Ilustrasi orang membaca dongeng (unsplash/Annie Spratt)
Legenda ini menceritakan tentang kisah Baro Klinting yang merupakan seekor naga, anak dari Endang Sawitri, putri Kepala Desa Ngasem. Namun, akibat dari sebuah kutukan, Endang Sawitri harus mengandung dan melahirkan seorang anak yang berwujud naga, yakni Baro Klinting.
Diceritakan, Baro Klinting pergi ke Gunung Telomoyo untuk bertapa dengan tujuan untuk menghilangkan kutukannya tersebut, sehingga dapat pulih dari wujud naga dan menjadi anak manusia pada umumnya. Di sana Baro bertapa dengan cara melilitkan tubuh naganya sampai ke puncak Gunung Telomoyo. Namun sayangnya, datang sekumpulan warga Desa Pathok yang tengah berburu dan tidak melihat wujud keseluruhan Baro Klinting pada saat itu. Warga tersebut hanya melihat ekor Baro Klinting dan justru memotong-motong daging ekor Baro Klinting untuk dibawa kembali ke desa mereka.
Meskipun begitu, Baro Klinting tetap berhasil dalam pertapaan dan berubah wujud menjadi seorang anak manusia, namun tubuhnya justru dipenuhi dengan kudis yang berbau amis. Baro kemudian mendatangi warga desa dengan tujuan untuk meminta makan, tetapi kedatangannya tersebut ditolak oleh warga. Satu-satunya orang yang menerima dan memberinya makanan dan minuman adalah seorang nenek bernama Nyai Latung.
Naga yang berubah menjadi manusia ini merasa sakit hati terhadap sikap penduduk desa. Ia memutuskan untuk kembali ke kerumunan orang sombong di desa tersebut. Ketika sampai di kerumunan penduduk desa, Baro menancapkan lidi ke tanah, kemudian berteriak, "Siapa di antara kalian yang sombong yang bisa mencabut lidi ini?" Semua orang meremehkannya, namun anehnya tak seorang pun dari penduduk desa mampu mencabut lidi tersebut.
Hingga akhirnya, anak ini berkata, "Sombongmu tidak sebanding dengan kekuatanmu", kemudian Ia mencabut lidi tersebut, dan air yang deras segera menyembur dari lubang bekasnya. Air pun dengan cepat menenggelamkan seluruh desa itu. Tidak ada yang selamat dari peristiwa itu, kecuali Nyai Latung. Kemudian, Nyai Latung yang berada di atas lesung hanya bisa melihat bagaimana desanya dipenuhi oleh air bening. Karenanya, Nyai Latung menyebut tempat tersebut dengan nama Rawa Pening karena kejernihannya.