Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pahit-Manis Ini Pasti Dirasakan Guru SMA di Usia 20-an

Pexels

Siapa sih yang tidak tahu profesi mulia yang satu ini?

Sayangnya, sebagian pihak masih saja terkesan ‘menyepelekan’ profesi guru. Seperti, kasarnya, ‘Ah, jadi guru mah gampang, cuma modal ngomong aja’. Nah, asumsi negatif tersebut mugkin disebabkan dari kedangkalan pembekalan pedagogik, penguasaan keilmuan, serta kemampuan profesional oleh para awam di bidang pendidikan. Padahal, sejatinya, melakoni peran sebagai seorang guru, artinya, kamu harus bersedia memikul tanggungjawab yang berat karena ada amanat besar yang diembankan seumur hidup di pundakmu.

Akan tetapi, bagi mereka yang setidaknya bersedia meletakkan lebih banyak empati pada profesi guru, apalagi yang memang berkiprah sebagai seorang guru, tentu jelas dipahami bahwa menyandang gelar sebagai seorang Bapak/Ibu Guru bukanlah hal yang sederhana. Begitu luas kompleksitas yang harus di jelajahi oleh seorang guru.

Walaupun kamu mengetahui dengan begitu detail mulai dari sejarah penemuan hingga kandungan kimiawi dalam gula, sayangnya, kamu tidak akan pernah tahu bagaimana manis rasanya gula jika kamu belum mencicipinya dengan lidahmu langsung.

Sejalan dengan profesi-profesi lainnya, profesi guru pun memiliki tantangannya tersendiri. Oleh sebab itu, masing-masing kita pun pada hakekatnya tak mempunyai hak untuk saling melempar caci-maki. Bahkan, untuk mereka yang bernaung dalam satu profesi yang sama sekalipun. Jangan salahkan profesinya, tujuan dari profesi itu lurus untuk memanusiakan manusia, manusianya saja yang mungkin masih harus diarahkan untuk tidak melangkah menyimpang.

Satu hal yang harus diyakini adalah, dapat dipastikan akan selalu ada titik jatuh-bangun untuk apapun profesinya. Bukan bermaksud menggurui, namun, alangkah baiknya apabila kita sama-sama berintropeksi diri dan saling harga-menghargai profesi, lalu bersinergi menemukan solusi untuk masalah yang terjadi.

Nah, kamu yang sudah di panggil Bapak/Ibu Guru di usia 20-an, pasti akrab dengan hal berikut

1. Terutama Bapak/Ibu guru yang berparas rupawan, menghadapi siswa/i usia pubertas akan lebih menguji iman.

shutterstock

Pepatah ‘dari mata turun ke hati’ mungkin berlaku dalam hal ini. Tatap mata siswamu kadang tidak tertuju pada papan tulis, tapi justru pada wajahmu. Padahal kamu bahkan cuma pakai bedak tabur dan lipstik seoles. Ketika kamu tersenyum di depan kelas, siswa-siswamu seolah mendapat angin segar melihat senyum gurunya yang menawan. Bahkan siswa-siswa yang biasanya duduk dibelakangpun akan pindah ke bangku paling depan agar bisa melihatmu lebih dekat.

Kemudian ketika emosimu mulai diuji, mereka meredakannya dengan, ‘Bapak/Ibu jangan marah, nanti ganteng/cantiknya luntur.’ Yah, kamu pasti sudah kenyang makan gombalan yang datang silih-berganti untuk menarik perhatianmu. Siswa-siswa yang curi pandang dengan ‘sorot mata khas anak puber’ pun pernah tertangkap basah ketika kamu mengajar dalam kelas atau ketika mereka di bariskan di lapangan.

Selain itu, perkenalan saat pertemuan pertama pastinya tidak pernah lepas dari ‘Sudah punya pacar, Pak/Bu?’. Atau ketika salah satu siswamu mengangkat tangan atas respon ‘Ada pertanyaan?’ yang kamu lemparkan di penghujung materi, namun ternyata yang ditanyakan adalah pin BBM-mu. Ada juga siswamu yang berpura-pura sakit supaya diberi perhatian sedikit lebih darimu. Dan, salah satu momen yang paling ditunggu siswa adalah ketika cium tangan saat akan pulang sekolah. Maunya lama-lama cium tangan sama Bapak/Ibu guru ganteng/cantik!

2. Honorifik yang akan selalu melekat erat pada gelar 'Guru'-mu itu.

southwalesargus.co.uk

Kamu, atau bahkan siswamu juga, sempat merasa agak canggung ketika kamu memanggilnya dengan ‘Nak’. Walaupun belum menikah, tapi kamu sudah punya ratusan anak, dan rasanya itu ‘sesuatu sekali’. Siswamu mungkin pernah keceplosan memanggilmu ‘Kak’, lalu lekas mengganti dengan ‘Bu’, lantaran umurmu yang masing muda seperti kakak-kakak pengajar di bimbingan belajarnya.

Dan, walaupun kamu dipanggil ‘Pak/Bu’ secara honorifik, namun tidak jarang pula kamu dibuat kewalahan dalam pengelolaan kelas, karena faktor jarak umur, pengalaman mengajar, dan memang tak ada satupun siswa dengan karakter yang persis sama seolah menjelajahi hutan yang tak tahu rimbanya.

3. Jaga ucap dan jaga sikap adalah makanan sehari-hari.

usnews

Kamu harus terbiasa dipanggil Bapak atau Ibu saat berpapasan dengan siswa atau orangtua siswa di tempat umum, walaupun kamu tengah tidak mengenakan seragam kerja. Walaupun kalian dapat dikatakan sebagai kakak-adik jika di lihat dari rentang usia.

Kamu juga harus siap sedia dimintai pendapat atau sikap salah seorang siswamu ketika tak sengaja berpapasan dengan orang tua atau walinya di tempat umum. Padahal kamu mungkin belum hapal ratusan nama siswamu karena kamu baru mengajar di sekolah itu. Gelar ‘Bapak/Ibu Guru’ itupun membimbing kamu untuk harus menjaga kepantasan berbusana, tingkah laku, serta tutur katamu baik di dunia nyata ataupun dunia maya.

4. Jadi guru itu harus sabar, termasuk menjadi korban ciye ciyee dari teman-teman di sekolah tugas ataupun teman-teman saat sekolah dulu.

wisegeek

Kamu pasti sudah hafal dengan guyonan ‘Selamat pagi, Pak. Selamat pagi, Bu.’ atau ‘Eh, ada Pak/Bu guru.’ saat reuni dengan kawan-kawan lama. Dan, bukan hal asing bagimu ketika dijodoh-jodohkan dengan rekan sesama guru karena statusmu yang masing lajang. Bahkan, kamupun sempat dijodoh-jodohkan dengan kerabat rekan gurumu. Lalu, kamupun balik membalas mereka dengan guyonan atau hanya cukup dengan senyuman.

5. Jarak umur yang relatif dekat pun membuatmu harus memasang tameng lebih kokoh dibalik 'Kode Etik Guru Indonesia' terhadap siswa tertentu yang berusaha mendekat dalam artian 'khusus'.

blog.gaijinpot

Sewajarnya, secara psikologis, jika siswa-siswamu cepat merasa dekat atau bahkan nyaman denganmu karena jarak umur yang tidak begitu jauh. Sayangnya, terkadang mereka lupa bahwa saat ini kamu berstatus sebagai gurunya bukan kakaknya. Guru adalah orang tua kedua mereka di sekolah, dan kamupun jelas sadari kalian dibatasi oleh Kode Etik Guru Indonesia seberapa akrab pun relasi diantara kalian.

Nah, sedikit dari kamu mungkin dihadapkan pada kasus langka, dimana siswamu nekat menyatakan perasaan padamu baik lisan ataupun tulisan. Perasaan terpendam yang sudah tidak sanggup terbendung lagi. Lalu, kamupun mulai merasa ‘bergidik’ karena kamu sadar konsekuensi yang mengekori hal tersebut terhadapmu ataupun terhadapnya lantaran perbedaan status diantara kalian. Kamupun mencoba menempatkan diri sebijak mungkin. Kamu menyadari bahwa ada faktor pubertas yang tengah dijalani oleh siswa usia remaja, yang beberapa tahun lalupun telah kamu lalui pada fasemu.

Di satu sisi, hati kecilmu juga tidak bisa mengabaikan, bahwa sejatinya, dia adalah manusia yang juga memiliki hati sepertimu. Apalagi ketika kamupun menyadari ada ketulusan dan kesungguhan dalam usahanya mendekatimu. Akan tetapi, statusmu bukan sekedar sebagai seorang ‘wanita’ melainkan sebagai seorang ‘guru wanita’. Dia mungkin lupa bahwa kamu adalah gurunya, bukan untuk dijadikan gebetan walaupun wajah gurunya tersebut memang sedap dipandang dan membuatnya melayang. Bahkan walaupun kebetulan karaktermu memang termasuk dalam wanita idamannya. Tapi yah, apa mau dikata, tetaplah ada Kode Etik Guru Indonesia yang membatasi relasi kalian.

Kode Etik Guru Indonesia jadi satu hal yang wajib kamu pegang teguh dalam menjalankan profesionalitas profesimu.

6. Pada akhirnya, kamu bersyukur di beri kesempatan menjadi seorang guru SMA di usiamu yang masih begitu muda.

ite.az

Kamu menjadi pribadi yang lebih toleran karena setidaknya mencoba memahami ada fase psikologi pubertas yang tengah mereka alami untuk berproses menjadi dewasa. Selisih usia yang kecil membantumu untuk lebih mengetahui pribadi siswamu lebih mendalam, lantaran ada bentuk kenyamanan tersendiri yang secara alamiah timbul sebab jarak umur antara kalian yang tidak begitu jauh. Kamu ataupun siswamu tidak merasa begitu canggung ketika mengutarakan kendala pembelajarannya. Sehingga kamu lebih dapat cepat berganti strategi lantaran mendapat sumber masalah langsung dari objeknya. Imbas positifnya, pencapaian kompetensi lebih berpotensi untuk tercapai.

Kamupun sadar, pada dasarnya, posisi kalian mirip. Kamu belajar mengajar dan mereka belajar untuk diajar. Mereka belajar ilmu darimu, dan kamu belajar memahami ragam karakter individu. Kamupun menjadi lebih rendah hati, karena kamu sadar apa gunanya arogansi.

Kamu percaya bahwa semua siswamu sesungguhnya cerdas, dengan bawaannya masing-masing. Dia mungkin tidak menonjol di mata pelajaranmu walaupun sudah dicobanya, tapi dia mungkin berprestasi di mata pelajaran lain. Bagimu, usaha siswamu untuk berproses mencapai target yang lebih baik, sudah cukup membuatmu bangga. Pada akhirnya, kamu menyadari bahwa menjadi seorang guru itu adalah suatu proses belajar seumur hidup karena kamu harus terus meningkatkan kompetensi akademik dan kepiawaian mengelola karakteristik siswa yang majemuk.

Nah, mana nih yang paling mengena di hati, para guru-guru muda?

Share
Topics
Editorial Team
Rahmadila Eka Putri
EditorRahmadila Eka Putri
Follow Us