TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Semangat Gede Andika Bangkitkan Harapan Desa Pemuteran Lewat KREDIBALI

Belajar bahasa Inggris bayar dengan sampah plastik!

I Gede Andika Wira Teja (youtube.com/Jejak Literasi Bali)

Siapa yang menyangka kalau sektor lingkungan dan pendidikan bisa dikombinasikan menjadi sebuah program unik yang bisa berdampak besar bagi pembangunan desa dan kemanusiaan. Itulah KREDIBALI, sebuah program yang diinisiasi oleh Gede Andika di Desa Pemuteran, Buleleng, Bali. 

KREDIBALI sendiri adalah singkatan dari Kreasi Edukasi Bahasa Literasi, sebuah program belajar bahasa Inggris untuk anak-anak SD hingga SMP di desa Pemuteran, Kabupaten Buleleng, Bali yang diadakan secara luring sesuai dengan protokol kesehatan.

Uniknya adalah para siswa yang mengikuti program belajar bahasa Inggris ini cukup membayar dengan sampah plastik yang sudah terpilah dari sampah di rumah masing-masing. Lalu sampah plastik yang telah terkumpul ini akan ditukarkan menjadi beras yang akan dibagikan kepada lansia yang kurang mampu dan terdampak COVID-19.

Gede Andika telah memulai KREDIBALI bersama teman-teman di komunitas Jejak Literasi sejak awal pandemi COVID-19 tahun 2020 silam. Berkat inisiatif dan inovasinya membuat program KREDIBALI ini, dirinya menerima apresiasi SATU Indonesia Award 2021 oleh Astra Indonesia

Baca Juga: KBA Giri Rejo Karang Joang, Kolaborasi Astra Indonesia dan Warga

1. Gede Andika menginisiasi KREDIBALI karena anak-anak di Desa Pemuteran berhenti sekolah akibat pandemik COVID-19  

I Gede Andika Wira Teja (youtube.com/Jejak Literasi Bali)

Saat itu Gede Andika adalah seorang fresh graduate yang baru saja diterima bekerja di sebuah perusahaan, namun sayangnya karena pandemi COVID-19 melanda Indonesia, ia yang baru saja merasakan pengalaman kerja di kantor harus bekerja di rumah saja. Karena gak lagi harus kerja di kantor, pria berusia 23 tahun ini akhirnya memutuskan untuk pulang ke kampungnya di Desa Pemuteran, Buleleng, Bali. 

Setibanya di kampung halaman, ia menemukan sebuah fenomena yang janggal, rasanya seperti bukan Desa Pemuteran yang ia tahu. Karena pandemik melanda, suasana Desa Pemuteran yang biasanya ramai wisatawan asing itu jadi mendadak sepi. Ia pun tergerak untuk menelisik lebih dalam, dan ia juga menemukan sebuah fakta yang membuatnya cukup prihatin dengan kondisi warga sekitar khususnya anak-anak, yaitu ternyata kebanyakan mereka tidak bisa sekolah karena kegiatan belajar mengajar saat itu harus dilakukan secara daring. 

Karena sebagian besar masyarakat di Desa Pemuteran ini berpenghasilan menengah ke bawah, banyak yang masih belum memiliki smartphone sehingga tidak dapat mengikuti kegiatan sekolah secara daring. 

“Ternyata bukti yang saya dapat, sebagian besar anak-anak di pemuteran tidak bisa ikut kelas daring. Mereka tidak bisa belajar karena terbatas media belajar, salah satunya tidak punya gawai. Kondisi ini diperparah karena memang adanya pandemik COVID-19, jadi gak bisa beli gawai orangtuanya, dan yang punya hape ga bisa beli kuota. Jadi kondisinya semakin complicated,” ungkap pria 23 tahun ini.

Dari fakta yang ia temukan itu, Gede Andika mulai merasakan sebuah kekhawatiran yang besar. Ia khawatir jika kondisi ini dibiarkan saja maka akan mengancam masa depan anak-anak desa Pemuteran. Anak-anak akan terancam putus sekolah, ditambah lagi faktanya Buleleng adalah salah satu daerah di Bali yang terkenal dengan angka putus sekolah yang cukup tinggi. 

2. Merencanakan KREDIBALI berbasis riset ilmiah agar pemerintah desa dan orangtua memberi izin  

I Gede Andika Wira Teja dan anak-anak Desa Pemuteran, Buleleng (youtube.com/Jejak Literasi Bali)

Bukti dan fakta yang ia dapatkan tersebut bukan sekadar opini Gede Andika saja, namun itu semua adalah hasil survei dan riset yang dia lakukan di Desa Pemuteran selama bulan Maret 2020. Dari hasil itulah, dirinya memiliki sebuah hipotesis yang sangat penting dan menjadi cikal bakal program KREDIBALI di Desa Pemuteran ini. 

“Hipotesis yang saya buat adalah, kalau anak-anak terus seperti ini dan sebagian besar masyarakat penghasilan menengah ke bawah dan bergantung pada sektor pariwisata, ketika ada gempuran di sektor Pariwisata ke orangtua mereka maka akan berdampak pada anak-anak. Mereka tidak bisa sekolah dan berhenti sekolah. Akhirnya akan ada gap year atau bahkan mereka gak sekolah sama sekali,” ungkap Gede Andika. 

Mahasiswa Master of Science in Economics di UGM ini pun akhirnya bergerak untuk menemui pemerintah desa dan memaparkan temuannya itu secara komprehensif. Gede Andika menjelaskan semua itu menggunakan modeling dan gambarkan trendingnya tentang apa yang akan terjadi jika permasalahan ini terus menerus dibiarkan saja. 

Bisa dibilang, Gede Andika ini cukup jenius dalam membaca kondisi. Dirinya sudah memprediksi segala macam kemungkinkan penolakan dan juga kekhawatiran dari pihak desa maupun orangtua. Karena itu dia bergerak selalu berbasis riset dan data yang dia miliki dan tidak berupa opini saja. Data dan riset inilah yang menjadi senjata utama Gede Andika untuk bisa meyakinkan berbagai pihak agar KREDIBALI bisa diselenggarakan di Desa Pemuteran. 

Salah satu kekhawatiran terbesar dari pihak pemerintah desa adalah terjadinya transmisi atau penyebaran COVID-19 saat dilakukan kelas secara luring atau tatap mata, padahal permasalahan utama yang dihadapi oleh anak-anak adalah tidak bisa belajar secara daring. Sehingga tantangan terbesar saat itu adalah meyakinkan pentingnya protokol kesehatan. 

Gede andika mengungkapkan, “PR Besarnya saat itu adalah menanamkan pentingnya protokol kesehatan agar proses pembelajaran secara luring itu bisa dilaksanakan. Karena kami berhasil mengedukasi dan mengajak anak-anak untuk concern terhadap isu ini, sehingga program ini bisa berhasil dengan lancar dan sesuai rencana.”

Baca Juga: Mariana Yunita, Sosok yang Gigih Bergerak untuk Isu HKSR di NTT 

3. Program KREDIBALI mencakup tiga permasalahan fundamental yang terjadi di Desa Pemuteran, yaitu pendidikan, lingkungan dan kemanusiaan

Lansia di Desa Pemuteran, Buleleng, Bali (andikawirateja.com)

Sebenarnya yang outcome diinginkan oleh Gede Andika dari program yang ia inisiasi ini adalah meningkatnya kemampuan berbahasa Inggris dari anak-anak di Desa Pemuteran. Kemampuan berbahasa inggris inilah nantinya yang akan menjadi input jangka panjang untuk perkembangan sektor pariwisata di Desa Pemuteran. 

Selain pendidikan keterampilan berbahasa Inggris, melalui KREDIBALI, Gede Andika bersama komunitas Jejak Literasi Bali mengajarkan edukasi terkait lingkungan. Menurutnya ini juga bagian dari pendidikan karakter anak-anak sejak dini. Ia mengaitkan hal ini dengan isu lingkungan yang sering digaungkan di daerah-daerah pariwisata seperti Desa Pemuteran, di mana pariwisata selalu dikambing hitamkan sebagai penyebab kerusakan lingkungan. 

Namun pada kenyataannya permasalahan sampah plastik di Desa Pemuteran ini juga belum pernah selesai. Sehingga KREDIBALI mengaitkan antara pariwisata dengan lingkungan menjadi satu aspek dan dikaitkan dengan kondisi pendidikan di tengah pandemik COVID-19. 

“Pariwisata selalu dikambinghitamkan sebagai penyebab kerusakan lingkungan. Pariwisata itu hal yang sangat dekat sekali. Kalau ada Pariwisata masif di sana, pasti lingkungannya rusak. Sehingga saya melihat ini sebagai peluang untuk memberikan edukasi sejak dini tentang lingkungan. Ini berkaitan dengan pendidikan karakter, mereka peduli dengan lingkungan,” tutur Gede Andika.

Lalu ekonomi jelas menjadi persoalan serius semenjak pandemik COVID-19. Hasil riset dan survey yang dilakukan oleh Gede Andika pun menunjukkan bahwa dampak yang paling kentara adalah munculnya lingkaran-lingkaran kemiskinan yang baru, dan kedalaman kemiskinan yang dialami oleh masyarakat di desa ini sangatlah jauh. Sehingga Gede Andika memutar otaknya agar bisa membuat KREDIBALI berhubungan dan memberikan solusi pada masalah kemiskinan di Desa Pemuteran. 

Ia pun akhirnya menemukan korelasi antara kehadiran KREDIBALI sebagai program belajar namun juga bisa membawa dampak positif pada masalah kemiskinan, yaitu dengan adanya distribusi beras. Bekerjasama dengan Plastic Exchange, KREDIBALI akan menukarkan sampah plastik terpilah yang dibawa oleh siswa untuk ditukarkan menjadi beras. Beras tersebut akan didistribusikan ke lansia kurang mampu yang terdampak pandemik COVID-19. 

“Jadi ada korelasi semuanya nih, dari pendidikan, lingkungan dan kemiskinan yang ada di pemuteran akibat dari COVID-19. Pendidikan difasilitasi kelas bahasa inggris, lingkungan difasilitasi dengan sampah plastik untuk bisa belajar bahasa Inggris, kemiskinan ini mungkin tidak menyelesaikan tapi untuk mengurangi dampak keparahan kemiskinannya dengan adanya pendistribusian beras untuk lansia kurang mampu,” pungkas pria yang pernah mengenyam pendidikan di Jepang ini.

4. Pionir inovator yang memberi dampak positif bagi keberlangsungan hidup masyarakat Desa Pemuteran

Kelulusan siswa KREDIBALI di Desa Pemuteran (andikawirateja.com/)

Gede Andika cukup percaya diri dan bangga atas kerja keras yang dilakukan olehnya dan teman-teman komunitas Jejak Literasi di kampung halamannya ini. Bagaimana tidak, dalam waktu kurang dari 2 tahun KREDIBALI sudah memberikan dampak sosial yang positif dan membawa kebermanfaatan bagi anak-anak hingga lansia.

Berbicara tentang inovasi, KREDIBALI telah banyak melahirkan program dan gerakan. Gede Andika menjelaskan bahwa sejauh ini KREDIBALI sudah melahirkan inovasi seperti adanya kombinasi pembelajaran hard skill maupun soft skill untuk anak-anak kurang mampu dan terdampak COVID-19 yang selama ini belum pernah ada di Desa Pemuteran. Namun gak hanya itu, KREDIBALI juga menjalankan semua programnya berdasarkan riset dan berbasis data. 

Kelas bahasa Inggris yang disediakan sendiri saat ini sudah mencakup sebanyak 245 siswa dari desa Pemuteran. Anak-anak yang bisa mengikuti bukanlah berdasarkan siapa yang maun, melainkan siapa yang berhak. Mulai dari penjaringan siswa hingga proses belajar dan kelulusan pun menggunakan metode pengukuran yang jelas dan seperti sekolah formal. 

Gede Andika mengungkapkan, “Anak-anak dalam kelas ini harus punya karakteristik yang sama. Mangkanya kita punya 3 kelas. Di satu kelas ini punya karakteristik yang sama berdasarkan pre-test mereka. Untuk mengetahui kemampuan bahasa Inggris awal mereka, positioning kondisi akademik mereka, tidak peduli perbedaan kelas mereka di sekolah. Pengukuran yang jelas ini ketika mereka lulus kita bisa ukur dengan jelas bahwa adanya peningkatan kemampuan bahasa inggris karena adanya program KREDIBALI."

KREDIBALI sendiri mengadakan kelas bahasa Inggris ini satu kali dalam seminggu, yaitu setiap hari Minggu selama 6 jam. Terdapat 3 jenjang kelas yaitu general, junior dan basic. Selayaknya sekolah formal, KREDIBALI juga mengadakan sistem ujian untuk mengetahui peningkatan kemampuan siswanya.

Terdapat tiga penilaian, yaitu tes tulis, tes speaking dengan cara membuat sebuah proyek dari sampah lalu dipresentasikan menggunakan bahasa Inggris, lalu yang terakhir adalah tes writing. Apabila ada yang tidak lulus maka harus mengulang lagi, jika lulus maka akan mendapatkan sertifikat dan naik ke tingkat selanjutnya. 

Baca Juga: KBA Cengkareng Timur dan Antusias Warga Rawat Lingkungan Bersama

Verified Writer

Ruth Christian

@ruthchristian

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya