5 Indikasi Crab Mentality Diaspora Atas Fenomena #KaburAjaDulu

- Tagar #KaburAjaDulu menunjukkan keinginan banyak orang untuk bekerja di luar negeri
- Diaspora Indonesia sering menyebarkan cerita negatif dan meremehkan mereka yang ingin mencoba peruntungan di luar negeri
- Beberapa diaspora takut pendatang baru akan mengganggu "zona nyaman" mereka di luar negeri
Tagar #KaburAjaDulu belakangan ramai di media sosial. Ini jadi simbol keinginan banyak orang untuk mencari peluang kerja di luar negeri.
Fenomena ini mencerminkan ketidakpuasan terhadap kondisi di dalam negeri dan hasrat untuk mencari hidup yang lebih baik di negeri orang. Tapi, menariknya reaksi yang muncul justru beragam, terutama dari diaspora, yakni warga negara Indonesia yang lebih dulu hijrah ke luar negeri. Ada yang mendukung penuh dan berbagi pengalaman, tetapi gak sedikit juga yang justru terkesan menutup pintu informasi rapat-rapat.
Fenomena ini dikenal dengan istilah crab mentality, sikap di mana seseorang merasa gak ingin orang lain sukses seperti dirinya. Nah, bagaimana, sih, bentuk crab mentality yang sering muncul dari diaspora terhadap mereka yang ingin ikut #KaburAjaDulu? Berikut lima indikasi yang sering terjadi dan mungkin tanpa sadar pernah kamu lihat lewat unggahan mereka di media sosial!
1. Menyebarkan narasi negatif tentang hidup di luar negeri

Beberapa diaspora yang sudah lebih dulu hijrah kerap menyebarkan cerita-cerita buruk tentang kehidupan di luar negeri. Mulai dari biaya hidup yang mahal, sulitnya mencari pekerjaan, hingga diskriminasi yang katanya bakal dihadapi. Padahal, realitasnya gak sesederhana itu dan pengalaman tiap orang bisa sangat berbeda. Tapi, yang jadi masalah, narasi negatif ini seringkali dibuat berlebihan dan gak jarang hanya untuk menakut-nakuti mereka yang ingin mencoba peruntungan di luar negeri.
Alih-alih memberi informasi objektif, mereka justru sibuk menyoroti sisi gelapnya saja. Misalnya, ada yang bilang kalau kerja di luar negeri hanya cocok untuk mereka yang punya keahlian tertentu, sementara yang lain pasti bakal jadi buruh kasar. Padahal, banyak yang sukses dengan berbagai latar belakang pekerjaan. Bukannya memberi gambaran realistis, pandangan seperti itu justru bikin calon pekerja migran ragu dan takut mencoba. Ini jelas indikasi crab mentality seakan cara halus untuk bilang, "Jangan coba-coba, gak bakal semudah yang kamu pikir!"
2. Meremehkan alasan orang lain untuk pergi

Sebagian diaspora menilai kalau gelombang #KaburAjaDulu ini hanya tren sementara, sekadar efek FOMO (Fear of Missing Out). Mereka menganggap orang-orang yang ingin bekerja di luar negeri cuma ikut-ikutan tanpa perhitungan matang. "Kalau memang mau ke luar negeri, kenapa gak dari dulu?" ini salah satu komentar yang sering terdengar. Seolah-olah hanya mereka yang pergi lebih awal yang punya alasan yang sah, sementara yang baru ingin mencoba dianggap gak serius.
Padahal, tiap orang punya waktunya sendiri. Mungkin dulu mereka belum punya kesempatan, belum cukup informasi, atau sekadar butuh dorongan tambahan untuk benar-benar mengambil langkah besar. Lagipula, apa salahnya kalau seseorang merasa terinspirasi dari orang lain? Mungkin, memang ada yang awalnya FOMO, tetapi bisa saja hal ini berubah menjadi keputusan serius untuk mengubah hidup. Tapi, bukannya mendukung, mereka malah meremehkan dan mempertanyakan keputusan orang lain seolah mereka yang paling tahu segalanya.
3. Menganggap pekerja migran baru sebagai ancaman

Ini salah satu indikasi crab mentality yang paling nyata, yaitu rasa takut bahwa pendatang baru akan mengganggu "zona nyaman" mereka. Apakah diaspora yang menang tersebut khawatir kalau semakin banyak orang Indonesia yang datang, maka persaingan kerja bakal makin ketat? Apalagi kalau sektor pekerjaannya itu-itu saja, misalnya di bidang hospitality, pabrik, atau kesehatan. Mereka yang sudah lebih dulu kerja di sana takut kalau kehadiran orang baru akan menurunkan gaji atau bahkan merebut posisi mereka.
Padahal, pasar kerja itu luas dan dunia gak statis. Justru dengan lebih banyaknya diaspora Indonesia, bisa saja komunitas makin kuat, informasi lebih terbuka, dan peluang baru tercipta. Banyak komunitas diaspora dari negara lain yang justru saling bantu dan berkembang pesat karena solid. Tapi, di kalangan sebagian diaspora Indonesia, mentalitasnya malah seperti penjaga gerbang yang menutup akses agar "periuk nasi" mereka tetap aman tanpa saingan baru.
4. Menjadikan nasionalisme sebagai alasan untuk menyalahkan

Ketika ada yang ingin mencari kehidupan lebih baik di luar negeri, sering kali muncul komentar, "Kenapa gak berjuang di negeri sendiri?" atau "Kamu gak cinta tanah air, malah pilih kabur!" Seakan-akan bekerja di luar negeri merupakan sebuah bentuk pengkhianatan, bukan keputusan logis untuk memperbaiki kualitas hidup. Padahal, siapa, sih, yang gak ingin memperbaiki taraf hidup?
Lucunya, yang sering melontarkan argumen ini justru mereka yang sudah lebih dulu merantau. Mereka sendiri pergi karena alasan yang sama, apalagi kalau bukan mencari peluang yang lebih baik. Tapi, ketika ada orang lain yang ingin mengikuti jejak mereka, malah dituding gak patriotik. Ironisnya, banyak negara lain yang justru bangga ketika warganya sukses di luar negeri karena bisa membawa pengaruh positif bagi negara asalnya. Tapi, di sini banyak yang masih terjebak dalam pola pikir sempit menjadikan nasionalisme sebagai alasan untuk menahan orang lain agar tetap di tempat.
5. Menghindari berbagi informasi yang bisa membantu orang lain

Salah satu bentuk crab mentality yang paling sering terlihat di media sosial adalah enggan berbagi informasi. Ada diaspora yang punya akses ke informasi penting misalnya tentang lowongan kerja, prosedur imigrasi, atau tips bertahan hidup di luar negeri tapi memilih menyimpannya sendiri. Alasannya macam-macam, mulai dari malas repot hingga takut tersaing. Bahkan, gak sedikit diaspora yang melabeli diaspora lain yang memberi edukasi ke luar negeri misal program au pair, ausbildung, dan sebagainya sebagai “cuma cari engagement” aja.
Tindakan seperti ini merupakan bentuk gatekeeping yang jelas-jelas merugikan. Padahal, berbagi informasi gak akan membuat rezeki berkurang. Justru makin banyak orang Indonesia yang sukses di luar negeri, makin besar peluang untuk membangun komunitas yang saling mendukung. Sayangnya, mentalitas ini masih sering ditemukan sehingga membuat mereka yang baru ingin mencoba harus berjuang sendirian tanpa banyak bantuan dari sesama.
Fenomena ini seharusnya bisa menjadi peluang bagi banyak orang untuk memperbaiki hidup dan mencari pengalaman baru. Tapi, di sisi lain, crab mentality dari sebagian diaspora yang ditunjukkan lewat platform media sosial masing-masing justru menjadi penghambat. Di luar negeri ada Chinatown, Little India, dan sebagainya. Mengapa kita gak bisa bikin juga untuk orang Indonesia? Harusnya, mereka yang sudah lebih dulu merantau bisa jadi support system bagi yang baru ingin mencoba. Dunia ini luas, rezeki gak terbatas, dan tiap orang punya jalannya sendiri. Kalau memang ada yang ingin ikut #KaburAjaDulu, kenapa harus dihalangi? Bukankah lebih baik saling membantu daripada saling menjatuhkan?