5 Pertimbangan Saat Berencana Baru Mau Punya Anak setelah Kaya

Tumbuh di keluarga dengan kondisi ekonomi terbatas kadang membuat kita seperti 'mendendam'. Kita tidak ingin kelak anak-anak kita mengalami nasib yang sama. Maka kita berjanji pada diri sendiri hanya mau punya anak setelah kita kaya secara materi.
Oleh karena itu, kita mencari pasangan yang satu pandangan. Kalau kita menikah sebelum kaya raya, kita melakukan segala upaya untuk menunda kehamilan. Pokoknya, kerja keras dulu biar siap menyambut sang buah hati.
Tentu keputusan ini tidak lahir dari keegoisan melainkan besarnya kasih sayang kita pada calon buah hati. Namun sebelum kita terlalu kaku dengan keinginan tersebut, ada baiknya kita mempertimbangkan lima hal berikut ini.
1. Anak lahir saat kondisi ekonomi kita sudah mapan sehingga tak perlu hidup susah

Penderitaan seorang anak memang tidak hanya bisa disebabkan oleh masalah keuangan kedua orangtuanya. Anak juga pasti menderita jika hubungan orangtuanya tidak harmonis apa pun pemicunya.
Akan tetapi dengan baru memiliki anak setelah kita sendiri kaya, kita sudah mengeliminasi salah satu penyebab kesulitan dalam hidupnya. Anak lahir ketika kita telah punya rumah sendiri, bukan ngekos atau ngontrak lagi.
Untuk membeli susu dan popok anak, kita juga telah sangat mampu. Bisa dibilang, kehidupan anak menjadi jauh lebih nyaman dibandingkan bila dia lahir ketika kita masih harus ekstra berhemat agar penghasilan cukup buat sebulan.
2. Kita lebih leluasa dalam merencanakan masa depannya

Dengan kondisi finansial yang telah mapan bahkan berlebih, merencanakan masa depan anak tak lagi menjadi pekerjaan yang memusingkan. Ibaratnya, kita mampu menyekolahkan anak di mana saja. Pokoknya, anak tinggal memilih sesuai keinginannya.
Meski saat itu anak masih bayi, biaya untuknya berkuliah pun sudah siap. Kita dapat membayangkan belasan tahun dari sekarang, anak kita sedang melanjutkan studinya di kampus ternama baik di dalam maupun luar negeri.
Dengan persiapan sematang ini, anak seperti tinggal berjalan di anak tangga yang telah kita susun rapi sampai ke puncak. Tak perlu khawatir jatuh, sebab tangga itu didesain dengan keamanan terbaik. Anak nyaman berjalan menuju masa depannya, kita pun terbebas dari kecemasan tak akan mampu membiayainya meraih cita-cita.
3. Masalahnya, puncak kesuksesan finansial tak bisa dipastikan

Ini dia realitas dalam kehidupan yang tak bisa kita sangkal. Kita tidak dapat memastikan masa depan. Konsekuensi logisnya, kita juga menjadi tak tahu kapan kita akan benar-benar menjadi orang kaya.
Apakah 5 atau 10 tahun lagi? Atau malah lebih dari itu sekalipun kita sudah bekerja sekeras mungkin? Tidak ada yang tahu. Sayangnya, usia kita tidak menunggu sampai kita kaya.
Kaya atau tidak kaya, usia kita terus bertambah. Dan faktor usia dapat memengaruhi kesuburan kita. Jika pun kita akhirnya berhasil kaya sekaligus memiliki momongan, jarak usia kita dengan anak mungkin jadi terlalu jauh.
Kita lebih cocok menjadi kakek atau neneknya ketimbang ayah atau ibunya. Ini berarti, waktu kita untuk mendampinginya mungkin tinggal sedikit lagi. Walau usia hanya Tuhan yang tahu; anak berpotensi menjadi yatim, piatu, bahkan yatim piatu di usia yang relatif muda.
4. Sedikit saja lengah, anak bisa manja sekali

Maksud kita memberikan kenyamanan hidup dan masa depan terbaik untuk anak dapat menjadi pisau yang menusuk anak sendiri apabila kita kurang berhati-hati. Misalnya, kita cenderung memanjakannya dengan materi yang dimiliki.
Setelah mengumpulkan kekayaan dengan susah payah, kita ingin mempersembahkan seluruhnya buat anak. Anak menjadi tidak pernah merasakan sedikit saja keterbatasan dalam hidupnya.
Ia bisa tumbuh menjadi pribadi yang boros dan daya juangnya rendah karena kita sudah memberikan segalanya. Plus, kemampuan beradaptasinya kurang apabila kondisi kehidupan kita berubah alias turun lagi secara finansial.
Tentu saja, bahaya ini dapat dicegah jika kita tetap memberikan edukasi pada anak perihal hidup sederhana, kerja keras, dan rasa syukur. Jadi, kecukupan materi saja tidak memadai untuk mengantarkan anak ke masa depan terbaiknya.
5. Kapan pun diberi momongan, sebagai pasangan kita harus siap

Akhirnya, berani menikah memang sama dengan kesiapan untuk menjadi orangtua. Meski kita berusaha buat menunda memiliki momongan, ada saja kemungkinan upaya tersebut gagal.
Kalau ini terjadi, kita harus tetap siap menyambutnya. Seburuk apa pun kondisi ekonomi kita saat itu, kita tidak boleh berusaha melawan ketetapan Tuhan. Misalnya, dengan menggugurkan kandungan.
Kita boleh punya cita-cita atau rencana apa saja. Akan tetapi, kita harus ingat bahwa setiap hubungan seks dengan lawan jenis tetap berpotensi menyebabkan kehamilan. Apalagi kita telah menikah dan rutin melakukannya.
Jadi, jangan sampai merasa tidak siap menjadi orangtua hanya karena penghasilan kita dan pasangan masih belum sesuai dengan harapan. Siapa tahu kehadiran buah hati justru membuka pintu rezeki kedua orangtuanya.



















