Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi karyawan gen Z (pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Dunia kerja sedang mengalami transformasi seiring perkembangan gaya manajemen tradisional, untuk menyesuaikan diri dengan era modern. Salah satu tren yang muncul dan menarik perhatian adalah conscious unbossing yang marak terjadi di lingkungan pekerja muda.

Conscious unbossing, berefek pada ketidaktertarikan karyawan muda terhadap posisi manajerial. Fenomena ini tengah tren di kalangan usia muda dan produktif, yang saat ini sedang memenuhi dunia kerja, salah satunya adalah gen Z. 

Lalu, apa yang sebenarnya menjadi faktor dari tren conscious unbossing, dan mengapa sangat identik dengan gen Z? Temukan penjelasannya di sini!

1. Kemunculan fenomena 'conscious unbossing'

Ilustrasi karyawan gen Z (pexels.com/Ivan Samkov)

Istilah 'conscious unbossing' merujuk pada pergeseran dinamika di tempat kerja. Conscious unbossing dalam konteks ini bukanlah penolakan terhadap budaya kepemimpinan itu sendiri, melainkan penolakan terhadap definisi tradisional tentang apa artinya pemimpin.

Gen Z memprioritaskan pekerjaan yang bermakna daripada mengejar metrik kesuksesan tradisional, seperti jabatan atau gaji. Akses informasi melalui teknologi juga telah memberdayakan mereka untuk mempertanyakan praktik manajemen usang, hingga menuntut transparansi. 

“Bukan berarti Gen Z tidak menghormati kepemimpinan. Tetapi mereka mengasosiasikan peran manajerial dengan stres, keterbatasan otonomi, dan buruknya work-life balance," ungkap Lucy Bisset, Direktur Recruiter Firm Ingrris, Robert Walters North, mengutip Forbes. 

Walhasil, gen Z tidak tertarik mendaki tangga korporasi tradisional, contohnya di posisi manajerial. Fenomena ini mencerminkan preferensi pribadi gen Z, sekaligus transformasi besar menuju struktur kepemimpinan non-hierarkis pada perusahaan.

2. Gen Z fokus pada pertumbuhan pribadi

Ilustrasi karyawan gen Z (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Mengutip laman Forbes, penelitian Robert Walters North menunjukkan bahwa 72 persen karyawan gen Z lebih memilih mengembangkan karier melalui penguasaan keahlian individu, daripada mengejar peran sebagai manajer tim. Mereka menganggap pengaruh kepemimpinan berasal dari keahlian yang memberikan dampak langsung, bukan dari posisi.

Gen Z juga menghindari birokrasi dan kerumitan manajemen tim, yang menjadi ciri khas kepemimpinan tradisional. Maka, konsep conscious unbossing di lingkungan kerja sangat dibutuhkan para gen Z. Bisset mengungkapkan bahwa gen Z lebih suka membangun pertumbuhan sendiri, daripada menghabiskan waktu untuk mengelola orang lain.

Banyak dari mereka juga kurang berminat untuk menghabiskan waktu bertahun-tahun di perusahaan, terutama karena, dalam beberapa kasus, gen Z hampir tidak pernah menginjakkan kaki di kantor, karena tren remote working.

"Gen Z ingin berkembang, tetapi tidak tertarik pada peran manajerial tradisional. Mereka lebih mengutamakan peningkatan keterampilan pribadi dan profesional dibandingkan dengan kompleksitas pengelolaan tim," tambahnya.

3. Gen Z mementingkan kesehatan mental, yang bisa diraih dari pekerjaan yang mereka nikmati

Ilustrasi karyawan gen Z (pexels.com/cottonbro studio)

Karyawan gen Z dikenal vokal dalam menyampaikan harapan mereka terhadap pekerjaan. Mereka cenderung menekankan pentingnya melakukan pekerjaan yang menonjolkan gaya uniknya. Posisi manajerial yang tugasnya mengawasi pekerjaan anggota tim, seringkali dapat mengurangi minat kerja karena gen Z cenderung kurang menikmatinya. 

“Alih-alih naik tangga korporat, banyak anak muda memilih untuk tetap berada di peran yang memungkinkan mereka terhubung dengan pekerjaan yang bermakna, dan menjaga kesehatan mental mereka," ungkap Smriti Joshi, kepala psikolog di Wysa, penyedia dukungan kesehatan mental, dilansir dari laman Harpers Bazaar. 

Misalnya, seorang karyawan muda yang menyukai pekerjaan kreatifnya, secara sadar memutuskan untuk tidak mengambil peran manajerial, karena menyadari bahwa hal tersebut akan menjauhkannya dari apa yang ia nikmati.

Posisi menejerial juga seringkali dianggap sebagai posisi yang menantang, terjepit di antara tekanan kepemimpinan senior dan tuntutan karyawan lain. Gen Z mungkin telah menyaksikan sendiri orang-orang di sekitar mereka mengalami burnout akibat tanggung jawab manajerial. Karena itu, mereka mungkin tidak ingin mengikuti jalan tersebut. 

4. Ini menjadi pendekatan kepemimpinan yang lebih fleksibel atau tidak otoriter

Ilustrasi karyawan gen Z (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Conscious unbossing bukan sekadar menghilangkan peran pemimpin tradisional. Ini merupakan pendekatan yang berfokus pada kepemimpinan melalui pengaruh, bukan otoritas. Tren ini dinilai akan menghapus hierarki yang tidak perlu, demi menciptakan tim yang gesit, responsif, dan berkembang melalui kolaborasi.

Conscious unbossing dinilai menawarkan penyegaran dari struktur korporat tradisional dengan mendorong budaya transparansi, otonomi, dan pertumbuhan berkelanjutan. Pendekatan ini meredefinisi peran kepemimpinan bukan sebagai arahan dari atas ke bawah, tetapi sebagai posisi yang mendorong kolaborasi, mentoring, dan saling menghormati.

Banyak karyawan muda telah melihat kelemahan organisasi yang terlalu birokratis, dan lebih memilih pemimpin yang bertindak sebagai mentor daripada figur otoriter. Dalam kerangka kerja fleksibel, gen Z akan merasa didukung daripada tertekan, sehingga memiliki kapasitas dan kemampuan untuk mencapai kesuksesan yang lebih besar.

5. Berdampak terhadap perusahaan, maka, dunia kerja perlu menyesuaikannya

Ilustrasi karyawan gen Z (pexels.com/fauxels)

Dampak dari conscious unbossing sudah terlihat di tempat kerja. Karyawan yang merasa terkekang dalam hierarki tradisional cenderung meninggalkan pekerjaan mereka. Kurangnya otonomi dan tujuan seringkali menyebabkan keterlibatan yang rendah dan produktivitas menurun. Banyak yang memilih keluar dari pekerjaan tradisional sepenuhnya dan beralih ke "gig work" yang menawarkan fleksibilitas lebih besar.

Bagi perusahaan, mengabaikan tren ini justru akan mengakibatkan kehilangan talenta yang signifikan dan melemahkan budaya organisasi. Bahkan, keengganan untuk mengambil peran sebagai manajer tingkat menengah ini bisa menjadi masalah bagi pemberi kerja di masa mendatang. Para pemberi kerja tentu masih berpikir bahwa level manajer tingkat menengah memainkan peran yang krusial.

“Para profesional muda, yang masuk ke dunia kerja dalam kapasitas yang sebagian besar jarak jauh atau hibrida dengan fokus besar pada kemampuan digital, cenderung kurang loyal terhadap perusahaan sepenuhnya,” ujar Bisset.

Maka, merombak budaya dan kebijakan organisasi adalah langkah penting bagi perusahaan. Perusahaan harus mengubah tempat kerja menjadi ruang di mana karyawan dapat berkembang, berinovasi, dan berkomitmen. Dengan kecepatan beradaptasi dengan transformasi, perusahaan juga dapat lebih cepat maju menuju kesuksesan. 

Conscious unbossing bukanlah tren yang perlu ditakuti, melainkan peluang untuk berkembang lebih baik. Dengan merangkul konsep ini, lingkungan kerja disarankan tidak hanya menarik talenta terbaik, tetapi juga menciptakan budaya kolaborasi, sehingga dapat meningkatkan kinerja. So, buat kamu para gen Z, apakah tren ini relate dengan kehidupanmu sekarang?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorAliya