6 Novel yang Angkat Isu Ketimpangan dan Opresi selain 1984

Terlepas dari banyaknya negara yang sudah menyatakan kemerdekaan dan kedaulatan, penjajahan, opresi, dan ketimpangan tidak sepenuhnya musnah dari dunia. Berbagai penyimpangan kekuasaan juga masih bisa kita lihat jelas, termasuk di negeri sendiri.
Miris rasanya, karena banyak buku lawas tentang ketimpangan dan opresi yang ternyata masih relevan sampai sekarang. Ini artinya tak ada perubahan berarti setelah beberapa dekade berlalu.
Novel George Orwell, 1984 dan Animal Farm jadi yang paling sering direkomendasikan dan ironisnya masih bisa kita temui di berbagai tempat. Namun, tentu masih banyak judul lain yang tak kalah menarik buat dibaca.
Sebagai pengingat akan eksistensi ketimpangan dan opresi di sekitar kita, mari baca kembali beberapa rekomendasi novel terbaik berikut. Klasik sampai kontemporer siap dilahap.
1. Waktu Bintang

Waktu Bintang adalah novel klasik karya penulis Brasil Clarice Lispector yang baru saja terbit versi terjemahan bahasa Indonesianya. Premisnya sederhana, jumlah halamannya tak seberapa, tetapi kritiknya menggigit. Ia mengikuti perspektif seorang gadis bernama Macabea yang selama ini hidup adem anyem sampai ia sadar kalau ternyata dirinya merupakan bagian dari kelompok marginal di Brasil.
2. Babel

Disebut salah satu novel terbaik karya R.F. Kuang, Babel juga sebuah perjalanan kesadaran seseorang tentang identitasnya sebagai bagian dari kelompok teropresi. Ia adalah Robin, bocah asal Canton yang diadopsi dan dibawa ke Inggris pada tahun 1800-an.
Ia menikmati kehidupan nyaman dan dapat kesempatan mengenyam pendidikan di salah satu institusi pendidikan terbaik di Inggris. Namun, pada momen inilah ia menemukan sisi gelap dari negara yang jadi rumahnya selama belasan tahun.
3. The Grapes of Wrath

Novel klasik lain yang masih relevan saat bicara ketimpangan adalah The Grapes of Wrath karya John Steinbeck. Berlatarkan fenomena Dust Bowl (badai debu parah yang melanda Amerika Serikat dan Kanada pada 1930-an), novel mengikuti keluarga Joads yang terdampak bencana itu dan harus bermigrasi dari Oklahoma ke California. Perjalanan mereka tidak mudah, kontestasi antara si lemah dan yang berkuasa justru menjadi-jadi pada periode ini.
4. How Beautiful We Were

How Beautiful We Were adalah balada sebuah keluarga yang mendiami desa fiktif di Afrika bernama Kosawa. Sejak kehadiran perusahaan minyak asal Amerika Serikat, hidup mereka berubah.
Air tercemar dan sumber penghidupan mereka dari sektor pertanian pun musnah perlahan. Bertahun-tahun mereka diam hingga akhirnya generasi kesekian dari keluarga ini memilih untuk melawan.
5. Minor Detail

Dibagi jadi dua bagian, Minor Detail adalah deskripsi opresi yang amat rinci dan menyayat hati. Ceritanya dimulai dari kasus penculikan dan perkosaan yang menimpa seorang anak perempuan Bedouin (etnik minoritas di Palestina) oleh milisi zionis selama proses brutal pendirian negara Israel pada 1949. Kasus ini kemudian menarik seorang perempuan Arab Palestina asal Ramallah pada era sekarang untuk menyelidikinya lebih jauh.
6. Teruslah Bodoh Jangan Pintar

Sempat viral karena diunggah oleh komika Ernest Prakasa di akun media sosial pribadinya, novel karya Tere Liye ini bisa dibilang sebuah kisah horor yang lekat dengan realitas. Cerita berkutat pada sekelompok aktivis lingkungan yang sedang berjuang melawan perusahaan tambang. Bayangkan betapa sulit dan berbatunya jalan mereka menggugat orang-orang tamak di balik tambang tersebut.
Ketimpangan yang biasanya sepaket dengan opresi, baik langsung dan tidak, mau tak mau jadi bagian dari hidup manusia yang susah dihapuskan. Tragis dan memuakkan, tetapi bisa kita lawan dengan terus memperkaya wawasan, kepekaan sosial, dan ilmu agar tak salah mengambil keputusan.