4 Fakta Brutal tentang Budaya Ikut-ikutan, Rame-Rame Belum Tentu Benar!

- Kebiasaan massal bukan ukuran etika, etika bukan tentang kuantitas pelaku tapi kualitas keputusan
- Budaya salah bisa menjadi normal jika terus diulang, jangan biarkan kebiasaan salah menjadi warisan tanpa koreksi
- Takut dicap “berbeda” membuat banyak orang diam, perubahan besar dimulai dari satu orang yang cukup berani untuk bersuara
Kita hidup di zaman serba cepat dan serba ramai. Apa yang viral, dianggap benar. Apa yang banyak dilakukan, otomatis terasa sah. Tapi siapa bilang mayoritas selalu punya moralitas?
Kadang, kita terlalu sibuk mengikuti arus sampai lupa bertanya, “Apakah ini benar, atau cuma kebiasaan yang diwariskan?” Artikel ini akan membongkar empat alasan kenapa hal yang umum terjadi, belum tentu benar atau layak ditiru.
1. Kebiasaan massal bukan ukuran etika

Banyak orang membenarkan sesuatu hanya karena semua orang melakukannya. Misalnya, membolos karena "teman-teman juga bolos," atau gibah karena "itu sudah budaya nongkrong." Padahal, mayoritas belum tentu punya kompas moral yang tepat. Hanya karena sesuatu lumrah dilakukan, bukan berarti tidak salah. Etika bukan tentang kuantitas pelaku, tapi kualitas keputusan.
Ketika kamu membiarkan kebiasaan kolektif menentukan sikapmu, kamu menyerahkan nilai-nilaimu pada suara terbanyak. Padahal, banyak tragedi dalam sejarah dimulai dari “ikut-ikutan.” Kamu gak perlu jadi robot sosial yang hidup dari validasi sekitar. Punya prinsip sendiri bukan berarti kamu keras kepala, tapi berarti kamu berani berbeda demi kebaikan yang lebih dalam. Ingat, etika bukan soal ramai-ramai, tapi tentang tanggung jawab personal.
2. Budaya salah bisa menjadi normal jika terus diulang

Yang salah, kalau terus dilakukan, bisa jadi terlihat wajar. Contohnya, budaya kerja lembur tanpa dibayar, atau senioritas yang menyamakan senior dengan atasan absolut. Masyarakat seringkali membungkus hal yang merugikan dalam istilah “tradisi” atau “sudah dari dulu begitu.” Akhirnya, yang muda ikut saja tanpa sempat bertanya: “Masih pantaskah ini dilanjutkan?” Ini yang bikin sistem-sistem toxic tetap langgeng.
Saat kamu mempertanyakan, mungkin kamu akan disebut aneh atau melawan arus. Tapi justru di situlah perubahan bisa dimulai. Jangan biarkan kebiasaan salah menjadi warisan tanpa koreksi. Normal bukan berarti benar. Mulailah jadi suara kritis yang membuka jalan bagi nilai yang lebih adil dan sehat.
3. Takut dicap “berbeda” membuat banyak orang diam

Banyak dari kita tahu sesuatu itu salah, tapi memilih diam agar tidak disingkirkan. Keinginan untuk “masuk kelompok” sering lebih kuat daripada dorongan untuk melakukan yang benar. Maka lahirlah budaya diam, budaya kompromi, dan budaya pura-pura tidak tahu. Orang yang menyuarakan pendapat jadi minoritas yang dianggap menyebalkan.
Tapi perlu diingat, perubahan besar selalu dimulai dari satu orang yang cukup berani untuk bersuara. Jangan tunggu mayoritas mendukung dulu baru kamu bertindak. Kalau kamu tahu sesuatu salah, kamu punya tanggung jawab untuk tidak ikut melanggengkan. Menjadi berbeda memang berat, tapi mengikuti arus yang salah, jauh lebih melelahkan dalam jangka panjang. Lebih baik sendirian dengan integritas, daripada ramai-ramai dalam kemunafikan.
4. Logika populer sering mengabaikan akal sehat

Di media sosial, kita sering terpapar opini yang dikemas keren tapi miskin substansi. Misalnya, “Self love itu artinya kamu boleh memutuskan siapa pun semau kamu”, padahal, itu bisa jadi kedok untuk menghindari tanggung jawab emosional. Opini yang didukung banyak like atau komentar belum tentu logis atau etis. Kita jadi mudah tertipu oleh retorika, bukan isi.
Akal sehat sering kalah oleh popularitas dan narasi yang menggoda. Padahal, hal benar kadang terdengar membosankan atau tidak viral. Kamu harus belajar berpikir kritis, bukan cuma reaktif. Jangan biarkan opini publik menentukan arah hatimu. Jadilah orang yang bisa memfilter informasi, bukan yang mudah terprovokasi hanya karena “semua orang setuju.”
Mayoritas bukan jaminan kebenaran. Kita diajari sejak kecil untuk bersikap sopan, tapi jarang diajari cara menjadi bijak dalam keramaian yang salah arah. Dunia ini penuh dengan kebiasaan yang sudah terlalu lama tidak dipertanyakan. Justru karena itu, kamu perlu jadi pribadi yang berani menguji setiap norma. Jangan takut terlihat berbeda jika perbedaanmu punya dasar yang kuat.
Kamu tidak dilahirkan untuk jadi fotokopi sosial. Bertumbuh artinya menyaring, bukan menelan mentah-mentah semua hal yang dianggap lumrah. Kritis bukan berarti sinis, tapi tanda bahwa kamu tidak gampang dibentuk oleh tekanan luar. Masyarakat bisa ramai dalam hal yang keliru, tapi kamu tetap bisa memilih berdiri tegak dengan nilai yang benar. Ingat, kebenaran sejati gak butuh banyak pengikut, cukup satu hati yang sadar dan berani berpikir jernih.