Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Kesalahan Fatal saat Menghadapi Anak Picky Eater, Stop Memaksa!

ilustrasi anak (pexels.com/Vanessa Loring)
ilustrasi anak (pexels.com/Vanessa Loring)

Menghadapi anak picky eater bisa jadi perjuangan yang melelahkan bagi orangtua. Setiap kali makan, meja makan berubah menjadi medan perang dengan makanan yang ditolak, tangisan yang pecah, dan frustasi yang menumpuk. Banyak orangtua akhirnya terjebak dalam siklus memaksa dan membujuk yang malah memperburuk situasi, tanpa menyadari bahwa pendekatan mereka justru menjadi akar masalah yang cukup buruk.

Pola makan pilih-pilih pada anak sebenarnya merupakan fase perkembangan yang umum terjadi, terutama di usia 2-5 tahun. Sayangnya, tanpa disadari, cara orangtua merespons perilaku ini bisa berdampak jangka panjang pada hubungan anak dengan makanan. Agar gak keliru berikut adalah lima kesalahan fatal yang sering dilakukan orangtua saat menghadapi anak picky eater. Yuk, simak!

1. Memaksa anak menghabiskan semua makanan di piring

ilustrasi anak (pexels.com/MART PRODUCTION)
ilustrasi anak (pexels.com/MART PRODUCTION)

Memaksa anak untuk menghabiskan semua makanan di piringnya dengan ancaman atau iming-iming hadiah yang justru bisa menciptakan trauma makanan. Ketika anak dipaksa makan dalam kondisi tertekan, otak mereka mengasosiasikan makanan tertentu dengan pengalaman negatif. Akibatnya, mereka akan semakin menolak makanan tersebut di kemudian hari, dan siklus penolakan makanan jadi semakin kuat.

Daripada memaksa, cobalah sajikan porsi kecil yang gak menakutkan bagi anak. Biarkan mereka meminta tambah jika masih lapar. Pendekatan "satu suapan untuk coba" juga bisa diterapkan, di mana anak hanya perlu mencicipi makanan baru tanpa harus menghabiskannya. Dengan begitu, anak tetap memiliki kontrol atas tubuh mereka sendiri, dan makan jadi kegiatan yang lebih menyenangkan tanpa tekanan.

2. Menggunakan makanan sebagai hadiah atau hukuman

ilustrasi anak (pexels.com/Ketut Subiyanto)
ilustrasi anak (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Memberikan es krim sebagai hadiah karena anak mau makan sayur atau mencabut jatah camilan karena anak gak menghabiskan makan siangnya adalah strategi yang sangat kontraproduktif. Pola ini mengajarkan anak bahwa makanan tertentu (biasanya yang manis atau tinggi kalori) lebih berharga daripada makanan sehat, sehingga tanpa sadar menciptakan hierarki makanan di benak anak.

Efek jangka panjangnya, anak bisa mengembangkan hubungan emosional yang gak sehat dengan makanan, seperti makan berlebihan saat bahagia atau menggunakan makanan sebagai penghiburan saat sedih. Sebaiknya, posisikan semua makanan secara netral tanpa label "baik" atau "buruk" dan fokus pada manfaat nutrisinya bagi tubuh. Misalnya, "wortel membantu mata kita melihat dalam gelap" alih-alih "makan wortel supaya dapat es krim".

3. Menyerah dan hanya menyajikan makanan favorit anak

ilustrasi anak (pexels.com/Vanessa Loring)
ilustrasi anak (pexels.com/Vanessa Loring)

Ketika frustrasi memuncak, banyak orangtua akhirnya menyerah dan hanya menyajikan makanan yang pasti dimakan anak yang mana seringkali berupa makanan olahan seperti nugget, sosis, atau mi instan. Meskipun ini mungkin menyelesaikan masalah dalam jangka pendek, strategi ini justru memperkuat pilihan terbatas anak dan membuat mereka semakin sulit menerima variasi makanan baru di kemudian hari.

Menu yang monoton juga berisiko menyebabkan kekurangan nutrisi penting bagi tumbuh kembang anak. Solusinya, tetap sajikan makanan favorit anak bersama dengan varian baru dalam porsi kecil. Konsistensi adalah kunci karena anak biasanya memang perlu terpapar makanan baru hingga 15-20 kali sebelum akhirnya mau mencoba. Jadi, gak perlu terburu-buru menyerah jika anak menolak pada percobaan pertama, kedua, atau bahkan kesepuluh.

4. Membuat menu khusus yang berbeda untuk anak

ilustrasi anak (pexels.com/Tima Miroshnichenko)
ilustrasi anak (pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Menyiapkan menu terpisah untuk anak saat makan bersama keluarga mungkin terasa seperti solusi praktis, tetapi kebiasaan ini justru mengajarkan anak bahwa mereka gak perlu beradaptasi dengan pola makan keluarga. Tanpa disadari, ini memperkuat sikap pilih-pilih mereka dan menciptakan ekspektasi bahwa mereka akan selalu mendapatkan menu spesial yang berbeda dari anggota keluarga lain.

Lebih baik, sajikan menu yang sama untuk seluruh keluarga dengan beberapa modifikasi sederhana jika diperlukan. Misalnya, makanan pedas bisa dipisahkan sausnya, atau sayuran bisa disajikan terpisah dari hidangan utama bagi anak yang belum siap dengan makanan yang tercampur. Melihat orangtua dan anggota keluarga lain menikmati berbagai jenis makanan juga merupakan bentuk pembelajaran yang efektif bagi anak melalui modeling positif.

5. Terlalu fokus pada jumlah makanan, bukan kualitas waktu makan

ilustrasi anak (pexels.com/KATRIN BOLOVTSOVA)
ilustrasi anak (pexels.com/KATRIN BOLOVTSOVA)

Banyak orangtua terlalu fokus menghitung suapan atau memastikan piring kosong hingga melupakan bahwa makan bersama seharusnya jadi momen yang menyenangkan. Ketika perhatian terlalu tertuju pada "berapa banyak yang sudah dimakan", suasana makan menjadi tegang dan penuh tekanan. Anak-anak sangat sensitif terhadap kecemasan orangtua, dan ketegangan ini bisa membuat mereka semakin enggan makan.

Cobalah alihkan fokus dari jumlah makanan ke pengalaman positif di meja makan. Matikan TV, singkirkan gadget, dan jadikan waktu makan sebagai kesempatan untuk ngobrol santai dan bertukar cerita. Anak yang mengasosiasikan makan dengan momen menyenangkan bersama keluarga cenderung lebih terbuka untuk mencoba makanan baru. Yang terpenting, beri contoh dengan menunjukkan kebiasaan makan yang sehat dan beragam.

Menghadapi anak picky eater memang membutuhkan kesabaran ekstra, tapi ingat bahwa fase ini biasanya bersifat sementara. Dengan pendekatan yang lebih positif dan gak memaksa, kamu membantu anak mengembangkan kebiasaan makan sehat yang akan bertahan seumur hidup. Jadi, mulai sekarang, lepaskan kontrol berlebihan, ciptakan suasana makan yang menyenangkan, dan biarkan naluri alami anak terhadap makanan berkembang dengan sendirinya!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Diana Hasna
EditorDiana Hasna
Follow Us