Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi seorang pria (Pexels.com/cottonbro studio)

Intinya sih...

  • Kesadaran akan kesehatan mental meningkat, tapi istilah "mental illness" sering digunakan secara berlebihan tanpa pemahaman yang cukup.
  • Penggunaan istilah ini tanpa konteks tepat bisa mengurangi empati terhadap orang yang benar-benar mengalami gangguan mental.
  • Postingan tentang mental health sering berakhir sebagai "aesthetic post" tanpa memberikan informasi relevan atau solusi nyata.

Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental semakin meningkat, tetapi di sisi lain, istilah "mental illness" sering digunakan secara berlebihan. Banyak orang, baik di media sosial maupun dalam percakapan sehari-hari, menyebut kondisi mental tertentu tanpa pemahaman yang cukup, yang justru bisa mereduksi makna sebenarnya dari gangguan mental.

Penggunaan yang berlebihan dan tidak tepat ini dapat menyebabkan kesalahpahaman, membuat diagnosis klinis terlihat sepele, atau bahkan menghambat individu yang benar-benar membutuhkan bantuan profesional. Artikel ini akan membahas lima kesalahan umum yang membuat kesadaran akan kesehatan mental menjadi overused dan kurang efektif.

1. Menggunakan istilah mental illness untuk hal yang sepele

Ilustrasi seorang pria berdiri (Pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Kadang, kita melihat orang menyebut diri mereka “depresi” hanya karena tugas menumpuk atau mengatakan “aku OCD banget” saat merapikan meja. Mungkin maksudnya bercanda, tapi ini bisa membuat kondisi serius seperti depresi atau OCD terkesan remeh. Istilah-istilah ini bukan sekadar kata; mereka mewakili perjuangan nyata yang dialami banyak orang.

Ketika kita terlalu sering menggunakan istilah ini tanpa konteks yang tepat, kita berisiko mengurangi rasa empati orang lain terhadap mereka yang benar-benar mengalaminya. Yuk, lebih bijak dalam memilih kata, karena setiap kata punya dampak.

2. Fokus pada estetika daripada substansi

Ilustrasi seorang wanita bermain ponsel (Pexels.com/MART PRODUCTION)

Postingan tentang mental health sering dibuat dengan visual yang indah—warna pastel, ilustrasi imut, atau quotes motivasi. Sayangnya, banyak dari konten ini hanya berakhir sebagai “aesthetic post” tanpa memberikan informasi yang benar atau solusi nyata. Awareness yang hanya berhenti di tampilan cantik tidak akan memberi dampak besar.

Jika kita ingin benar-benar peduli, berikan informasi yang relevan, edukatif, dan mendalam. Jangan sampai kesadaran soal mental illness hanya menjadi tren visual tanpa makna.

3. Over-sharing pengalaman pribadi tanpa batasan

Ilustrasi seorang wanita bermain ponsel (Pexels.com/SHVETS Production)

Berbagi pengalaman soal kesehatan mental memang penting untuk membangun koneksi. Tapi, terkadang, ada individu yang membagikan detail yang terlalu personal tanpa memikirkan dampaknya pada diri sendiri atau audiens. Alih-alih memberi inspirasi, hal ini bisa memicu trauma bagi orang lain atau memperparah stigma.

Kita harus ingat bahwa ada garis tipis antara berbagi untuk mengedukasi dan berbagi demi validasi. Pastikan tujuan kita benar-benar untuk membantu, bukan sekadar mencari perhatian.

4. Menggunakan mental illness untuk menarik simpati

Ilustrasi seorang wanita memainkan ponsel (Pexels.com/Ivan Samkov)

Pernahkah kamu melihat postingan yang tampaknya memanfaatkan isu mental health untuk menambah like atau engagement? Misalnya, seseorang mengunggah caption tentang “healing” dengan foto yang tidak relevan, hanya demi terlihat relatable. Sikap seperti ini justru bisa merusak kredibilitas gerakan mental health awareness.

Mental illness bukan alat promosi. Jika kita ingin bicara soal kesehatan mental, mari lakukan dengan niat tulus dan empati, bukan sebagai cara untuk meningkatkan popularitas.

5. Mengabaikan profesionalisme dan edukasi

Ilustrasi seorang pria (Pexels.com/Monstera Production)

Banyak yang merasa cukup paham tentang mental illness hanya karena membaca artikel atau menonton video singkat. Akibatnya, mereka memberi saran seperti, “Coba deh berpikir positif,” atau “Kamu cuma kurang bersyukur.” Padahal, masalah kesehatan mental seringkali membutuhkan bantuan profesional, bukan sekadar kata-kata motivasi.

Kita perlu sadar bahwa edukasi soal mental health tidak bisa setengah-setengah. Jika ingin membantu, ajak orang yang membutuhkan untuk berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater, bukan hanya menawarkan solusi instan.

Media sosial adalah alat yang kuat untuk meningkatkan kesadaran, tapi juga bisa menjadi pedang bermata dua. Mari kita gunakan platform ini dengan lebih bijak—berempati, mengedukasi, dan tidak sekadar mengikuti tren. Setiap langkah kecil kita untuk menghormati perjuangan orang lain adalah bagian dari perubahan besar. Ingat, empati yang tulus selalu punya tempat di dunia ini.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team

EditorAfifah