5 Pola Asuh yang Sering Dianggap Normal Namun Berbahaya, Bukan Sepele 

Bisa menimbulkan dampak lebih buruk di kemudian hari

Sebagian besar orang tua pasti ingin memberikan bimbingan serta kasih sayang yang baik pada anaknya. Sebab, pola didikan yang baik, kemungkinan besar juga akan menuntun anak ke arah kebaikan pula. Masalahnya, terkadang orang tua juga tidak sadar bahwa bentuk kasih sayang yang ditunjukkan bertolak belakang dengan kenyamanan anak.

Misalnya, kebiasaan membentak atau memarahi anak dengan alasan peduli atau agar membentuk mental mereka. Mungkin tujuannya baik, yakni agar anak memahami kesalahan. Akan tetapi, pola didikan seperti itu justru menimbulkan dampak lebih buruk di kemudian hari.

Lantas, apa saja sih pola asuh yang sering dianggap normal namun berbahaya? Simak berikut ini, ya!

1. Memberikan kritik tajam supaya anak kuat mental 

5 Pola Asuh yang Sering Dianggap Normal Namun Berbahaya, Bukan Sepele ilustrasi mengkritik anak (pexels.com/monstera)

Dalam kondisi tertentu, beberapa  orang tua mungkin  juga pernah memberikan kritikan pada anak. Alasannya sebagai kewajiban agar anak menjadi lebih baik atau memperkuat mental mereka. Alih-alih merasa aman, justru sikap seperti itu akan membuat mereka merasa dihakimi.

Dilansir India Parenting, anak-anak yang dikritik dengan buruk selama masa kanak-kanak tumbuh menjadi orang yang suka mengontrol, pecandu seks, atau penyalahgunaan zat (alkohol, rokok, narkoba, dll) atau narsistik yang terobsesi dengan diri mereka sendiri. Gaya keterikatan dan perspektif tentang hubungan berubah ketika seseorang menghadapi kurangnya kehangatan dan cinta di masa kanak-kanak.

Dibanding memberikan kritikan, sebenarnya ada beberapa cara lain untuk melatih mental anak meskipun tidak selalu berjalan maksimal. Seperti dengan mengajarkan mereka ketrampilan khusus, membiarkan anak membuat kesalahan, dsb. Sebab, kesalahan adalah hal wajar dalam proses pembelajaran. Yang paling penting yaitu bagaimana cara mencari solusi.

2. Anak tidak boleh menangis agar tidak lemah 

5 Pola Asuh yang Sering Dianggap Normal Namun Berbahaya, Bukan Sepele ilustrasi anak menangis (unsplash.com/annie spratt)

Disadari atau tidak, toxic parenting masih sering terjadi di sekitar kita. Penyebabnya bukan hanya karena karakter anak dan orangtua, namun juga karena tradisi atau pemahaman yang masih melekat di masyarakat. Misalnya anggapan bahwa anak laki-laki tidak boleh menangis agar tidak menjadi pribadi yang lemah.

Padahal, terlalu sering melarang anak  menangis justru tidak baik untuk perkembangan emosional. Mereka akan merasa orang tua menyepelekan apa yang ia rasakan. Di sisi lain, nantinya anak akan cenderung menolak bantuan orang lain karena takut dianggap lemah. Dampaknya, ini bisa memicu rasa tertekan atau menyalahkan diri sendiri ketika butuh bantuan.

Meskipun tidak mudah, memahami menerima setiap emosi anak, baik itu yang positif dan negatif penting dilakukan oleh setiap orang tua. Menurut Donna Housman, EdD, seorang psikolog klinis dan pendiri Institut Housman berbasis di Boston yang dilansir Healhtline, membantu anak berapa pun usianya untuk mengidentifikasi, memahami, dan mengelola emosi, berarti kamu membantu mereka mengembangkan apa yang dikenal sebagai empat komponen dasar kecerdasan emosional. Hal ini terdiri dari identifikasi, ekspresi, pemahaman, dan regulasi emosional. Itu merupakan dasar untuk pembelajaran seumur hidup, mental, kesejahteraan, dan kesuksesan.

Baca Juga: 5 Tanda Kamu Menerapkan Pola Asuh Otoriter pada Anak

3. Anak perlu dibandingkan dengan orang lain agar lebih bersemangat 

dm-player
5 Pola Asuh yang Sering Dianggap Normal Namun Berbahaya, Bukan Sepele ilustrasi dua anak kecewa (unsplash.com/izzy park)

Kebiasaan membandingkan mungkin juga masih kerap dilakukan orang tua dalam mendidik anak. Alasannya mungkin juga positif, yaitu agar mereka lebih bersemangat ketika dibandingkan dengan seseorang yang lebih berprestasi atau patuh, misalnya. Namun alih-alih termotivasi, pola didikan seperti ini sebenernya juga berbahaya dan keliru.

Sebab bermula dari kebiasaan dibandingkan, anak akan merasakan berbagai emosi negatif. Seperti menjadi rendah diri atau bahkan memicu rasa stres. Padahal, anak juga membutuhkan apresiasi akan usaha mereka, terlepas hasilnya baik atau buruk.  Di sisi lain, mereka pasti membutuhkan bimbingan dan motivasi yang baik bukan malah dibandingkan.

4. Berpikir bahwa memarahi anak di depan umum tidak masalah agar mereka menyadari kesalahan

5 Pola Asuh yang Sering Dianggap Normal Namun Berbahaya, Bukan Sepele ilustrasi anak tertekan (unsplash.com/katherine chase)

Sebagian besar orang tua mungkin juga pernah memiliki rasa emosi saat mendidik anak. Hal ini sebenarnya wajar, karena di satu titik, orangtua tentu pernah kehilangan kesabaran hingga memicu rasa marah. Apalagi ketika anak di usia balita dan sulit dikendalikan.

Tetapi meskipun mendisiplinkan anak adalah hal yang sulit,  ingat untuk tidak membentak atau mempermalukan mereka di depan umum. Sebab, meskipun tujuannya mungkin agar mereka menyadari dan tidak mengulangi kesalahan, namun efeknya  justru lebih buruk. Berawal dari rasa malu karena dimarahi di depan umum tadi, mereka akan merasa minder dan tidak percaya diri untuk mengembangkan minat, misalnya. Lebih buruknya, hal ini bisa memicu masalah pada kesehatan mental.

Padahal, anak yang memiliki mental sehat akan memiliki kualitas hidup yang baik dan juga dapat beradaptasi dengan baik pula dimana pun ia berada. Maka dari itu,  mendisiplinkan anak tidak harus dengan memberikan  hukuman, apalagi dengan sikap yang membuat mereka malu. Akan lebih baik jika orangtua memberikan contoh dan menasehati dengan baik pula.

5. Anak perlu dipukul agar tidak mengulangi perbuatan keliru 

5 Pola Asuh yang Sering Dianggap Normal Namun Berbahaya, Bukan Sepele ilustrasi orangtua emosi (pexels.com/monstera)

Seperti yang diketahui, memukul merupakan salah satu topik parenting yang sangat tidak dianjurkan dan berbahaya. Meskipun demikian, sepertinya beberapa orangtua juga pernah satu atau beberapa kali  memukul anak, entah itu pelan atau keras. Alasannya mungkin juga positif, agar anak kapok dan lebih disiplin, misalnya.

Namun, sebenarnya, pola asuh seperti ini justru keliru dan berbahaya. Dilansir Very Well Family, bagi banyak orang tua, memukul terasa seperti cara tercepat dan paling efektif untuk mengubah perilaku anak. Dan itu sering berhasil dalam jangka pendek. Namun, penelitian menunjukkan hukuman fisik memiliki konsekuensi jangka panjang bagi anak-anak.

Memukul anak ketika sedang tantrum atau mengamuk tidak akan mengajarkan mereka cara menenangkan diri ketika mereka marah lagi. Anak-anak justru akan memperoleh manfaat  dari mempelajari cara memecahkan masalah, mengelola emosi, dan berkompromi. Ketika orang tua mengajarkan keterampilan tersebut, itu dapat sangat mengurangi masalah perilaku.

Kesimpulannya, menjadi orang tua merupakan salah satu tugas berat, yang mana dari setiap usaha dalam membimbing dan memberikan perhatian, perlu dihargai. Apalagi  faktanya setiap anak memiliki karakter berbeda, dan sering kali teori yang dipelajari juga tidak selalu sama dengan kenyataannya. Sehingga, gaya parenting yang diterapkan setiap orang pun tidak selalu sama. Apa pun itu, jangan sampai bentuk kasih sayang yang ditunjukkan justru menyakiti diri sendiri dan orang tersayang, ya.

Baca Juga: 5 Pola Asuh yang Membuat Anak Tumbuh Menjadi Keras Kepala

Aprilia Nurul Aini Photo Verified Writer Aprilia Nurul Aini

Let's share positive energy

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Indiana Malia

Berita Terkini Lainnya