Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Kebiasaan Kerja yang Membuat Konflik makin Sulit Diselesaikan

ilustrasi konflik kerja
ilustrasi konflik kerja (pexels.com/Yan Krukau)
Intinya sih...
  • Menunda pembahasan masalah dapat memperbesar konflik dan mengganggu produktivitas kerja.
  • Bahasa yang memicu emosi bisa mengalihkan fokus dari penyelesaian masalah inti dan merusak hubungan profesional.
  • Mempertahankan ego secara berlebihan menghambat proses penyelesaian konflik dan menutup peluang untuk melihat perspektif baru.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Konflik di tempat kerja adalah hal yang wajar, terutama ketika banyak kepala harus bersatu demi mencapai tujuan yang sama. Namun, masalahnya muncul saat konflik tersebut justru berlarut-larut dan sulit diselesaikan. Dalam banyak kasus, bukan hanya akar permasalahan yang membuatnya rumit, melainkan juga kebiasaan-kebiasaan kecil yang tanpa disadari memperkeruh suasana. Kebiasaan ini sering dianggap sepele, padahal dampaknya bisa menumpuk dan menghambat penyelesaian.

Menyelesaikan konflik butuh keterbukaan, komunikasi yang sehat, dan kemauan untuk memahami sudut pandang orang lain. Sayangnya, banyak orang terjebak dalam pola perilaku yang justru menghalangi langkah menuju solusi. Mulai dari menunda pembicaraan penting sampai mempertahankan ego secara berlebihan, semua itu dapat menambah lapisan kerumitan. Artikel ini akan membahas kebiasaan-kebiasaan tersebut agar setiap individu bisa lebih sadar dan menghindarinya sebelum konflik berkembang menjadi masalah besar.

1. Menunda pembahasan masalah

ilustrasi diskusi bisnis
ilustrasi diskusi bisnis (pexels.com/Matheus Bertelli)

Menunda pembahasan konflik sering dianggap strategi untuk meredakan emosi, padahal tidak selalu efektif. Semakin lama masalah dibiarkan, semakin besar potensi munculnya kesalahpahaman dan asumsi yang salah. Rekan kerja mungkin mulai menafsirkan situasi sesuai persepsi masing-masing, yang bisa memicu gosip atau rasa curiga. Ketika akhirnya pembahasan dilakukan, masalah yang awalnya sederhana bisa menjadi jauh lebih kompleks.

Kebiasaan ini juga memberi ruang bagi emosi negatif untuk mengendap. Saat perasaan kesal atau kecewa tidak tersalurkan dengan baik, beban mental akan menumpuk dan memengaruhi produktivitas kerja. Bahkan, bisa terjadi penghindaran antarindividu yang berujung pada rusaknya hubungan kerja. Menghadapi masalah sesegera mungkin memang terasa tidak nyaman, tapi justru itu langkah yang dapat mencegah konflik membesar.

2. Menggunakan bahasa yang memicu emosi

ilustrasi konflik kerja
ilustrasi konflik kerja (pexels.com/Yan Krukau)

Bahasa yang digunakan saat berdiskusi sangat memengaruhi arah penyelesaian konflik. Kata-kata yang merendahkan, nada suara yang tinggi, atau komentar sarkastis bisa langsung memicu pertahanan diri lawan bicara. Begitu emosi sudah tersulut, pembahasan akan bergeser dari mencari solusi menjadi saling menyerang. Akibatnya, fokus pada masalah inti akan hilang.

Lebih buruk lagi, bahasa yang memicu emosi sering meninggalkan luka psikologis yang sulit dipulihkan. Rekan kerja mungkin akan membawa perasaan tersinggung itu ke interaksi selanjutnya, sehingga hubungan profesional menjadi dingin. Penting untuk mengatur pilihan kata, menjaga nada suara, dan memastikan pesan tersampaikan dengan hormat. Cara berbicara yang tepat bisa menjadi jembatan menuju penyelesaian, bukan dinding penghalang.

3. Mempertahankan ego secara berlebihan

ilustrasi konflik kerja
ilustrasi konflik kerja (pexels.com/Antoni Shkraba Studio)

Setiap orang pasti punya sudut pandang yang ingin dipertahankan, tapi ketika ego menjadi prioritas utama, proses penyelesaian konflik akan terhambat. Ego yang terlalu tinggi membuat seseorang sulit menerima masukan atau mengakui kesalahan. Akibatnya, diskusi akan berjalan buntu karena tidak ada pihak yang mau mengalah atau mencari titik temu.

Mempertahankan ego juga menutup peluang untuk melihat perspektif baru. Padahal, terkadang solusi terbaik justru muncul dari sudut pandang orang lain. Ketika terlalu fokus pada “siapa yang benar”, maka esensi dari penyelesaian masalah akan hilang. Mengendalikan ego bukan berarti mengorbankan harga diri, melainkan menunjukkan kedewasaan dalam menghadapi perbedaan pendapat.

4. Mengabaikan akar permasalahan

ilustrasi konflik kerja
ilustrasi konflik kerja (pexels.com/Yan Krukau)

Sering kali, penyelesaian konflik terhambat karena hanya fokus pada gejala, bukan penyebab utamanya. Misalnya, memperdebatkan hasil kerja yang kurang memuaskan tanpa membahas hambatan yang menyebabkan kualitasnya menurun. Ketika akar masalah tidak disentuh, konflik yang sama akan berulang meski telah dilakukan berbagai kompromi.

Mengabaikan akar permasalahan membuat penyelesaian hanya bersifat sementara. Situasi ini dapat melelahkan seluruh tim karena masalah terus muncul dalam bentuk berbeda. Pendekatan yang tepat adalah menggali lebih dalam penyebab konflik, meskipun prosesnya memakan waktu. Dengan begitu, solusi yang dihasilkan akan bersifat menyeluruh dan berkelanjutan.

5. Mengandalkan pihak ketiga secara berlebihan

ilustrasi konflik kerja
ilustrasi konflik kerja (pexels.com/Kampus Production)

Mengundang pihak ketiga untuk menjadi mediator memang bisa membantu, tapi jika terlalu sering dilakukan, bisa menimbulkan ketergantungan. Setiap konflik akan menunggu campur tangan orang lain, sehingga keterampilan menyelesaikan masalah secara mandiri tidak berkembang. Akibatnya, tim akan kehilangan kemampuan untuk mengatasi perbedaan secara langsung.

Selain itu, kehadiran pihak ketiga tidak selalu menjamin keadilan atau solusi terbaik. Terkadang, mediator mungkin memiliki keterbatasan pemahaman terhadap konteks yang sebenarnya. Solusi yang dihasilkan pun bisa terasa kurang relevan atau memuaskan semua pihak. Belajar berdialog langsung tanpa perantara akan memperkuat kepercayaan antaranggota tim dan membangun budaya komunikasi yang sehat.

Konflik di tempat kerja memang tidak bisa dihindari sepenuhnya, tetapi cara mengelolanya yang menentukan apakah hubungan kerja akan tetap harmonis atau justru retak. Menghindari kebiasaan seperti menunda pembahasan, menggunakan bahasa yang memicu emosi, atau mempertahankan ego berlebihan akan membuat proses penyelesaian lebih efektif.

Dengan kesadaran akan kebiasaan yang memperumit situasi, setiap individu memiliki peluang lebih besar untuk membangun lingkungan kerja yang sehat. Pada akhirnya, bukan ketiadaan konflik yang membuat tim solid, melainkan kemampuan untuk menghadapinya dengan cara yang tepat dan dewasa.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Agsa Tian
EditorAgsa Tian
Follow Us