Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi seorang ayah dan anak (pexels.com/cottonbro)
ilustrasi seorang ayah dan anak (pexels.com/cottonbro)

Intinya sih...

  • Orangtua perlu memahami bahwa anak memiliki jalannya sendiri dan memberi kesempatan pada anak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.

  • Konflik antar orangtua sebaiknya tidak melibatkan anak, agar mereka tetap netral dan tidak terbebani oleh masalah orang dewasa.

  • Orangtua perlu mengakui perasaan anak, menghindari gaslighting, dan memberi ruang bagi anak untuk membuat keputusan sendiri.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Menjadi orangtua jelas bukan pekerjaan mudah. Sebab, terkadang hal-hal kecil yang kita lakukan tanpa sadar bisa bikin anak merasa bersalah. Rasa bersalah ini, meski terlihat sepele, bisa memengaruhi kepercayaan diri dan perkembangan emosional mereka.

Tahukah kamu, beberapa kebiasaan parenting yang tampak biasa saja bisa membentuk cara anak menghadapi dunia nanti. Mulai dari cara kita menegur, memuji, sampai bereaksi saat mereka salah, semua bisa meninggalkan jejak panjang. Yuk, cari tahu selengkapnya apa saja kebiasaan parenting toksik yang bisa merusak perkembangan anak.

1. Tidak memahami kalau anak memiliki jalannya sendiri

ilustrasi mama dan anak melakukan percakapan (pexels.com/rdne)

Sebagai orangtua, wajar jika ingin anak sukses dan membuat keputusan yang baik. Namun ketika keinginan ini berubah menjadi kontrol berlebihan, anak justru bisa kehilangan rasa percaya diri dan kemandirian. Memberi anak kesempatan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri memungkinkan mereka belajar dari pengalaman dan kesalahan mereka.

“Sifat toksik terbesar yang sering dilakukan orangtua secara tidak sengaja adalah tidak memahami bahwa anak memiliki jalannya sendiri dan tujuan hidupnya,” jelas Dawn Friedman, MSEd, LPCC, konselor profesional yang mengkhususkan diri pada kecemasan anak, dilansir Parents.

Dengan membiarkan anak membuat pilihan sendiri, mereka bisa mengembangkan kemampuan problem solving dan tanggung jawab sejak dini. Ini juga membantu anak merasa dihargai dan didengar, bukan dikendalikan setiap langkahnya.

2. Memaksa anak memilih sisi antara orangtua

ilustrasi orangtua menasihati anak (pexels.com/gabbyk)

Konflik antar orangtua bisa terjadi di mana saja. Namun, melibatkan anak dalam pertikaian adalah perilaku toksik. Anak yang dipaksa memilih pihak bisa merasa bersalah, bingung, dan tertekan secara emosional. Hal ini berisiko menciptakan kecemasan kronis yang memengaruhi hubungan mereka di masa depan.

“Orangtua perlu menghindari melibatkan anak dalam konflik atau masalah orangtua karena hal ini bisa menimbulkan kecemasan dan rasa bersalah yang tidak perlu pada anak,” kata Danielle Dellaquila, LMSW, terapis di Gateway to Solutions, dilansir Parents.

Memberikan ruang bagi anak untuk tetap netral sangat penting agar mereka merasa aman dan tidak terbebani oleh masalah orang dewasa. Dengan cara ini, anak belajar bahwa perasaan mereka valid dan tidak harus menjadi mediator konflik orangtua.

3. Menolak realitas anak

ilustrasi orangtua menasihati anak (pexels.com/gabbyk)

Ketika orangtua mengabaikan atau menolak perasaan anak, anak bisa mulai meragukan persepsi mereka sendiri. Pola ini yang sering disebut gaslighting, bisa menimbulkan kebingungan dan ketidakpercayaan pada diri sendiri. Anak yang terus-menerus diragukan realitasnya cenderung memiliki kesulitan mengekspresikan perasaan dengan jujur.

Gaslighting mengajarkan anak untuk meragukan persepsi dan perasaannya sendiri. Ini sangat merusak, membuat anak bingung tentang apa yang nyata dan apakah mereka bisa mempercayai diri sendiri,” jelas Cynthia Edwards-Hawver, PsyD, psikolog berlisensi, dilansir Parents.

Mengakui perasaan anak, walau berbeda dengan pandangan antar orangtua, jelas bisa membantu mereka membangun rasa aman dan kemampuan emosional. Dengan validasi yang tepat, anak akan belajar untuk mengenali dan mengekspresikan emosi dengan sehat.

4. Terlalu mengontrol

ilustrasi memarahi anak (pexels.com/lizasummer)

Kontrol yang berlebihan terhadap kehidupan anak bisa merusak kemandirian mereka. Misalnya, memantau setiap aktivitas, menentukan hobi, hingga mengatur masa depan anak secara ketat. Anak yang terus dikontrol cenderung menjadi pemberontak atau menyembunyikan hal-hal dari orangtua.

Menurut Dellaquila, orangtua yang terlalu mengontrol biasanya muncul dari kecemasan atau ketidakamanan mereka sendiri, dan ini justru membuat anak menjauh atau menyembunyikan sesuatu. Memberi ruang bagi anak untuk membuat keputusan sendiri, meski kecil, membantu mereka belajar tanggung jawab dan percaya diri.

5. Memanfaatkan rasa bersalah

ilustrasi memarahi anak (pexels.com/gabbyk)

Beberapa orangtua menggunakan rasa bersalah untuk memanipulasi anak agar mengikuti keinginan mereka. Strategi ini membuat anak merasa tidak berdaya dalam mengambil keputusan sendiri. Akibatnya, anak cenderung menyimpan keputusan penting secara diam-diam dan tidak belajar keterampilan hidup yang esensial.

“Rasa bersalah mungkin berhasil sesaat untuk menghentikan perilaku tertentu, tapi efek jangka panjangnya terhadap emosi anak tidak membantu dan tidak sehat,” kata Laura Linn Knight, pendidik parenting, dilansir Huff Post.

Memanfaatkan rasa bersalah bisa menghancurkan kemandirian anak secara perlahan. Anak yang terus-menerus dipaksa merasa bersalah belajar untuk menyesuaikan diri demi menyenangkan orang lain, bukan belajar membuat pilihan yang tepat. Orangtua sebaiknya menekankan konsekuensi alami dari pilihan anak tanpa menimbulkan rasa bersalah yang berlebihan.

6. Tidak mengatur emosi sendiri

ilustrasi anak dimarahi (pexels.com/gabbyk)

Orangtua yang kesulitan mengatur emosi bisa membuat anak hidup dalam ketidakpastian emosional. Anak yang selalu khawatir akan ledakan amarah atau perlakuan dingin orangtua cenderung merasa tidak aman. Konsistensi emosional orangtua penting untuk membantu anak mengembangkan kemampuan coping yang sehat.

Edwards Hawver menjelaskan, anak membutuhkan konsistensi emosional agar merasa aman dan mampu mengatasi masalah dengan sehat. Menunjukkan emosi secara tenang saat stres memberi contoh nyata bagi anak tentang cara mengelola perasaan. Anak yang aman secara emosional pun lebih mudah belajar dan membangun hubungan positif.

7. Mengomentari tubuh atau kebiasaan makan anak

ilustrasi ibu dan anak sedang makan bersama (pexels.com/cottonbro)

Komentar tentang tubuh atau pola makan anak, meski maksudnya positif, bisa menimbulkan tekanan. Anak bisa merasa bahwa nilai diri mereka terkait dengan penampilan atau seberapa banyak mereka makan. Lama-kelamaan, hal ini bisa memicu masalah citra tubuh atau gangguan makan.

“Mengomentari tubuh atau cara anak makan, bahkan dengan maksud positif, bisa menjadi masalah,” jelas Rachel Goldberg, LMFT, terapis dan pendiri Rachel Goldberg Therapy, dilansir Parents.

Fokus pada kesehatan holistik dan perilaku hidup sehat lebih penting daripada angka di timbangan atau penampilan fisik. Memberi contoh hidup sehat tanpa menilai tubuh anak akan membuat mereka menghargai diri sendiri secara alami.

8. Kurangnya batasan

ilustrasi seorang ayah dan anak (pexels.com/cottonbro)

Batasan yang jelas dan konsisten penting agar anak merasa aman dan belajar tanggung jawab. Terlalu banyak terlibat dalam kehidupan anak atau mengabaikan privasi mereka bisa membuat anak merasa terkekang atau tergantung. Anak yang tidak mendapatkan batasan sehat cenderung kesulitan mandiri dan membangun hubungan yang seimbang.

Dr. De Gannes menjelaskan, bahwa kurangnya batasan dapat membuat anak menjadi sangat tergantung dan kurang mampu, bahkan merasa perlu ruang dari orangtua yang terlalu emosional atau mengekang. Dengan batasan yang tepat, anak belajar menghargai diri sendiri dan orang lain. Hal ini juga membantu orangtua menjaga hubungan yang sehat dengan anak.

9. Mengomentari dampak anak pada orang lain

ilustrasi seorang ayah sedang menasehati anak-anaknya (pexels.com/timamiroshnichenko)

Memberi komentar yang membuat anak merasa bersalah atau dihakimi karena memengaruhi orang lain bisa merusak rasa percaya diri. Anak bisa mulai merasa keberadaan mereka adalah beban. Pola ini membuat mereka kurang nyaman mengekspresikan diri dan membatasi interaksi sosial mereka.

Goldberg menekankan, bahwa komentar seperti ini bisa membuat anak merasa keberadaan mereka adalah beban dan tidak diinginkan, sehingga mereka percaya hanya dengan eksis, mereka berdampak negatif pada orang di sekitar. Sebaiknya, orangtua memberi contoh positif dan berkomunikasi dengan cara membangun. Dengan begitu, anak belajar berinteraksi tanpa rasa takut dan tetap percaya diri.

Menjadi orangtua memang penuh tantangan, tapi menyadari pola yang toksik adalah langkah awal menuju perubahan yang lebih sehat. Dengan komunikasi yang hangat, batasan yang jelas, dan kasih sayang yang tulus, anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang kuat, percaya diri, dan bahagia.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team