5 Alasan Mengapa Doomscrolling Berbahaya dan Cara Berhenti

Di era digital yang serba cepat, kebiasaan doomscrolling, terus menggulir berita negatif tanpa henti, menjadi candu yang diam-diam merusak kesehatan mental. Tanpa disadari, banyak orang terjebak dalam siklus membaca kabar buruk, mulai dari bencana alam, krisis politik, hingga berita kriminal, seolah-olah mencari kepastian di tengah ketidakpastian.
Padahal, kebiasaan ini gak cuma bikin waktu terbuang percuma, tapi juga memicu kecemasan berlebihan. Lantas, mengapa doomscrolling begitu berbahaya, dan bagaimana cara lepas dari jeratannya?
Paparan terus-menerus terhadap informasi negatif bisa mengacaukan emosi, menurunkan produktivitas, bahkan mengganggu tidur. Otak manusia sebenarnya dirancang untuk lebih peka terhadap ancaman, itulah sebabnya berita buruk lebih mudah menarik perhatian.
Namun, ketika kebiasaan ini dibiarkan, dampaknya bisa jauh lebih serius daripada sekadar rasa lelah. Artikel ini mengupas lima alasan utama bahaya doomscrolling dan strategi praktis untuk menghentikannya.
1. Memicu kecemasan dan stres kronis

Doomscrolling secara konstan membanjiri pikiran dengan informasi negatif, yang pada akhirnya mengaktifkan respons "fight or flight" dalam tubuh. Ketika hormon stres seperti kortisol terus diproduksi, efek jangka panjangnya bisa berupa gangguan kecemasan, sulit konsentrasi, bahkan gejala fisik seperti sakit kepala dan jantung berdebar.
Semakin sering terpapar berita buruk, semakin tinggi pula risiko mengalami emotional exhaustion, kondisi di mana emosi terkuras habis tanpa energi untuk memulihkannya.
Orang yang menghabiskan lebih dari 30 menit sehari membaca berita negatif cenderung mengalami peningkatan kadar stres hingga 40 persem. Ironisnya, meski tahu efeknya buruk, banyak orang kesulitan berhenti karena otak terjebak dalam siklus pencarian kepastian. Padahal, terus-menerus mengonsumsi kabar buruk gak akan membuat situasi jadi lebih baik, justru sebaliknya, mental semakin limbung.
2. Mengganggu kualitas tidur

Kebiasaan doomscrolling sebelum tidur adalah kombinasi berbahaya yang merusak istirahat malam. Cahaya biru dari layar gadget sudah cukup mengacaukan produksi melatonin, hormon pengatur tidur, apalagi ditambah dengan konten yang memicu kekhawatiran.
Akibatnya, pikiran jadi sulit tenang, dan banyak orang terjaga hingga larut malam karena overthinking. Padahal, tidur yang gak berkualitas berdampak langsung pada mood, daya ingat, dan sistem kekebalan tubuh.
Orang yang terpapar berita negatif sebelum tidur melaporkan mimpi buruk atau sering terbangun di malam hari. Tidur seharusnya menjadi waktu pemulihan, bukan malah jadi ajang "menghukum diri" dengan informasi yang bikin gelisah. Jika kebiasaan ini terus dibiarkan, risiko insomnia dan gangguan tidur lainnya akan semakin meningkat.
3. Menurunkan produktivitas dan fokus

Setiap menit yang dihabiskan untuk doomscrolling adalah waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk aktivitas lebih bermanfaat. Kebiasaan ini gak cuma menguras energi mental, tapi juga mengganggu kemampuan berkonsentrasi.
Otak yang terus dibombardir informasi negatif jadi kesulitan memilah prioritas, sehingga pekerjaan penting sering terbengkalai. Alih-alih menyelesaikan tugas, banyak orang justru terjebak dalam loop menggulir layar tanpa tujuan.
Multitasking antara membaca berita buruk dan bekerja mengurangi efisiensi kognitif hingga 60 persen. Artinya, produktivitas anjlok, dan hasil pekerjaan pun gak maksimal. Jika kebiasaan ini dibiarkan, lama-lama deadline akan menumpuk, sementara rasa bersalah dan frustrasi semakin menjadi-jadi.
4. Memperburuk persepsi terhadap dunia

Otak manusia cenderung menyimpan memori negatif lebih lama daripada yang positif, fenomena ini dikenal sebagai negativity bias. Ketika terus-menerus doomscrolling, persepsi tentang dunia perlahan-lahan menjadi lebih suram.
Padahal, realitas sebenarnya gak seburuk yang dibayangkan. Banyak orang akhirnya mengembangkan pandangan pesimis, merasa bahwa segala sesuatu di luar sana penuh bahaya, padahal faktanya tidak selalu demikian.
Media seringkali menonjolkan berita negatif karena lebih menarik perhatian, sehingga menciptakan illusion bahwa dunia ini jauh lebih mengerikan daripada kenyataannya. Jika terus dibiarkan, kebiasaan ini bisa memicu learned helplessness, perasaan bahwa apa pun yang dilakukan gak akan mengubah keadaan. Padahal, dengan membatasi asupan berita, perspektif bisa jadi lebih seimbang.
5. Mengurangi interaksi sosial yang bermakna

Waktu yang dihabiskan untuk doomscrolling seringkali menggerus momen berharga bersama orang terdekat. Alih-alih ngobrol dengan keluarga atau teman, banyak orang lebih memilih menyendiri sambil terus memantau berita buruk.
Padahal, interaksi sosial yang berkualitas justru bisa menjadi antidote untuk mengurangi kecemasan. Ketika terlalu asyik dengan dunia digital, hubungan di kehidupan nyata perlahan-lahan jadi renggang.
Orang yang kecanduan doomscrolling cenderung lebih sering merasa kesepian, meski secara teknis mereka gak sendirian. Hubungan manusia butuh kehadiran dan percakapan yang mendalam, bukan sekadar like atau komentar di media sosial. Jika kebiasaan ini gak dikendalikan, dampaknya bisa merembet ke kehidupan personal dan profesional.
Doomscrolling mungkin terasa seperti kebiasaan yang gak berbahaya, tapi dampaknya bisa merusak kesehatan mental dan keseharian. Dengan menyadari risikonya, langkah kecil seperti membatasi waktu dan memilih konten positif bisa membuat perubahan besar.
Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan terus-menerus khawatir pada hal-hal di luar kendali. Daripada terjebak dalam pusaran berita buruk, lebih baik fokus pada hal-hal yang benar-benar berarti.