TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

7 Kecemasan Perempuan Setelah Lama Resign dan Ingin Kerja Lagi

Butuh dukungan dari orang-orang terdekat

ilustrasi perempuan melamun (pexels.com/Mike Jones)

Dibandingkan laki-laki, perempuan lebih mungkin mengundurkan diri dari tempat kerjanya karena sejumlah alasan. Bisa sekadar tidak betah hingga yang paling umum adalah menyandang status baru sebagai istri dan ibu. Semantap apa pun keputusan ini diambil, di kemudian hari mereka dapat saja berubah pikiran.

Sama seperti ketika mereka memutuskan buat resign, keinginan kembali bekerja juga bisa disebabkan oleh beberapa hal. Misalnya, penghasilan suami yang gak mencukupi kebutuhan keluarga, anak sudah cukup besar, hingga perceraian yang membuat mereka harus kembali mandiri. Dalam proses transisi dari tidak bekerja menjadi kembali mencari nafkah, perempuan bisa mengalami tujuh kecemasan kompleks berikut ini.

1. Cemas kalah bersaing dengan fresh graduate

ilustrasi perempuan melamun (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Bagaimanapun juga, seluruh kampus tak henti-hentinya mencetak lulusan baru. Sementara itu, lapangan kerja yang tersedia tidak tumbuh sepesat jumlah fresh graduate. Sekalipun seorang perempuan sudah punya pengalaman kerja, ini gak menjamin akan lebih mudah untuknya mendapatkan posisi di sebuah kantor.

Apalagi dengan masa menganggur yang cukup lama. Pembuka lowongan tentu lebih tertarik pada orang yang sudah berpengalaman dan gak vakum lama dari dunia kerja atau lulusan baru sekalian. Kompetensi serta profesionalitas perempuan yang sudah lama resign dan baru sekarang mencari pekerjaan lagi cenderung diragukan.

2. Cemas ilmu dan pengalaman kerjanya sudah gak relevan

ilustrasi perempuan bekerja (pexels.com/Arina Krasnikova)

Lamanya perempuan tidak bekerja lagi selepas resign mengurangi kepercayaan diri mereka saat hendak kembali terjun ke dunia kerja. Contoh mudah adalah karyawan yang mengundurkan diri sebelum masa pandemik dan sekarang ingin kembali bekerja.

Ketika ia resign, digitalisasi belum semasif saat ini. Kini dia kesulitan untuk mengikuti perubahan yang begitu besar dalam cara kerja di banyak perusahaan. Bahkan satu-satunya posisi yang pernah ditempatinya mungkin sekarang telah sepenuhnya digantikan oleh sistem komputer.

Baca Juga: 5 Alasan Kenapa Perempuan Semangat Bekerja, Kamu Relate?

3. Cemas berpisah dari anak

ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/Jep Gambardella)

Bukan cuma anak yang cemas berpisah dari orangtua, khususnya dengan ibunya. Perempuan yang resign karena memiliki momongan juga merasa waswas ketika akan bekerja lagi dan menyerahkan anak dalam pengasuhan orang lain. Meski ada pengasuh yang profesional, tempat penitipan anak, atau anak dijaga oleh saudara tetap saja ibu merasa tidak tenang.

Namun, keadaan kadang mengharuskan mereka untuk tetap mencari nafkah atau bekerja memang menjadi panggilan hidupnya. Jangan mengira hati seorang ibu tidak menangis saat harus meninggalkan anak untuk bekerja. Beban pikiran ibu kian berat bila anak masih balita atau memiliki masalah kesehatan dan tumbuh kembang sehingga orang yang menjaganya belum tentu bisa sabar.

4. Cemas apa kata orang

ilustrasi perempuan melamun (pexels.com/Mikhail Nilov)

Laki-laki akan dianggap tidak wajar apabila gak bekerja. Sebaliknya, di masyarakat tak sedikit orang yang masih berpandangan bahwa perempuan seharusnya menjadi ibu rumah tangga secara penuh. Seorang istri yang bekerja kerap dipandang negatif.

Apalagi kalau mereka tetangga baru. Mereka tidak tahu, bahwa seorang istri dulunya juga bekerja. Ketika ia sekarang kembali mencari nafkah, mereka dapat menyangka suaminya tak lagi memberi uang bahkan rumah tangganya di ambang kehancuran.

5. Cemas peristiwa buruk di tempat kerja sebelumnya terulang

ilustrasi perempuan tegang (pexels.com/Ron Lach)

Apa yang dahulu menyebabkan perempuan sampai resign juga memengaruhi kegelisahannya hari ini. Bila waktu itu dia mengundurkan diri lantaran terjadi peristiwa buruk di kantor seperti pelecehan seksual, tentu ada rasa trauma yang kuat. Batinnya berkonflik antara kebutuhan buat bekerja dengan takut hal serupa bakal terulang.

Bila rasa trauma itu begitu kuat, sebaiknya perempuan memulihkan kondisi psikisnya terlebih dahulu. Jangan memaksakan diri untuk bekerja sebelum ketakutan itu berkurang karena dapat mendorongnya bereaksi tidak tepat saat mengalami kepanikan. Misalnya, tiba-tiba berteriak minta tolong ketika diajak atasan membicarakan pekerjaan berdua saja di ruangannya.

Padahal, atasannya sama sekali tak berniat buruk. Kalaupun ia harus tetap mencari nafkah, carilah pekerjaan yang membuatnya dikelilingi sesama perempuan supaya tumbuh rasa aman dulu. Nanti perlahan-lahan baru memperluas kembali jejaring dengan teman laki-laki.

6. Cemas gak diizinkan suami

ilustrasi keluarga (pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Walaupun suami punya maksud baik dalam melarang istri bekerja, sebaiknya jangan menolak keinginannya begitu saja. Contohnya, suami tidak ingin istrinya kelelahan. Bukankah penyebab lelahnya seorang istri bermacam-macam?

Bekerja di luar rumah boleh jadi masih terasa lebih ringan untuknya daripada seharian mengasuh anak dan beres-beres rumah seorang diri. Belum lagi melayani suami dari sebelum suami berangkat kerja dan nanti setelah pulang. Laki-laki perlu memahami hal ini sehingga tidak asal melarang keinginan istri untuk kembali bekerja.

Bahkan lebih baik suami terlebih dahulu menanyakan keinginan pasangannya, mau bekerja lagi atau tidak. Lalu beri masukan-masukan yang baik untuknya dan bukan cuma demi keinginan suami. Apa pun keputusan istri, suami perlu mendukung.

Baca Juga: 5 Langkah Mengatasi Penyesalan setelah Resign, Jangan Malu!

Verified Writer

Marliana Kuswanti

Esais, cerpenis, novelis. Senang membaca dan menulis karena membaca adalah cara lain bermeditasi sedangkan menulis adalah cara lain berbicara.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya