5 Alasan Gugatan Kasus Kim Gang Hun Gagal Secara Hukum di Pro Bono

Kasus Kim Gang Hun (Lee Chun Moo) di Pro Bono (2025) sempat membuat penonton ikut berharap pada satu hal, yaitu keadilan. Bukan keadilan yang abstrak, tapi keadilan yang bisa benar-benar menyentuh hidup seorang anak penyandang disabilitas yang sejak lahir sudah dipaksa berjuang sendirian. Namun, harapan itu harus kandas ketika pengadilan memutuskan untuk menolak gugatan ganti rugi yang diajukan tim Pro Bono.
Putusan tersebut terasa pahit, bahkan tidak adil bagi sebagian penonton. Tapi jika dilihat dari kacamata hukum, kegagalan gugatan ini bukan terjadi tanpa alasan. Ada batasan, prinsip, dan standar pembuktian yang membuat kasus Kim Gang Hun sulit dimenangkan di ruang sidang. Berikut beberapa alasan utama kenapa gugatan ini akhirnya gagal secara hukum.
1. Tidak adanya bukti kuat soal kelalaian medis yang spesifik

Pengadilan menilai bahwa tim Pro Bono tidak mampu menunjukkan bukti konkret yang kuat bahwa Rumah sakit Woongsan secara jelas melanggar standar medis yang wajib dilakukan selama kehamilan Jung So Min (Jeong Saet Byeol). Dugaan atas kelalaian memang ada, tapi secara hukum, dugaan tersebut tidak cukup untuk membuktikan kesalahan.
Tanpa rekam media yang menunjukkan pemeriksaan yang sengaja diabaikan diabaikan atau prosedur yang dilanggar, pengadilan tidak bisa menyimpulkan bahwa rumah sakit gagal menjalankan kewajibannya secara profesional.
2. Hubungan sebab-akibat antara kelalaian dan disabilitas tidak terbukti

Salah satu syarat terpenting dalam gugatan ganti rugi adalah pembuktian hubungan sebab-akibat. Dalam kasus ini, pengadilan menyatakan tidak ada bukti pasti bahwa disabilitas Kim Gang Hun semerta-merta terjadi akibat kelalaian rumah sakit.
Dengan kata lain, tim Pro Bono tidak bisa membuktikan bahwa jika rumah sakit bertindak berbeda, kondisi Gang Hun pasti bisa dicegah. Tanpa hubungan sebab-akibat yang jelas, tanggung jawab hukum otomatis gugur.
3. Pengadilan menolak menganggap kelahiran sebagai bentuk kerugian

Poin ini menjadi inti sekaligus dilema terbesar. Pengadilan secara tegas menyatakan bahwa kelahiran seorang anak tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian hukum, apa pun kondisi yang menyertainya.
Menerima argumen ini berarti membuka pintu berbahaya bagi hukum untuk menilai nilai hidup manusia berdasarkan kualitas atau kondisinya. Karena itulah, meski penderitaan Gang Hun diakui secara emosional, secara hukum kelahirannya tidak bisa dijadikan dasar gugatan.
4. Tuduhan hilangnya kesempatan aborsi menimbulkan dilema moral

Gugatan yang menyebut rumah sakit menghilangkan kesempatan ibu untuk memilih aborsi juga ditolak. Alasannya, pengadilan menilai tuduhan ini akan menyeret hukum ke wilayah moral yang terlalu ekstrem.
Jika diterima, pengadilan seolah harus menyimpulkan bahwa hidup Gang Hun seharusnya dicegah sejak awal. Demi menjaga netralitas moral, pengadilan memilih untuk tidak menjadikan isu ini sebagai dasar tanggung jawab hukum.
5. Data statistik belum cukup membuktikan niat atau kebijakan tersembunyi

Fakta bahwa angka aborsi di Rumah Sakit Woongsan 91% lebih rendah dibanding rumah sakit lain memang mencurigakan. Di samping itu, Woongsan Grup diketahui secara aktif berdonasi untuk menyubang kegiatan anti aborsi menimbulkan asumsi bahwa memang pencegahan aborsi emmang disengaja di lembaga tersebut.
Namun, kembali lagi, bahwa semua ini hanyalah dugaan semata, data statistik saja belum cukup untuk membuktikan adanya niat, kebijakan terselubung, atau kepentingan tertentu. Tanpa dokumen internal, kesaksian orang dalam, atau bukti kebijakan tertulis, pengadilan tidak bisa mengaitkan pola tersebut secara langsung dengan kasus Kim Gang Hun.
Gugatan kasus Kim Gang Hun gagal bukan karena penderitaannya dianggap sepele, melainkan karena hukum memiliki batas yang tidak selalu mampu menjangkau keadilan manusiawi. Di ruang sidang, empati harus tunduk pada bukti, dan prinsip besar sering kali mengalahkan kisah individu. Namun, tim Pro Bono tidak berhenti di titik ini. Kekalahan ini justru membuka pertanyaan yang lebih besar, jika hukum tidak bisa menjawab penderitaan seperti ini, lalu siapa yang seharusnya bertanggung jawab?


















