IDN Times Xplore/Arthaya_SMA Cinta Kasih Tzu Chi
“Our planet’s alarm is going off, and it is time to wake up and take action!” – Leonardo DiCaprio.
Alarm bumi tak bisa diabaikan. Setiap detik diam kita, bumi semakin terluka. Kalimat ini merefleksikan urgensi krisis ekologis yang dihadapi bumi. Setiap detik tanpa tindakan berarti menambah luka bagi lingkungan. Saat ini, bumi berada pada fase kritis. Laporan Nature Food menunjukkan bahwa pola konsumsi berbasis nabati berpotensi menekan emisi karbon, penggunaan air, serta kebutuhan lahan hingga 75 persen dibandingkan pola makan berbasis hewani. Sementara itu, United Nations Environment Programme (UNEP) menegaskan bahwa penggunaan wadah sekali pakai memiliki dampak iklim yang signifikan, sedangkan wadah pakai ulang mampu menurunkan hingga 69 persen dampak tersebut ketika digunakan berulang kali.
Data ini menegaskan bahwa krisis lingkungan merupakan realitas yang tidak dapat dihindari, tetapi sekaligus menunjukkan bahwa solusi dapat dimulai dari keputusan sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks inilah peran generasi muda menjadi sangat vital. Pendidikan menumbuhkan kesadaran, sementara teknologi menyediakan sarana untuk berinovasi. Subtema “Muda Beraksi! Selamatkan Bumi lewat Edukasi dan Teknologi” merepresentasikan ajakan agar generasi muda hadir sebagai pelaku utama perubahan, bukan sekadar penonton.
Salah satu praktik konkret dari peran edukasi dalam membentuk perilaku berkelanjutan dapat dilihat di Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi. Di institusi ini, kesadaran lingkungan tidak hanya ditransmisikan melalui pembelajaran teoretis, melainkan dipraktikkan sebagai gaya hidup. Misalnya, siswa dibiasakan membawa wadah minum dan tempat makan pribadi, sehingga ketergantungan terhadap plastik sekali pakai dapat ditekan. Setiap penggunaan botol isi ulang pada hakikatnya adalah pengurangan potensi limbah plastik sekali pakai. Praktik sederhana ini secara simultan mengurangi volume sampah sekaligus menanamkan kesadaran ekologis.
Langkah lain yang diterapkan adalah pengelolaan sampah anorganik. Dua kali dalam seminggu, siswa diminta membawa sampah rumah tangga seperti plastik, kardus, maupun kertas bekas untuk kemudian dikumpulkan dan didaur ulang. Melalui kebiasaan ini, para siswa belajar bahwa sampah memiliki nilai ekonomi maupun ekologis apabila dikelola dengan tepat. Data Zero Waste Europe menunjukkan bahwa 76 persen studi menyimpulkan produk pakai ulang lebih ramah lingkungan dibanding produk sekali pakai. Praktik pengelolaan sampah di sekolah ini merupakan wujud nyata penerapan data tersebut, yakni menjaga bumi tetap lestari melalui strategi daur ulang.
Selain itu, sekolah ini juga mendorong kebiasaan bervegetarian. Hal ini selaras dengan temuan Tulane University yang menunjukkan bahwa diet vegetarian menghasilkan jejak karbon sekitar 1,2 kg CO₂ per 1.000 kalori, jauh lebih rendah dibanding pola makan omnivor yang mencapai 2,2 kg. Dengan demikian, pola makan nabati tidak hanya bermanfaat bagi kesehatan individu, tetapi juga mendukung keberlanjutan lingkungan. Dari praktik sehari-hari seperti konsumsi makanan, para siswa menemukan dimensi baru dalam kontribusi terhadap pelestarian bumi.
Tidak berhenti di situ, sekolah juga memperkenalkan praktik pembuatan eco-enzim dari limbah organik rumah tangga, seperti kulit buah dan sayuran. Eco-enzim ini dapat dimanfaatkan sebagai pembersih alami, pupuk cair, maupun pengusir serangga. Aktivitas ini tidak hanya mengurangi jumlah sampah organik yang berakhir di tempat pembuangan akhir, tetapi juga menumbuhkan kreativitas siswa dalam mengolah limbah menjadi produk yang bermanfaat. Dengan belajar membuat eco-enzim, siswa memahami bahwa sampah bukanlah sesuatu yang harus dibuang, melainkan dapat diubah menjadi solusi bagi keberlanjutan lingkungan.
Meski demikian, edukasi saja tidak cukup tanpa penguatan dari teknologi. Generasi muda hidup di era digital, sehingga perangkat digital dan media sosial dapat dimanfaatkan sebagai saluran kampanye lingkungan. Melalui teknologi, kebiasaan sederhana seperti menggunakan wadah pakai ulang, memilah sampah, atau membuat eco-enzim dapat diperluas dampaknya dengan menginspirasi khalayak yang lebih luas.
Selain itu, telah berkembang berbagai aplikasi digital yang memudahkan masyarakat dalam memilah sampah, mengelola bank sampah daring, hingga menghitung jejak karbon individu. Dengan demikian, teknologi berfungsi sebagai katalis yang memperbesar pengaruh praktik ramah lingkungan menjadi sebuah gerakan kolektif.