Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi obyektifikasi (pexels.com/Keira Burton)

Objektifikasi seksual masih menjadi salah satu isu yang kerap tidak dikenali secara utuh oleh banyak orang. Banyak tindakan atau komentar yang sebenarnya mengandung unsur objektifikasi justru dianggap wajar, bahkan dianggap sebagai bentuk pujian. Persepsi ini berkembang di masyarakat karena obyektifikasi kerap dibalut dalam narasi yang terlihat positif, padahal dampaknya tidak sesederhana itu.

Seseorang dinilai bukan dari kemampuannya, tapi dari penampilan fisiknya semata. Akibatnya, reaksi atas perlakuan tersebut sering diabaikan karena dianggap remeh atau dianggap terlalu sensitif. Berikut lima alasan kenapa objektifikasi seksual sering disamarkan jadi pujian, dan kenapa hal itu penting untuk dikenali secara jernih.

1. Masyarakat menempatkan penampilan sebagai ukuran nilai diri

ilustrasi penampilan (pexels.com/MART PRODUCTION)

Banyak orang tumbuh dalam budaya yang menempatkan penampilan sebagai indikator utama untuk dihargai. Saat seseorang dinilai menarik secara visual, komentar tentang tubuh atau wajah sering kali dianggap wajar, bahkan menyenangkan. Padahal, ketika fokus hanya tertuju pada fisik, penghargaan terhadap kepribadian, kemampuan, dan value diri mereka secara keseluruhan menjadi terpinggirkan.

Kondisi ini membuat komentar yang sebenarnya reduktif dianggap sebagai bentuk apresiasi. Objektifikasi seksual justru hadir dalam bentuk pujian yang terlihat biasa saja. Tidak heran kalau banyak orang tidak sadar bahwa pujian semacam itu bisa membuat si penerima merasa tidak nyaman. Penampilan menjadi pusat perhatian, bukan kualitas atau pencapaian pribadi. Ketika ini terus dibiarkan, persepsi publik ikut membentuk standar yang salah tentang bagaimana seseorang seharusnya dihargai.

2. Media populer mengaburkan batas antara apresiasi dan eksploitasi

ilustrasi perempuan (pexels.com/ Armin Rimoldi)

Film, iklan, dan media sosial sering kali menyajikan konten yang menggambarkan tubuh seseorang sebagai pusat perhatian utama. Framing semacam ini membuat masyarakat terbiasa melihat tubuh sebagai komoditas visual yang layak dipuji. Ketika konsumsi visual tersebut dibungkus dengan narasi positif, perbedaan antara pujian dan objektifikasi menjadi kabur.

Dalam banyak kasus, bentuk objektifikasi seksual justru terlihat sebagai bentuk rasa kagum. Padahal, tujuannya tidak lebih dari menjadikan tubuh sebagai objek untuk dinikmati, bukan untuk dihormati. Budaya ini membentuk cara pandang publik bahwa komentar terhadap fisik adalah hal yang lumrah. Bahkan dalam percakapan sehari-hari, pujian yang berbasis visual lebih sering muncul dibanding pengakuan terhadap prestasi atau karakter seseorang. Lama-kelamaan, ini membentuk normalisasi yang berbahaya.

3. Norma sosial mendorong respons pasif terhadap pelecehan terselubung

ilustrasi pelecehan (pexels.com/Anete Lusina)

Di banyak lingkungan, terutama yang masih patriarki, seseorang diajarkan untuk menerima pujian dalam bentuk apa pun tanpa mempertanyakan niat di baliknya. Jika menolak atau menyatakan ketidaknyamanan, orang tersebut sering dianggap tidak tahu bersyukur atau terlalu reaktif. Situasi ini membungkam banyak suara yang seharusnya bisa mengoreksi batas-batas interaksi sosial yang sehat.

Hal ini makin kompleks ketika pelaku komentar memiliki posisi sosial atau kekuasaan lebih tinggi. Ketidakseimbangan tersebut mendorong penerima komentar untuk bersikap diam, meskipun merasa tidak nyaman. Ketika ketidaknyamanan terus dipendam, batas antara perlakuan yang pantas dan yang bermasalah semakin kabur. Pujian yang menyamarkan objektifikasi seksual menjadi kebiasaan yang dianggap normal. Padahal, respons pasif bukan berarti penerimaan, melainkan bentuk perlindungan diri dari risiko konflik.

4. Ketimpangan gender membuat obyektifikasi dianggap hal biasa

ilustrasi perempuan (pexels.com/olia danilevich)

Dalam struktur sosial yang belum setara, perempuan sering kali mengalami tekanan untuk memenuhi standar visual tertentu. Objektifikasi seksual menjadi salah satu bentuk dari tekanan itu, dan sayangnya sering dikemas dalam bentuk yang terlihat “baik.” Laki-laki yang melontarkan komentar tentang tubuh perempuan, misalnya, jarang mendapatkan konsekuensi sosial, sementara perempuan yang merasa terganggu justru disalahkan.

Hal ini menyebabkan persepsi publik menjadi berat sebelah. Apa yang seharusnya dianggap tidak pantas, justru dipandang sebagai ekspresi kekaguman yang sah-sah saja. Ketimpangan ini membuat kritik terhadap objektifikasi seksual sulit berkembang. Padahal, ketidaksetaraan dalam cara melihat tubuh dan keberadaan seseorang adalah akar dari masalah ini. Selama ketimpangan ini dipertahankan, objektifikasi akan tetap dibenarkan dengan dalih pujian.

5. Kurangnya edukasi tentang batas personal dan persetujuan

ilustrasi consent (pexels.com/cottonbro studio)

Banyak orang tidak pernah mendapatkan edukasi tentang batas pribadi (boundaries) dan pentingnya persetujuan (consent) dalam interaksi sosial. Hal ini membuat mereka tidak sadar bahwa komentar yang dilontarkan bisa melanggar ruang personal orang lain. Objektifikasi seksual yang dibungkus pujian muncul karena tidak ada refleksi tentang dampak ucapan terhadap orang yang menerimanya.

Ketika seseorang tidak diberi pemahaman tentang pentingnya empati, mereka lebih mudah melakukan normalisasi terhadap tindakan yang sebenarnya kurang bijak. Edukasi yang minim juga membuat banyak orang tidak bisa membedakan antara komentar yang membangun dengan yang merendahkan. Akibatnya, pola ini terus berulang dan menjadi budaya yang diwariskan. Padahal, mengenali batas dan belajar menghargai secara utuh adalah langkah dasar untuk menciptakan hubungan sosial yang sehat.

Objektifikasi seksual yang disamarkan jadi pujian bukan sekadar persoalan persepsi, tapi cerminan dari struktur sosial yang belum sepenuhnya adil. Memahami alasan di balik normalisasi ini penting agar kamu bisa mengenali dan menghindari bentuk interaksi yang tidak sehat. Pujian seharusnya tidak membuat seseorang merasa direduksi hanya pada tampilan luarnya atau apa yang ia kenakan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorAtqo