Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Sikap Guru yang Bisa Memicu Anak Jadi "Berontak" di Kelas

ilustrasi guru dan murid di kelas (freepik.com/freepik)
Intinya sih...
  • Membandingkan anak dengan teman bisa merusak rasa percaya diri
  • Tidak mendengarkan penjelasan anak memunculkan rasa frustasi dan "protes diam-diam"
  • Hanya fokus pada kesalahan tanpa mengapresiasi progres bisa membuat anak kehilangan motivasi belajar

Ketika seorang anak terlihat "berontak" di kelas, entah suka membantah, susah diatur, atau malah sering mengganggu temannya, tak jarang semua kesalahan langsung diarahkan ke anak. Tapi faktanya, perilaku anak di sekolah bisa sangat dipengaruhi oleh cara guru memperlakukan mereka. Anak-anak, terutama yang masih dalam masa tumbuh kembang, sangat peka terhadap sikap orang dewasa di sekitarnya.

Tanpa disadari, sikap guru yang otoriter, kurang empati, atau terlalu membandingkan bisa membuat anak merasa tidak dihargai dan akhirnya melawan. Hal ini bukan berarti semua tanggung jawab ada di tangan guru, tapi penting juga untuk melihat masalah dari berbagai sisi. Berikut lima sikap guru yang secara tidak sadar bisa memicu anak menjadi berontak di kelas. Yuk, simak!

1. Terlalu sering membandingkan anak dengan temannya yang lain

ilustrasi guru dan murid di kelas (freepik.com/freepik)

Pernah dengar guru berkata, "Coba lihat si A, dia bisa diam dan mendengarkan, kenapa kamu enggak?" Kalimat semacam ini memang terdengar sederhana, tapi bisa sangat melukai perasaan anak. Membandingkan anak dengan temannya membuat mereka merasa tidak cukup baik, bahkan bisa mengikis rasa percaya dirinya. Anak jadi merasa bahwa ia tidak dihargai sebagai individu yang unik.

Kalau ini terus terjadi, anak bisa memilih untuk "memberontak" sebagai bentuk pembelaan diri. Misalnya dengan tidak mau mendengarkan guru, sengaja mengganggu kelas, atau menunjukkan sikap cuek. Padahal, anak-anak punya gaya belajar dan kepribadian yang berbeda. Membandingkan justru membuat mereka menjauh, bukan mendekat pada proses belajar.

2. Tidak mau mendengarkan penjelasan dari anak

ilustrasi guru dan murid di kelas (freepik.com/freepik)

Ketika anak melakukan kesalahan atau dianggap melanggar aturan, respons guru yang langsung memotong atau menegur tanpa mau mendengar penjelasan bisa memunculkan rasa frustasi. Anak jadi merasa bahwa pendapatnya tidak penting, dan bahwa guru tidak tertarik mendengarkan sisi ceritanya. Padahal, di balik sebuah tindakan, selalu ada alasan yang patut dipahami dulu sebelum menghakimi.

Saat anak merasa suaranya tidak didengar, mereka cenderung mengekspresikannya lewat perilaku. Bisa jadi mereka jadi makin keras kepala atau sengaja membuat onar sebagai bentuk "protes diam-diam". Anak yang diberi ruang untuk menjelaskan cenderung lebih kooperatif, karena mereka merasa diperlakukan dengan adil dan dihargai sebagai individu.

3. Terlalu fokus pada kesalahan dan mengabaikan progres anak

ilustrasi guru (freepik.com/stockking)

Sikap guru yang hanya memperhatikan kesalahan anak tanpa pernah mengapresiasi usahanya juga bisa membuat anak patah semangat. Anak-anak butuh validasi, terutama saat mereka sedang belajar memperbaiki diri. Kalau setiap langkah mereka selalu salah di mata guru, mereka bisa berpikir, "Buat apa aku usaha, toh tetap dimarahi."

Anak yang terus merasa gagal akan mudah kehilangan motivasi belajar. Dalam beberapa kasus, mereka akhirnya memilih bersikap "bandel" sebagai bentuk pelampiasan. Padahal kalau guru mau sedikit lebih peka dan memberi apresiasi kecil atas perubahan atau usaha yang sudah dilakukan anak, itu bisa jadi bahan bakar semangat yang besar.

4. Terlalu kaku dan tidak mau bernegosiasi

ilustrasi guru menegur murid (pexels.com/Mikhail Nilov)

Guru yang terlalu kaku, misalnya selalu bilang "pokoknya harus begini" atau "tidak ada alasan, kamu salah", bisa membuat anak merasa terkekang. Anak yang aktif dan kritis biasanya butuh ruang untuk bertanya, berdiskusi, dan memahami alasan di balik aturan. Jika semua harus ditaati tanpa penjelasan, anak merasa tidak punya kontrol dan akhirnya jadi melawan.

Bernegosiasi bukan berarti membiarkan anak melanggar aturan. Justru dengan berdialog, anak belajar tentang batasan dan konsekuensi dengan cara yang sehat. Guru yang bisa fleksibel dan mendengarkan alasan anak akan jauh lebih dihormati daripada yang hanya menuntut patuh. Anak-anak tidak suka didikte, mereka ingin dipahami.

5. Memberi label negatif secara terus-menerus

ilustrasi guru dan murid di kelas (pexels.com/Thirdman)

Kalimat seperti "Kamu memang anak yang suka bikin ribut" atau "Dasar bandel" mungkin diucapkan tanpa niat jahat, tapi bisa membentuk citra diri negatif di kepala anak. Jika label ini terus diterima, anak bisa merasa tidak punya harapan untuk berubah. Dan ketika anak percaya dirinya memang "nakal", ia pun akan bersikap sesuai dengan label tersebut.

Memberi label bukan hanya menyakitkan, tapi juga berbahaya bagi perkembangan emosional anak. Lebih baik gunakan pendekatan deskriptif, seperti "Kamu tadi sulit duduk tenang, yuk kita cari tahu kenapa", daripada langsung menyematkan cap. Guru yang bisa mengajak anak memahami perilakunya tanpa menghakimi akan lebih mudah membangun koneksi dan perubahan perilaku yang positif.

Anak yang berontak di kelas bukan selalu karena dia sengaja nakal. Bisa jadi itu adalah bentuk ekspresi dari rasa kecewa, tidak didengar, atau merasa tidak adil. Guru bukan hanya pengajar, tapi juga pembentuk karakter. Dengan sikap yang empatik, adil, dan terbuka, anak-anak akan merasa lebih aman untuk belajar, berkembang, dan tumbuh jadi pribadi yang lebih baik.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us