ilustrasi seorang anak menangis sendirian (pexels.com/pixabay)
Meski banyak dokter anak masih mendukung time-out sebagai strategi disiplin yang efektif, kritik terhadap metode ini juga semakin marak. Beberapa psikolog menilai time-out bisa membuat anak merasa terisolasi, apalagi jika dilakukan terlalu lama atau tanpa penjelasan yang jelas. Anak pun berisiko menafsirkannya sebagai bentuk penolakan emosional dari orangtua.
Dilansir Time, Daniel J. Siegel, MD, profesor klinis psikiatri di UCLA School of Medicine, bersama Tina Payne Bryson, PhD, seorang edukator parenting, menyebut bahwa anak bisa merasa ditolak ketika diberi time-out, terutama saat sedang kesal atau berada dalam kondisi emosi sulit. Situasi ini bisa memperburuk perasaan anak alih-alih membantu mereka menenangkan diri. Tak heran, banyak orangtua menjadi ragu apakah metode ini benar-benar aman untuk digunakan.
Namun, menurut Mark Dadds, seorang Profesor dari Child Behaviour Research Clinic, dilansir University of Sydney, reputasi buruk time-out muncul karena metode ini sering disalahgunakan. Time-out sejatinya tidak pernah dirancang untuk mengisolasi anak sepenuhnya atau menarik kasih sayang orangtua
“Penelitian kami menunjukkan bahwa time-out adalah pengaruh positif untuk anak, termasuk mereka yang pernah mengalami trauma. Ada bukti ilmiah besar yang menunjukkan metode ini bermanfaat bagi orangtua dan anak,” jelas Mark Dadds.