Tim mereka terdiri dari Falah Fakhriyah, Martin Siagian, Nathan Harjanto, serta seorang mahasiswa Jepang, Keiko Miyazaki. Tim ini menjadi satu dari tujuh tim yang lolos ke final mewakili negara-negara, seperti Argentina, Jerman, Yunani, India, Italia, Jepang, Moldavia, Belanda, Norwegia, dan Inggris.
Ketujuh tim finalis tersebut menghabiskan sepekan di Toulouse, Prancis untuk membangun purwarupa dari ide mereka di fasilitas Inovasi dan R&D mutakhir milik Airbus, dengan dukungan dari para mentor dan ahli terkait di Airbus. Sehingga pada 27 Juni 2019, seluruh tim mempresentasikan proyek mereka di hadapan para panelis yang terdiri dari ahli kedirgantaraan Airbus maupun akademisi.
Dewan juri yang berasal dari Airbus dan International Space University (Strasbourg) terkesan dengan semangat inovatif dan pemahaman ekonomi yang ditunjukkan oleh para mahasiswa di Tim AirFish yang mengusung sebuah sistem pemantauan laut menggunakan teknologi pengambilan gambar dan video melalui satelit. Dikenal sebagai remote sensing atau penginderaan jarak jauh, penerapan teknologi ini dapat membantu pemerintah melawan penangkapan ikan ilegal, mengurangi penangkapan spesies langka secara tidak sengaja, serta mengurangi kerusakan habitat laut.
"Ide ini berasal dari keinginan kami untuk memberikan solusi terhadap isu yang terjadi di negara kami masing-masing (Indonesia dan Jepang), yaitu illegal fishing dan overfishing. Kami melihat resources yang dimiliki Airbus, termasuk teknologi dan kapabilitas untuk membuat sistem monitoring illegal fishing. Dari situ, munculah ide untuk menggabungkan beberapa teknologi Airbus dan mewujudkannya menjadi suatu fungsi baru, yakni fisheries monitoring yang tidak hanya dapat menjadi sumber pendapatan baru, tapi juga memberikan manfaat untuk pemerintah di negara-negara dengan sumber daya perairan yang besar," ungkap Falah kepada IDN Times.
Tim ini berhasil mengalahkan 269 ide lainnya dan membawa pulang hadiah uang tunai sebesar 10.000 euro atau sekitar Rp160juta.