Benarkah Memuji Anak Berbahaya? Ini Cara Puji dan Kritik yang Tepat

terapkan beberap cara memuji yang baik dan benar

Tidak ada orangtua yang ingin merendahkan anak, membuatnya tidak percaya diri, hingga memengaruhi kualitas kehidupannya. Oleh karenanya, orangtua berpikir bahwa memuji dapat menjadi bentuk apresiasi kepada anak agar membuatnya lebih termotivasi untuk mencapai sesuatu. 

Namun, bagaimana bila ternyata memuji anak justru memengaruhi kemampuan berpikirnya hingga membatasi tumbuh kembangnya? Carol S. Dweck yang merupakan psikolog sekaligus peneliti kepribadian, menjelaskan kesalahan apa saja yang dapat berbahaya pada anak dan bagaimana cara memuji yang tepat supaya anak tak mudah menyerah.

1. Bahaya memuji dan pengaruhnya terhadap kecerdasan anak

Benarkah Memuji Anak Berbahaya? Ini Cara Puji dan Kritik yang TepatIlustrasi keluarga (unsplash/@annhwa)

Anak-anak menyukai pujian, apalagi mengenai kecerdasan dan bakat mereka. Sebagai orangtua, kamu mungkin sering mengatakan, "Kamu orang yang cerdas", "Kamu anak yang berbakat", atau hal-hal semacamnya.

Sayangnya, menurut Carol dalam buku 'Mindset: Mengubah Pola Berpikir untuk Perubahan Besar dalam Hidup Anda', pujian seperti itu akan menghadirkan kesenangan yang luar biasa dan perasaan istimewa sesaat. Anak-anak dengan pola pikir tetap atau fixed mindset, akan semakin percaya diri dan motivasinya meningkat tajam saat dipuji. Namun saat gagal, mereka akan menganggap dirinya bodoh. 

"Memuji intelegensi anak ternyata membahayakan motivasi dan kinerjanya," tulis Carol dalam bukunya. 

Sebab, ketika anak mendapat pujian yang kurang tepat, keinginannya untuk mendapat tantangan baru akan menurun, sehingga memengaruhi prestasi dan motivasinya, sebagaimana hasil penelitian yang dipaparkan dalam situs Drake University. Bahkan pujian yang kurang tepat, dapat mendorong anak untuk menjatuhkan orang lain. 

2. Cara memuji anak dengan baik: fokus pada usaha yang telah dilakukan

Benarkah Memuji Anak Berbahaya? Ini Cara Puji dan Kritik yang Tepatilustrasi keluarga (unsplash.com/Jimmy Dean)

Selaras dengan penjelasan sebelumnya, bukan berarti orangtua tidak boleh memuji anak. Misalnya, ketika anak mendapatkan nilai yang tinggi, orangtua tentu antusias untuk mengapresiasi buah hatinya. Namun, Carol menegaskan, orangtua sebaiknya menghindari pujian yang bersifat menghakimi kecerdasan atau bakat mereka. 

Pujian yang diberikan kepada anak sebaiknya berfokus pada usaha yang mereka lakukan untuk mencapai suatu tujuan. Orangtua bisa memuji apa yang telah anak-anak lakukan melalui latihan, belajar, sikap pantang menyerah, dan strategi yang baik, bukan semata-mata pada hasil yang diraih anak. 

Psikolog Michele Borba dalam laman Drake University juga menyarankan jangan katakan, "Kamu cerdas!" namun katakanlah, "Kamu telah bekerja keras!" atau "Kamu mengalami kemajuan karena kamu telah berusaha keras."

Baca Juga: Psikolog Sarankan Orangtua Bacakan Buku Anak Sejak Dini, Ini Alasannya

3. Tingkatkan harga diri anak dengan fokus memuji kualitas diri

dm-player
Benarkah Memuji Anak Berbahaya? Ini Cara Puji dan Kritik yang Tepatilustrasi keluarga (pexels.com/@emma-bauso-1183828)

Orangtua seringkali senang memuji apa yang anak-anak kenakan atau miliki daripada mengapresiasi kualitas diri mereka. Menurut Michele, jika orangtua berfokus memuji kualitas diri anak daripada apa yang mereka pakai, akan mengurangi kecenderungan materialistis. 

Tak hanya itu, mengapresiasi cara mereka berpikir, berbicara, bersikap dan bersosialisasi, akan membangun harga diri yang lebih sehat. Anak tak mengasosiasikan nilai dirinya pada sebuah benda atau hal-hal material, namun lebih termotivasi untuk meningkatkan inner qualities. 

4. Inilah cara mengkritik anak dengan benar tanpa membuatnya minder

Benarkah Memuji Anak Berbahaya? Ini Cara Puji dan Kritik yang TepatIlustrasi Keluarga. (unsplash.com/Paige Cody)

Tak bisa dihindari, anak-anak juga akan menghadapi kegagalan yang akan membuatnya kecewa dan sedih. Dalam hal ini, peran orangtua sangat diperlukan supaya anak tak menyerah dan mau mencoba lagi. Pesan yang disampaikan orangtua saat gagal, juga akan sangat berpengaruh terhadap motivasi sang anak di masa depan. 

Masih dalam buku yang sama, Carol memberi contoh bagaimana menghadapi seorang anak yang gagal memenangkan suatu kompetisi dan tetap membuatnya termotivasi pada pertandingan di masa mendatang. Orangtua harus bersimpati dengan kegagalan dan kekecewaan yang dialami sang anak. Misalnya, dengan menyampaikan, "Aku memahami perasaanmu. Memang mengecewakan, meski kamu telah melakukan yang terbaik, namun tetap belum berhasil."

Setelah memvalidasi perasaan anak, orangtua bisa mengungkapkan kebenaran dan mengajari untuk mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut. Tak perlu membohongi anak dengan mengatakan, "Kamu tetap yang terbaik," sebab pada kenyataannya dia sedang mengalami kegagalan. Katakanlah kebenaran dan fakta di lapangan. Misalnya, "Orang lain telah berlatih lebih lama darimu dan telah bekerja keras lebih daripada kamu." 

Terakhir, arahkan apa yang harus dilakukan anak setelah kegagalan tersebut. Contohnya, "Kalau kamu benar-benar ingin memenangkan kompetisi ini, maka kamu harus berjuang lebih serius untuk kompetisi berikutnya." 

5. Label negatif dan stereotip pada anak bisa memengaruhi nasib hidupnya

Benarkah Memuji Anak Berbahaya? Ini Cara Puji dan Kritik yang TepatIlustrasi keluarga (pexels.com/Vlada Karpovich)

Hidup di tengah masyarakat yang gemar memberikan label dan stereotip pada anak-anak, ternyata memiliki pengaruh yang besar terhadap nasib mereka ke depannya. Misalnya, muncul stereotip bahwa perempuan tak mahir dalam bidang sains dan matematika daripada anak laki-laki. Ini akan merampas rasa percaya dirinya. 

Carol menerangkan bahwa anak-anak dengan fixed mindset yang diberi cap positif, akan takut kehilangan label tersebut sehingga berusaha keras mempertahankannya. Sementara itu, apabila anak diberi label negatif, ia akan merasa layak mendapatkannya sehingga cenderung pasrah dan mengerahkan sedikit usaha dalam hal tersebut. 

Untuk itu, orangtua sebaiknya menghindari melabeli anak dengan karakter tertentu yang dapat mengganggu rasa percaya dirinya. Sementara dalam menghadapi stereotip negatif, dorong anak untuk mengerahkan seluruh kemampuan dan usahanya untuk mengejar ketertinggalan tanpa memedulikan pandangan orang lain. 

Baca Juga: 5 Perbedaan Growth Mindset vs Fixed Mindset, Kamu yang Mana?

Topik:

  • Dina Fadillah Salma
  • Febriyanti Revitasari

Berita Terkini Lainnya