Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

4 Tanda 'Productivity Culture' Merusak Kreativitas

pria menyendiri (pexels.com/Andrew Neel)
Intinya sih...
  • Kreativitas butuh ruang, bukan tekanan untuk selalu menghasilkan
  • Kadang, obsesi pada to-do list juga bikin seseorang lebih memilih pekerjaan mudah yang cepat selesai daripada eksplorasi ide baru
  • Kreativitas biasanya muncul saat pikiran sedang santai, bukan saat terlalu sibuk dan overthinking karena kerjaan numpuk

Hayo, siapa yang suka banget sibuk? Dunia sekarang kayak berlomba-lomba nunjukin siapa yang paling produktif, sampai-sampai lupa kalau hidup bukan cuma soal mencentang daftar tugas. Productivity culture ini memang seru sih, tapi kalau nggak hati-hati, bisa jadi bumerang buat kreativitas. Yuk, kenali tanda-tandanya biar tetap seimbang antara kerja keras dan ide segar.

Kreativitas itu seperti bunga, perlu waktu untuk tumbuh. Tapi kalau terus-terusan dikejar deadline dan selalu dituntut produktif, ide-ide segar itu bisa kering sebelum sempat berkembang. Simak 4 tanda kalau productivity culture diam-diam merusak kreativitas, dan jangan sampai terjebak ya!

1. Terobsesi dengan to-do list

Ilustrasi pria bermain handphone (pexels.com/Kaboompics)

Ketika semua hal diukur dari seberapa banyak tugas yang bisa diselesaikan, kreativitas mulai kehilangan tempatnya. Menyelesaikan banyak hal memang bikin puas, tapi terlalu fokus pada to-do list sering kali membuat ide-ide liar yang justru sering jadi kunci inovasi—diabaikan begitu saja. Kreativitas butuh ruang, bukan tekanan untuk selalu menghasilkan.

Kadang, obsesi pada to-do list juga bikin seseorang lebih memilih pekerjaan mudah yang cepat selesai daripada eksplorasi ide baru yang memakan waktu. Akhirnya, hasil kerja memang banyak, tapi kualitasnya begitu-begitu saja. Kreativitas itu seperti berpetualang, kadang perlu tersesat dulu untuk menemukan sesuatu yang benar-benar berharga.

2. Terlalu memuja 'hustle culture'

wanita menggunakan laptop (pexels.com/Canva Studio)

“Hustle harder, no excuses.” Kalimat ini sering banget terdengar di dunia kerja atau media sosial. Tapi, kalau setiap detik dipakai untuk kerja tanpa jeda, otak bisa lelah. Kreativitas biasanya muncul saat pikiran sedang santai, bukan saat terlalu sibuk dan overthinking karena kerjaan numpuk.

Fokus pada hustle culture juga sering bikin seseorang merasa bersalah kalau nggak kerja. Padahal, istirahat bukan musuh produktivitas, justru jadi momen untuk recharge. Coba deh beri ruang untuk diri sendiri, biar otak punya waktu mencerna ide-ide baru yang muncul.

3. Multi-tasking berlebihan

pria sedang membaca buku (pexels.com/ Adil)

Multi-tasking kadang dianggap cara jitu buat produktif, tapi faktanya, hal ini bisa jadi musuh terbesar kreativitas. Saat otak dipaksa fokus ke terlalu banyak hal sekaligus, hasilnya malah jadi nggak maksimal. Proses kreatif butuh fokus mendalam pada satu hal, bukan perhatian yang terpecah-pecah.

Selain itu, multi-tasking sering bikin seseorang lupa menikmati proses. Padahal, proses yang dinikmati biasanya melahirkan ide-ide baru. Jadi, kalau merasa kreativitas mandek, coba hentikan kebiasaan multi-tasking berlebihan. Fokuslah pada satu hal dalam satu waktu.

4. Mengabaikan waktu untuk beristirahat

pria tertidur (pexels.com/Pixabay)

Kreativitas nggak bisa tumbuh di tengah kelelahan terus-menerus. Kalau terus-terusan bekerja tanpa istirahat yang cukup, otak akan mengalami kejenuhan. Ini bukan cuma merusak kesehatan mental, tapi juga membunuh potensi ide-ide cemerlang yang seharusnya bisa muncul.

Istirahat bukan sekadar tidur, tapi juga momen untuk melepaskan diri dari tekanan. Entah itu dengan berjalan-jalan, mendengarkan musik, atau sekadar melamun, semua itu bisa jadi ‘pupuk’ untuk kreativitas. Jadi, jangan merasa bersalah untuk berhenti sejenak dan recharge.

Productivity culture memang punya sisi positif, tapi kalau nggak diimbangi, bisa merusak kreativitas dan kesehatan mental. Kenali tanda-tanda di atas supaya tetap bisa produktif tanpa mengorbankan ide-ide segar. Ingat, hidup bukan cuma soal hasil, tapi juga tentang menikmati prosesnya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us