ilustrasi diskusi (pexels.com/Matheus Bertelli)
Salah satu alasan mengapa masyarakat lebih sering turun ke jalan daripada duduk berdiskusi adalah karena tidak adanya ruang diskusi yang benar-benar bebas dan inklusif. Forum-forum resmi sering kali dikuasai oleh kelompok tertentu, dengan aturan yang rumit dan atmosfer yang tidak kondusif untuk keberagaman suara. Bagi masyarakat marginal, ini menciptakan rasa tidak percaya terhadap sistem yang seharusnya membuka ruang dialog.
Di sinilah demonstrasi menjadi jawaban atas ketimpangan tersebut. Jalanan menjadi ruang publik yang inklusif, tempat siapa pun bisa berbicara tanpa harus melalui proses birokrasi. Bahkan mereka yang tidak punya akses pendidikan tinggi atau jabatan penting tetap bisa menyampaikan suara melalui orasi dan aksi. Jadi, jika diskusi hanya menjadi milik segelintir orang, demo adalah cara untuk membalikkan keadaan dan membuat suara mayoritas atau minoritas terdengar di ruang publik.
Pada akhirnya, baik demonstrasi maupun diskusi adalah dua metode penting dalam menyampaikan aspirasi. Namun, jika sistem tidak memberi ruang cukup untuk berdiskusi secara adil, terbuka, dan inklusif, maka demonstrasi akan terus menjadi pilihan utama masyarakat. Maka dari itu, memahami mengapa menyampaikan aspirasi dengan demo bukan berdiskusi bukan berarti menolak dialog, melainkan menyoroti betapa pentingnya menciptakan sistem komunikasi publik yang benar-benar merangkul semua suara.