5 Dampak Buruk jika Anak Bergantung pada AI saat Mengerjakan PR

Intinya sih...
Menurunnya kemampuan berpikir anak: Ketergantungan pada AI dapat menyebabkan menurunnya kemampuan berpikir kritis dan kreatif.
Menurunnya kemampuan berbahasa dan menulis: Anak kehilangan kesempatan untuk melatih kemampuan menulis dan berbahasa karena terlalu mengandalkan AI.
Turunnya motivasi dan minat belajar anak: Penggunaan AI untuk mengerjakan tugas dapat membuat motivasi belajar anak menurun drastis.
Di era teknologi yang semakin canggih, keberadaan kecerdasan buatan (AI) menjadi bagian tak terpisahkan. Dalam kehidupan sehari-hari, alat dan penerapan AI kini mudah ditemukan di tengah masyarakat, termasuk dunia pendidikan. Berbagai aplikasi dan platform berbasis AI kini banyak membantu siswa mengerjakan tugas sekolah.
AI sudah tidak bisa lagi dilepaskan dari sisi manusia, selain membantu manusia mendapatkan informasi dengan mudah, tidak jarang AI dapat meringankan anak dalam menyelesaikan pekerjaan rumah (PR) dari sekolahnya. Meski begitu, jika penggunaannya tidak dibatasi dengan bijak, anak bisa terlalu bergantung pada AI. Lalu, apa dampak buruk jika anak bergantung pada AI saat mengerjakan PR?
1. Menurunnya kemampuan berpikir anak
Salah satu dampak utama jika anak terlalu bergantung pada AI adalah menurunnya kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Ketika anak terbiasa mendapatkan jawaban instan dari AI tanpa melalui proses berpikir sendiri, otaknya menjadi kurang terlatih untuk menganalisis, mengevaluasi, dan menyusun ide-ide baru.
Padahal, berpikir kritis dan kreatif adalah dua kemampuan penting yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan. Tanpa kedua kemampuan ini, anak mungkin akan kesulitan dalam menyelesaikan masalah yang kompleks atau menciptakan solusi inovatif. Penting bagi orang tua dan pendidik untuk membimbing anak agar menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan sebagai satu-satunya sumber penyelesaian tugas.
2. Menurunnya kemampuan berbahasa dan menulis
AI memang memudahkan anak dalam menyusun esai, laporan, atau tugas tertulis lainnya. Tapi jika digunakan tanpa kontrol, anak akan kehilangan kesempatan untuk melatih kemampuan menulis dan berbahasa. Kebiasaan menyalin jawaban dari AI tanpa proses berpikir sendiri membuat anak tidak terbiasa merangkai kata, menyusun kalimat, atau menyampaikan ide secara tertulis dengan baik.
Menulis bukan hanya sekadar menyalurkan ide dalam bentuk kata, tetapi juga melatih logika berpikir, kemampuan menyusun argumen, serta kepekaan terhadap tata bahasa dan ejaan. Jika anak selalu mengandalkan AI untuk tugas tertulisnya, ia tidak akan terbiasa menghadapi tantangan dalam menulis, seperti mencari kosa kata yang tepat atau menyusun struktur kalimat yang baik.
3. Turunnya motivasi dan minat belajar anak
Ketika anak terbiasa menggunakan AI untuk mengerjakan tugas, motivasi belajarnya bisa menurun drastis. Sebab, anak merasa tidak perlu berusaha keras untuk memahami materi karena bisa langsung mendapatkan jawaban. Kebiasaan ini lama-kelamaan mematikan rasa ingin tahu dan semangat belajar anak. Mereka hanya fokus pada hasil, bukan pada proses pembelajaran itu sendiri, yang sejatinya jauh lebih penting untuk membangun pengetahuan dan karakter.
Selain itu, ketergantungan pada AI juga membuat anak kurang disiplin. Tugas sekolah yang seharusnya menjadi sarana latihan menjadi hanya formalitas semata. Anak bisa mengerjakan tugas secara instan tanpa memahami isinya, sehingga tidak terbentuk kebiasaan mengatur waktu belajar atau menyiapkan diri untuk menghadapi ujian.
4. Risiko plagiarisme
AI dapat menghasilkan jawaban dalam hitungan detik, tetapi jika digunakan secara sembarangan, anak rentan melakukan plagiarisme. Anak mungkin menyalin jawaban dari AI tanpa memahami bahwa tindakan tersebut melanggar etika akademik. Kebiasaan ini, jika dibiarkan, dapat menumbuhkan mentalitas tidak jujur dalam belajar. Anak hanya peduli pada penyelesaian tugas, bukan pada nilai kejujuran dan tanggung jawab atas karya sendiri.
Plagiarisme bukan hanya merugikan anak itu sendiri, tetapi juga bisa berdampak pada reputasi akademisnya. Di tingkat pendidikan yang lebih tinggi, tindakan plagiarisme bisa berujung pada sanksi serius, seperti diskualifikasi nilai atau bahkan dikeluarkan dari sekolah atau kampus. Maka, sejak dini penting untuk menanamkan pada anak pentingnya kejujuran akademik, serta membimbingnya agar menggunakan AI secara etis sebagai pendukung belajar, bukan sebagai alat untuk mencontek.
5. Kurangnya kemampuan memecahkan masalah
AI memang hebat dalam memberikan solusi untuk berbagai masalah dalam bentuk teori atau tulisan. Namun, kenyataannya, kehidupan tidak selalu menawarkan solusi instan seperti yang disediakan AI. Anak yang terlalu bergantung pada AI akan kesulitan ketika dihadapkan pada masalah nyata yang membutuhkan kemampuan adaptasi, komunikasi, kerja sama, dan pengambilan keputusan secara langsung.
Di dunia kerja maupun kehidupan sehari-hari, anak harus mampu menghadapi situasi yang penuh dinamika dan ketidakpastian. AI memang bisa menjadi alat bantu, tetapi tidak bisa sepenuhnya menggantikan kemampuan manusia dalam mengambil keputusan bijak atau berempati terhadap orang lain. Jadi, sangat penting bagi anak untuk belajar memecahkan masalah sendiri, berlatih mengambil keputusan, dan mengembangkan soft skills yang tidak bisa diajarkan oleh mesin.
AI adalah teknologi yang luar biasa dan memiliki banyak manfaat dalam mendukung proses belajar anak. Walau begitu, ada dampak buruk jika anak bergantung pada AI saat mengerjakan PR atau proses belajar. Jika penggunaannya tidak dibatasi dan dibimbing dengan baik, ketergantungan terhadap AI justru memengaruhi perkembangan intelektual, etika, dan kemampuan anak. Sebagai orangtua, guru, dan masyarakat, kita perlu memastikan anak menggunakan AI secara bijak, sebagai teman belajar yang membantu, bukan sebagai alat utama untuk menghindari usaha dan tanggung jawab.