Kesehatan Mental Anak Tergantung Kebahagiaan Orangtua

Pernikahan harmonis jamin kebahagiaan anak!

Bukan rahasia kalau anak mengikuti contoh orangtua. Ibarat kertas kosong, segala tindakan dan perkataan orangtua mengisi jati diri sang anak di masa depan. Keadaan rumah dapat memengaruhi kondisi psikis anak dalam jangka panjang. Oleh karena itu, kebahagiaan orangtua berbanding lurus dengan kesehatan mental anak.

Menghadapi pandemi COVID-19, kebahagiaan orangtua dan anak juga didera bahaya. Stres berkepanjangan dan aktivitas dari rumah sering kali memberikan beban psikis tersendiri.

Menyambut Hari Anak Nasional pada 23 Juli 2021, Tokopedia mengupas kesehatan mental keluarga dan anak di masa pandemi COVID-19 dalam webinar "Orang Tua Bahagia, Kunci Kesehatan Mental Anak" pada Kamis (22/7/2021).

1. Ekspresi emosi anak yang kadang orangtua bikin frustrasi

Kesehatan Mental Anak Tergantung Kebahagiaan OrangtuaIbu berbicara dengan anaknya (yalemedicine.org)

Berbicara dalam kesempatan tersebut, psikolog anak Fathya Artha Utami, M.Sc., M.Psi mengatakan bahwa perasaan negatif yang anak rasakan selama ketidakjelasan pandemi COVID-19 juga dirasakan orangtua dan sebaliknya. Oleh karena itu, orangtua harus bisa berempati. Mengapa anak tidak dapat mengontrolnya?

Perbedaannya terletak pada ekspresi emosi. Anak-anak, terutama di bawah 5 tahun belum dapat mengendalikan emosi. Inilah yang membuat orangtua sering kali kewalahan, terutama jika emosi para orangtua juga sedang keruh. Emosi di kedua belah pihak memuncak, maka anak dan orangtua pun susah diajak kerja sama.

"Karena anak belum dapat mengelola atau mengekspresikan emosinya secara matang, orangtua bisa lebih berempati. Perilaku yang tidak tepat anak sebetulnya memiliki dorongan emosi yang perlu digali lebih dalam dan perlu dipandu orangtua," ujar Fathya.

2. Kenapa orangtua terkadang bisa marah?

Kesehatan Mental Anak Tergantung Kebahagiaan OrangtuaSeorang ibu memarahi putrinya (stock.adobe.com/Konstantin Yuganov)

Jika orangtua dapat mengendalikan emosi, lalu kenapa terkadang bisa terpancing? Fathya menjelaskan kalau otak orang dewasa pun belum terlalu lihai memilah ancaman yang nyata dan palsu.

Bagi orangtua, perilaku anak di tengah emosinya—seperti menumpahkan air atau melempar barang—terlihat sebagai "ancaman". Akibatnya, orangtua bereaksi secara gegabah dan ikut meluapkan emosi tanpa berpikir. Oleh karena itu, Fathya menekankan kalau perilaku emosi anak bukanlah ancaman yang harus direspons langsung.

"Kalau emosi, berhenti, coba sadari emosi sang anak, dan respons dengan penuh intensi serta empati," kata Fathya.

Di tengah pandemi, gaya hidup di rumah dan WFH ditambah perilaku anak kadang menyulut emosi para orangtua. Nah, sebelum marah, coba pikirkan apakah amarah tersebut dikarenakan tingkah laku anak atau pelampiasan karena lelah dengan pekerjaan.

3. Cara cepat mengendalikan emosi dan rekonsiliasi

Kesehatan Mental Anak Tergantung Kebahagiaan OrangtuaSeorang ibu memeluk anaknya (additudemag.com)

Emosi dapat terjadi dalam split second dan penyesalannya seumur hidup. Jadi, bagaimana cara mengaturnya? Fathya memberikan empat langkah berikut:

  • Mengatur napas dengan teknik 4-7-8 (ambil napas 4 detik, tahan 7 detik, buang 8 detik)
  • Minum air putih
  • Mengubah posisi (dari berdiri ke duduk atau sebaliknya) agar ada pengalihan di otak
  • Mengambil jeda waktu untuk mengenali emosi yang beragam
  • Mencium wewangian yang menenangkan untuk memberikan sinyal relaksasi ke otak, seperti essential oil murni untuk:
    • Relaksasi: Lavender dan chamomile
    • Penambah semangat: Jeruk, lemon, dan jahe
    • Melegakan pernapasan: Eukaliptus, kayu putih, dan tea tree

Perlu dicatat, langkah-langkah ini ditujukan untuk mengatur emosi secara cepat dalam jangka pendek. Fathya menambahkan kalau latihan dan perawatan diri (self-care) amat penting dalam jangka panjang.

Kesehatan Mental Anak Tergantung Kebahagiaan OrangtuaIbu memeluk putrinya. (unicef.org)

Jadi, ambil waktu sejenak dan jangan respons emosi anak saat itu juga! Selain itu, Fathya juga mengutip riset bahwa di masa pandemi ini, orangtua pun jadi lebih cepat stres akibat pandemi COVID-19 dan WFH. Oleh karena itu, pengendalian diri pun lebih ditantang. Jika orangtua bisa mengontrol emosi, maka akan "tertular" pada sang anak.

Namun, bagaimana jika sudah keburu meluapkan emosi? Sering kali emosi yang diluapkan dengan tidak bijak dapat melukai hati sang anak. Apakah ada cara terbaik untuk rekonsiliasi? Ada, dong!

Fathya mengibaratkan membesarkan anak seperti membesarkan orang dewasa. Jadi, datanglah kepada sang anak, lalu minta maaf dengan sungguh-sungguh. Jangan lupa untuk menjelaskan sebab musabab dari luapan emosi tersebut lalu rekonsiliasi dengan mereka.

Baca Juga: 5 Sikap Orangtua yang Ternyata Menyakiti Perasaan Anak

4. Anak tidak bisa dibohongi

Kesehatan Mental Anak Tergantung Kebahagiaan Orangtuainteraksi keluarga (childrens.com)

Fathya melanjutkan bahwa anak-anak adalah pribadi yang tidak bisa dibohongi! Anak-anak dapat membaca apabila orangtuanya sedang mengalami stres atau emosi.

"Anak-anak lebih puas saat diberikan penjelasan, daripada 'It's okay, it's going to be fine'. Lebih baik kita menjelaskan dan belajar untuk mengomunikasikan emosi," ujar Fathya.

Emosi memang tidak terlihat, tetapi emosi yang tidak tersalurkan dengan baik adalah biang kerok dari berbagai masalah antara orangtua dan anak.

Kesehatan Mental Anak Tergantung Kebahagiaan OrangtuaSeorang anak sedang bercerita pada keluarganya (todaysparent.com)

Namun, bagaimana jika anak tiba-tiba tertutup dengan emosinya sendiri? Keterbukaan adalah rutinitas. Fathya mengingatkan kalau anak tidak terbuka, maka kita harus mengecek apakah pertanyaan yang kita ajukan terkesan terlalu menodong.

Jadi, orangtua dapat memulai diskusi emosi anak dengan topik-topik yang "ramah", sederhana, dan yang anak suka. Selain itu, orangtua juga dapat memulai dengan terbuka lebih dulu pada sang anak. Jika respons pasif, jangan marah atau kecewa karena itu pun sudah tergolong respons. Saat dilakukan setiap hari, lambat laun, anak akan bercerita.

"Ketika pun kita membuka diri pada anak, ketahui bahwa karena kita yang membuka apa pun respons anak harus kita terima," kata Fathya.

5. Cara efektif mengomunikasikan emosi di masa pandemi COVID-19

Kesehatan Mental Anak Tergantung Kebahagiaan OrangtuaAyah dan ibu berbincang dengan putrinya. (parents.com)

Jadi, Fathya mengatakan kalau penting bagi orangtua dan anak untuk memiliki "ritual" untuk mengomunikasikan emosi di masa pandemi COVID-19. Apa saja?

  • Cek emosi secara rutin: sebelum tidur atau sesudah bangun, diskusikan apa yang anak rasakan dan apa yang bisa membuat mereka bersemangat
  • Jujur dengan emosi yang dirasakan orangtua: segala perasaan positif dan negatif didiskusikan dengan anak melalui cara yang tenang dan dimengerti anak
  • Menerima emosi yang dirasakan bersama anak: tidak apa-apa jika emosi negatif
  • Menyusun strategi untuk relaksasi bersama anak: membuat kebiasaan menyenangkan dan menenangkan bersama anak

Orangtua harus menjadi teladan bagi anak dengan bersikap jujur kepadanya lewat komunikasi yang tenang. Dengan begitu, anak bisa mencontoh orangtua yang tetap tenang saat kala stres. Fathya mencatat kalau di masa pandemi ini semua emosi anak dan orangtua "dapat diterima", hanya menyenangkan dan kurang menyenangkan.

Kesehatan Mental Anak Tergantung Kebahagiaan OrangtuaIbu berbicara dengan anaknya (yalemedicine.org)

Selain itu, Fathya menekankan kalau hukuman bukanlah cara yang tepat untuk mengajari anak untuk mengendalikan diri. Hukuman malah merampas momen yang seharusnya dapat digunakan untuk mengajarkan anak secara personal.

"Daripada hukuman, lebih baik kita menerima emosi yang dirasakan anak. Sebaiknya, kita bicarakan dengan anak mengenai ekspresi emosi mereka. Lalu, kita redirect dengan mengarahkan anak ke perilaku yang kita harapkan," ujar Fathya.

Ini karena anak berperilaku karena hanya itu yang ia tahu. Emosi tidak salah, hanya perilaku seperti memukul atau melempar baranglah yang jadi masalah.

Jadi, daripada menghukum, lebih baik orangtua menyediakan opsi perilaku lain yang dapat diterima. Hukuman bukanlah solusi karena regulasi emosi butuh waktu dan anak juga butuh dipandu.

6. Bagaimana menciptakan suasana rumah yang bahagia di masa pandemi COVID-19?

Kesehatan Mental Anak Tergantung Kebahagiaan OrangtuaOrangtua mendengarkan cerita anak (steemit.com)

Orangtua adalah "coach" emosi untuk anak di rumah. Jadi, bagaimana caranya menciptakan suasana rumah yang bahagia di masa pandemi ini? Fathya memberikan metode HADIR, yaitu:

  • Hadapi dengan tenang
  • Anggap semua perasaannya penting
  • Dengarkan tanpa distraksi (kesampingkan gangguan untuk fokus pada anak)
  • Ingat untuk membantu menamai emosi anak
  • Rembukan opsi, batasan, dan solusi yang nyaman untuk emosi anak
Kesehatan Mental Anak Tergantung Kebahagiaan OrangtuaKeluarga melakukan aktivitas bersama. (robotlab.com)

Selain HADIR, Fathya juga memberikan beberapa strategi tambahan untuk menghadirkan atmosfer bahagia di rumah. Apa saja?

  • Menerima keadaan: agar tidak menyalahkan keadaan
  • Membuat rutinitas: agar otak mendapatkan alur yang dikenali
  • Membagi tugas dan tanggung jawab: orangtua dan anak bekerja sama agar tidak stres
  • Memilih pembahasan emosi yang diperlukan: ada emosi yang memang harus ditangani, dan ada emosi yang bisa dibiarkan berlalu saja
  • Merawat dan menjaga diri sendiri: luangkan waktu untuk me-time 
  • Kenali sumber kebahagiaan diri: melakukan kegiatan yang memang kita senangi dengan lingkungan yang kondusif

Fathya mengatakan bahwa selain strategi dan metode tersebut, mengatur ekspektasi yang realistis juga penting di masa pandemi ini. Jangan fokus untuk melewati hari dengan sempurna, melainkan dengan "cukup baik".

"Mungkin 'cukup baik' akan jadi kesempurnaan yang baru. Dalam satu hari, kita perlu bertahan dan memastikan anak bertumbuh dengan baik. Jadi, targetnya bukan sempurna, tetap cukup baik," tutup Fathya.

Baca Juga: 6 Kegiatan Seru di Rumah Bersama Anak-Anak, Parent Wajib Tahu nih!

Topik:

  • Nurulia
  • Bayu Aditya Suryanto

Berita Terkini Lainnya