka kayak, oh, gue harus masukin elemen itu. Itu akan terjadi dengan sendirinya begitu gue udah lebih diakui di sinilah. Dan itu langkah-langkahnya kan tidak langsung.
Gue juga, sekali lagi, gue selalu, you know, Abimana, teman gue, dia pernah punya kata-kata yang gue suka banget, ‘Padi semakin tinggi, semakin merunduk.’ Dan itu yang selalu gue aplikasikan akhir-akhir ini di cara kerja gue juga gitu. Bahwa semakin gue pengalaman, gue semakin harus bisa denger orang. ‘Oh, mungkin cara gue selama itu gak selalu benar ya gitu.’ Dan itulah cara kita berkembang sebagai orang kreatif.”
6. Ada tahu Mas, yang pas istrinya mau berangkat, terus dia mundur lagi, mau ngomong gak jadi. Itu kan Indo banget, tuh!
“Hahaha, iya gitu ya. Yang ditahan-tahan emosinya. Iya, benar sih mungkin. Itu keren sih, scene-scene seperti itu justru gue suka banget, karena lo diskusi sama aktornya, istrinya, si Connie Nielsen itu, dia juga, ‘Gak mungkin, kalau perempuan tuh gak mungkin kayak gini, lo mestinya kayak gitu.’ Dan gue kayak dengerin, iya, iya, benar ya, benar ya, gitu,” Timo sambil tertawa mengingatnya.
7. Adegan terakhir buat aku itu ikonik, ya. Aku suka action pakai jebakan strategis jadi kayak ala-ala Home Alone, tapi ini versi mature gak, sih?

“Iya, ya Home Alone. Nah, itu yang justru bikin gue pengen banget ngerjain film ini juga terlepas dari tema family ya. Itu yang bikin gue akhirnya pas ngebaca script-nya, ‘Oh gila, keren banget ini!’ Banyak banget yang gue bisa mainin.
Begitu gue tahu bahwa final action-nya akan berada di waterpark dan amusement park gitu, gue langsung kayak duduk dengan adalah tim action kita, Greg Rementer, orang yang sangat berbakat. Kita duduk, terus kayak, ‘Oke, what’s fun?’ Tadinya ide-nya lebih banyak lagi.
Oke, kalau komedi, carousel, bisa ngapain aja nih? Terus kalau misalnya water slide, bisa ngapain? Dari dulu kan kita pernah mikir, ingat gak dulu zamannya di Indonesia, Ancol masih baru keluarin slide yang water slide, kita pernah ada keparnoan bahwa ada orang yang naruh cutter atau apa gitu. Di sini akhirnya kita bikin pakai besi-besi tajam, gitu-gitu.
Jadi, proses itu yang paling gue nikmatin dan banyak beberapa hal ya, seperti rumah kaca yang akhirnya meledak atau ketabrak kora-kora besar, itu dari kecil pernah gue parnoin. Gila ya kalau ada orang berdiri di situ terus ketabrak itu gimana ya, gitu. Makanya gue, jujur Zahro, gue paling pengecut naik-naik kayak gitu. Biasanya kalau gue pergi sama anak-anak gue ke Disney atau ke Universal, gue kayak, aduh gue diem aja deh, gue nunggu aja."
8. Oke, jadi pas terima naskah yang adegan itu, masih kayak raw gitu ya? Prosesnya mau diapain itu berarti sedikit banyak Mas Timo ikut?
“Benar. Jadi kita bahkan kayak pergi ke Midway atau amusement park beneran gitu. Dan kemudian kita lihat semua mesin-mesinnya. ‘Oke, apa yang bisa kita lakukan dengan mesin ini, apa yang bisa kita lakukan, bagaimana kita membunuh orang dengan mesin itu.’
Tapi yang gue paling suka ya, itu kayak ball pit atau di Indonesia namanya kayak kolam bola itu lho. Karena dari dulu gue juga selalu mikir, gila ya, gue paling takut tuh kalau di kolam bola itu tiba-tiba di bawah ada sesuatu yang tajam atau apa. Akhirnya, ya, ‘Oke gimana kalau dimasukin ranjau di bawahnya,’" Timo sedikit menyeringai.
9. Terus karena ini Nobody 2, ending-nya ternyata enggak dia sendiri, tapi ada istrinya gitu. Maksudnya gitu Mas?
“Itu yang buat aku justru paling penting, karena for me justru tema ceritanya itu adalah bahwa dia bilangnya nobody, i'm nobody, tapi he is actually somebody. Dan identitas dia paling besar adalah he is a family man. Dan what a family man cannot be adalah be self. Tergantung dengan diri sendiri.
Dan itu terutama terbukti secara action-nya dan dari pertama dia selalu coba-coba kabur dari istrinya, bahwa, enggak, enggak, gue gak gini kok, gue benar-benar pengen holiday. Tapi pada akhirnya justru family-nya dia yang merangkul dia. Dan itu message yang sangat penting buat gue."
10. Tadi kan kita udah ngomongin rasanya kolaborasi dengan Bob. Kalau sama Sharon Stone gimana? Bagaimana rasanya men-direct seorang Sharon Stone?

"Sharon Stone, gue suka banget sama dia, karena jujur di hidup gue, gue lebih takut sama perempuan daripada sama laki. Tapi terutama Sharon adalah orang yang bisa sangat, kalau ngeliat lo, lo langsung terintimidasi. Karena kalau udah maunya dia, dia langsung keras banget.
Dan gue suka itu, gue respect banget bahwa orangnya gak mengalah banyak. Cuma yang gue suka, dia hatinya gede banget. Dia selalu bilang, kalau ini bikin susah, oke gue lakukan ini. Atau misalnya lo mau gue gila, gue gila sekalian deh. Jadi itu sangat gue hargain banget dari dia.
Dan dia juga bisa dibilang Hollywood royalty. Tapi walaupun dia Hollywood royalty, dia selalu gak pernah lupa dari latar belakang working class-nya dia. Dia selalu cerita bahwa bapaknya seorang pekerja working class.
Dia selalu cerita itu dan gue selalu relate ke cerita itu. Karena gue sendiri juga punya latar belakang yang mulai dari working class dan akhirnya mencoba untuk kerja, untuk memperbaiki taraf hidup. Jadi gue selalu kayak, damn man, ini perempuan keren sih. Gue suka banget sama Sharon dan gue pengen coba kerja lagi sama dia, semoga di masa depan.
Legend banget, Mas. Sharon Stone. Hasilnya juga keren banget sih. Badass banget pas dia keluar itu. Keren banget.
"Dan tahu gak kerennya apa? Gue waktu itu pernah lagi syuting, gue kayak back pain gitu, karena tidur gue makin dikit, segala macam. Terus akhirnya dia bilang, sini-sini lah, gue stretch. Dan akhirnya gue disuruh tiduran, terus juga dia yang stretch-stretch gue. Terus gue, anj**t, gue lagi di-stretch sama Sharon Stone. Surreal banget. Cuman ya, itulah dia," katanya masih gak percaya.
12. Setelah ngerjain film sebesar ini, apa yang Mas Timo ambil pelajarannya terus berharap bisa diterapin di industri film Indonesia?

“Seperti yang tadi gue bilang sebelumnya, gue sebenarnya sangat salut dengan Indonesia, karena Indonesia unik dengan keunikannya mereka sendiri. Maksudnya, kita lihat film-film filmmaker yang sangat talented; Joko (Anwar), Yandy Laurens, dan siapa namanya, Ardy ya (Ryan Adriandhy) yang bikin Jumbo. Kita sebenarnya gak pernah tipis dari talent.
Cuman memang yang gue rasa Indonesia bisa belajar adalah keprofesionalisme dan polishing-nya itu. Jadi kayak hasilnya dipoles terus sampai halus. Gue suka itu, kadang-kadang memang ada film yang harusnya kasar gitu.
Kadang-kadang film Indonesia tuh suka kerasa kayak masih ada retakan-retakan kasarnya itu. Dan gue rasa itu emang ya karena budget atau karena keburuan-buruan segala macam. Cuman, begitu kita mencari hal yang paling profesional, akhirnya dengan sendirinya kita juga akan merasa, ‘Oke gue harus lebih sempurna nih, gue harus lebih ambisius.’ Itu akan terjadi dengan sendirinya lah. Gue lihat film Indonesia sekarang jauh lebih halus dan lebih bagus daripada dulu-dulu.
13. Jadi lebih ke pascaproduksinya gitu ya?
"Iya. Dan juga etis kerja sih. Etis kerja di sana tuh kayak kita udah, oke, harus selesai jam segini, itu udah pasti diterapkan. Sedangkan di Indonesia, kadang-kadang yang masih terjadi ya itulah, kayak kru digembor terus sampai jam 3 pagi, jam 4 pagi, dan gue rasa itu sangat, gimana ya.
Gue selalu bilang ke teman-teman kru, dulu emang waktu masih muda kita bisa kayak gitu-gitu jam 4 pagi, cuman begitu lu udah makin tua, makin bahaya kayak gitu. Karena pada akhirnya itu mengenai kesehatan dan keselamatan lu sendiri. Gitu-gitu kru di Indonesia banyak yang mati muda lho. Jadi ya itu yang harus kita perkirakan jugalah dari segi manusiawinya."
Aku sering melihat sih kayak di tengah-tengah produksi ada yang meninggal.
“Iya. Karena kecelakaan, karena kecapekan. Dan itu gue rasa sistem pushing-pushing itu udah gak sepantasnya diterapkan. Realistis ajalah, jangan maksain,” pungkasnya.
Kamu sudah nonton Nobody 2? Film ini sudah tayang di bioskop sejak 13 Agustus 2025.