ilustrasi belajar (pexels.com/Julia M Cameron)
Perubahan besar akan terjadi dalam sistem penerimaan siswa baru pada tahun ajaran 2025/2026 dengan penggantian istilah PPDB jadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB). Berikut adalah beberapa perbedaan utama antara SPMB 2025 dan PPDB 2024 yang perlu diperhatikan:
- Perubahan nama dari PPDB ke SPMB
Salah satu perbedaan yang paling mencolok adalah penggantian nama PPDB menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB). Menurut Biyanto, Staf Ahli Regulasi dan Hubungan Antar Lembaga Kemendikdasmen, perubahan ini dilakukan agar istilah "murid" lebih familiar dan terasa lebih dekat dengan masyarakat dibandingkan dengan "peserta didik". Istilah "murid" sudah lama digunakan dalam konteks pendidikan di Indonesia dan lebih mudah diterima oleh masyarakat umum.
- Penggantian sistem zonasi dengan domisili
Pada SPMB 2025, sistem zonasi yang selama ini digunakan dalam PPDB diganti dengan sistem berbasis domisili. Dalam sistem ini, penerimaan siswa akan didasarkan pada jarak antara rumah siswa dan sekolah.
Ini berarti seleksi tidak lagi mengandalkan dokumen kependudukan seperti kartu keluarga (KK) yang rentan dimanipulasi, melainkan pada lokasi tempat tinggal siswa. Perubahan ini bertujuan untuk mengurangi kecurangan yang sering terjadi terkait manipulasi domisili yang memanfaatkan KK.
- Peran sekolah swasta yang lebih besar
Dalam penerapan SPMB, terdapat peningkatan kolaborasi antara sekolah negeri dan swasta. Pemerintah berencana memperkuat kerjasama ini untuk memberikan peluang yang lebih besar bagi siswa dalam memilih sekolah.
Dengan adanya kerjasama yang lebih erat, diharapkan proses penerimaan siswa bisa lebih inklusif dan memberikan pilihan lebih banyak bagi siswa yang tidak memenuhi kriteria seleksi di sekolah negeri.
- Penguatan afirmasi untuk keluarga kurang mampu
Sistem SPMB juga akan memperkuat kebijakan afirmasi untuk siswa dari keluarga kurang mampu. Program ini bertujuan untuk memberikan kesempatan yang lebih adil bagi semua siswa, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah dengan tingkat ekonomi yang rendah. Dengan demikian, siswa tersebut tetap bisa mengakses pendidikan berkualitas tanpa terkendala oleh keterbatasan ekonomi.