Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mendampingi Anak di Era Digital: Tantangan Baru, Cara Baru

Fifi Aleyda Yahya - Komdigi HYP06463.jpg
Acara Talkshow Inspiratif: Tunggu Anak Siap, yang digelar pada Selasa (2/12) di IDN HQ Jakarta. (IDN Times/Herka Yanis)
Intinya sih...
  • Orang tua memegang peran utama dalam mendampingi anak di era digital.
  • Utamakan pendekatan connecting before correcting untuk membangun hubungan yang kuat dengan anak.
  • Pentingnya rutinitas yang seimbang untuk menjaga keamanan dan kesehatan anak di dunia digital.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Dalam beberapa tahun terakhir, kasus kekerasan daring, pencurian data pribadi, hingga paparan konten berbahaya pada anak meningkat tajam seiring meluasnya penggunaan gawai. Ruang digital yang semestinya menjadi tempat belajar dan berekspresi justru sering menghadirkan risiko baru bagi anak, mulai dari perundungan, eksploitasi, hingga kecanduan.

Pemerintah merespons tantangan tersebut dengan penguatan regulasi, melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas) yang diinisiasi oleh Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi), Meutya Hafid.

Dalam Talkshow Inspiratif: Tunggu Anak Siap, yang digelar pada Selasa (2/12) di IDN HQ Jakarta, psikolog anak Vera Itabiliana Hadiwidjojo dan praktisi pendidikan Galih Sulistyaningra turut memberikan perspektif mengenai tantangan digital yang makin kompleks dan bagaimana orang tua dapat menciptakan ruang online yang lebih aman.

1. Orang tua memegang peran utama

Fifi Aleyda Yahya - Komdigi HYP00757.jpg
Dirjen Komunikasi Publik dan Media Kementerian Komunikasi dan Digital, Fifi Aleyda Yahya, di acara Talkshow Inspiratif: Tunggu Anak Siap, yang digelar pada Selasa (2/12) di IDN HQ Jakarta. (IDN Times/Herka Yanis))

Dalam acara tersebut, Dirjen Komunikasi Publik dan Media Kementerian Komunikasi dan Digital, Fifi Aleyda Yahya, mengatakan bahwa perkembangan teknologi tidak bisa dihindari, sehingga pendampingan dari orang tua harus menjadi kunci.

Gadget itu tidak bisa dijauhkan, tapi bagaimana orang tua bisa mendampingi dan menuntun anak agar tetap berada di jalur yang aman,” jelasnya.

Pendampingan ini termasuk memahami kebiasaan digital anak, menetapkan batasan waktu, hingga memastikan anak mengakses konten yang sesuai usia. Menurutnya, meskipun berbagai regulasi telah diterapkan, pendampingan dari orang tua tetap menjadi garda terdepan dalam menjaga keamanan digital anak.

“Itulah mengapa gerakan ini harus menjadi gerakan keluarga, gerakan orang tua, guru, komunitas, dan kita semua. Mari bersama-sama menggaungkan kampanye Tunggu Anak Siap. Jangan serahkan gawai sebelum anak siap secara mental, siap secara emosi, dan siap secara nilai,” katanya.

2. Utamakan pendekatan connecting before correcting

Fifi Aleyda Yahya - Komdigi HYP00996.jpg
Psikolog anak Vera Itabiliana Hadiwidjojo di acara Talkshow Inspiratif: Tunggu Anak Siap, yang digelar pada Selasa (2/12) di IDN HQ Jakarta. (IDN Times/Herka Yanis)

Sementara itu, Psikolog anak Vera Itabiliana Hadiwidjojo mengungkapkan bahwa risiko terbesar anak di dunia digital bukan hanya dari durasi penggunaan gawai, tetapi juga dari konten dan interaksi yang mereka temui.

Banyak kasus melibatkan paparan pornografi, kekerasan, hingga perundungan daring yang terjadi tanpa sepengetahuan orang tua. Bahkan, anak dapat berinteraksi dengan orang asing melalui media sosial, game online, atau pesan pribadi.

Vera menegaskan bahwa kemampuan anak memahami konten tidak selalu sejalan dengan perkembangan emosinya. “Ada konten yang menempel lama karena anak belum siap memprosesnya. Mereka butuh tempat bertanya dan dijelaskan dengan benar,” katanya.

"Kalau hubungan dasarnya kuat, anak akan datang ke kita dulu ketika melihat sesuatu yang mengganggu," ujar Vera. Ia menekankan pendekatan connecting before correcting, yaitu membangun koneksi sebelum memberi arahan atau koreksi.

3. Pentingnya rutinitas yang seimbang

Fifi Aleyda Yahya - Komdigi HYP01188.jpg
Praktisi pendidikan dan momfluencer Galih Sulistyaningra di acara Talkshow Inspiratif: Tunggu Anak Siap, yang digelar pada Selasa (2/12) di IDN HQ Jakarta. (IDN Times/Herka Yanis)

Menjaga anak tetap aman di dunia digital tidak berhenti pada pengawasan, tetapi juga membangun kebiasaan sehari-hari yang sehat dan seimbang. Praktisi pendidikan dan CEO Smartick Indonesia, Galih Sulistyaningra, berbagi pengalamannya dalam mengatur pola screen time di rumah.

"Waktu anak saya usia 0-2 tahun, saya tidak memberikan tontonan sama sekali. Setelah itu hanya 15 menit, selalu ditemani. Saat ia masuk TK, barulah ada jam khusus di akhir pekan," kata Galih. Ia menambahkan bahwa aktivitas alternatif seperti bermain di luar, membaca buku, hingga diskusi ringan bersama anak sangat efektif mengurangi ketergantungan pada layar.

Galih pun menekankan pentingnya rutinitas yang seimbang. “Kita tidak hanya melindungi anak dari internet, tapi juga membantu mereka tumbuh sehat secara fisik dan mental,” ujarnya.

Dengan pendekatan yang terstruktur dan konsisten, pendampingan digital tidak lagi terasa seperti larangan, tetapi menjadi bagian dari pola asuh yang positif dan menyeluruh.

4. PP TUNAS: sistem perlindungan yang wajib dipenuhi platform digital

DSC02272.JPG
Psikolog anak Vera Itabiliana Hadiwidjojo dan praktisi pendidikan Galih Sulistyaningra di acara Talkshow Inspiratif: Tunggu Anak Siap, yang digelar pada Selasa (2/12) di IDN HQ Jakarta. (IDN Times/Ridho Fauzan)

Untuk memperkuat keamanan anak di ruang digital, pemerintah menghadirkan PP TUNAS, sebuah aturan yang mewajibkan setiap platform digital menempatkan keselamatan anak sebagai prioritas. Berikut lima ketentuan utama PP TUNAS, sebagaimana tercantum dalam Tunasdigital.id:

  1. Pelindungan anak di atas kepentingan komersial: Platform digital wajib memastikan kepentingan terbaik anak menjadi prioritas utama dalam setiap layanan dan fiturnya.
  2. Larangan profiling data anak: Data anak tidak boleh digunakan untuk kepentingan iklan, promosi, maupun tujuan komersial lainnya.
  3. Batasan usia dan pengawasan akun: Pembuatan akun anak harus melalui verifikasi usia serta pengawasan orang tua atau wali secara ketat.
  4. Larangan menjadikan anak sebagai komoditas: Platform dilarang mengeksploitasi anak sebagai objek komersial, baik melalui konten, algoritma, maupun bentuk monetisasi lainnya.
  5. Sanksi tegas bagi pelanggar: Platform yang tidak memenuhi ketentuan PP TUNAS dapat dikenai sanksi sesuai hukum yang berlaku.

Fifi menegaskan bahwa PP TUNAS bukan sekadar aturan tambahan, tetapi fondasi untuk memastikan ruang digital lebih aman bagi anak. “Kami ingin memastikan platform digital memprioritaskan keselamatan anak, bukan kepentingan komersial. Ekosistem ini harus aman, bertanggung jawab, dan berpihak pada anak,” ujarnya dalam talkshow.

Dengan adanya regulasi ini, perlindungan anak tidak hanya bergantung pada pengawasan orang tua, tetapi juga menjadi tanggung jawab platform digital dan seluruh penyelenggara layanan online.

5. Pentingnya komunikasi dua arah

Fifi Aleyda Yahya - Komdigi HYP01095.jpg
Seorang peserta membagikan pengalamannya dalam mendampingi anak di dunia digital dalam acara Talkshow Inspiratif: Tunggu Anak Siap, yang digelar pada Selasa (2/12) di IDN HQ Jakarta. (IDN Times/Herka Yanis)

Dalam sesi diskusi, beberapa peserta talkshow menyampaikan pengalaman yang mewakili tantangan digital yang dialami banyak keluarga saat ini. Ada yang bercerita soal anak yang dihubungi orang asing melalui media sosial, atau terpapar konten seksual dan perundungan daring.

Vera Itabiliana Hadiwidjojo menanggapi dengan menekankan pentingnya membangun ruang aman bagi anak untuk bercerita. “Koneksi emosional itu kunci. Ketika anak merasa aman, ia akan datang duluan sebelum masalahnya membesar,” jelasnya.

Sementara itu, Galih Sulistyaningra menyoroti pentingnya edukasi berulang dan komunikasi dua arah. Ia pun mendorong orang tua menyediakan aktivitas alternatif yang menyenangkan agar anak tidak selalu bergantung pada gawai sebagai sumber hiburan.

Dari perspektif pemerintah, Fifi Aleyda Yahya menjelaskan bahwa kasus-kasus seperti ini mempertegas pentingnya hadirnya ekosistem digital yang lebih aman. “Banyak risiko terjadi bukan karena anak salah, tetapi karena sistem di sekelilingnya belum cukup aman. Itu sebabnya PP TUNAS dibuat, agar platform digital ikut bertanggung jawab melindungi anak,” tutupnya. (WEB)

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ridho Fauzan
EditorRidho Fauzan
Follow Us

Latest in Life

See More

5 Cara Memberi Pengertian ke Anak saat Keadaan Darurat atau Bencana

02 Des 2025, 15:55 WIBLife