Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Cara Algoritma Media Sosial Memengaruhi Opini Publik

ilustrasi media sosial memengaruhi opini publik (unsplash.com/Shalom de León)
Intinya sih...
  • Algoritma media sosial menciptakan echo chamber yang memperkuat bias dan membuat pengguna kurang terbuka terhadap perspektif lain.
  • Konten emosional lebih didorong oleh algoritma karena keterlibatan, sehingga opini publik bisa dibentuk bukan oleh fakta, tetapi oleh narasi yang paling menggugah emosi dan paling sering dibagikan.
  • Algoritma media sosial membuat persepsi bahwa suatu pendapat adalah pandangan mayoritas hanya karena sering dilihat, membentuk tekanan sosial untuk ikut menyetujui pandangan tersebut.

Di era digital saat ini, opini publik tidak hanya dibentuk oleh media massa atau percakapan di ruang-ruang diskusi, tapi juga secara masif oleh media sosial. Tanpa disadari, apa yang kalian lihat, sukai, atau bagikan di media sosial adalah hasil dari kerja algoritma yang terus belajar dari perilaku digital kalian. Algoritma media sosial berperan besar dalam menentukan konten apa yang muncul di feed, siapa yang kalian ikuti, bahkan bagaimana kalian memandang suatu isu.

Sementara pada permukaan terlihat seperti ruang terbuka untuk berpendapat, media sosial sebenarnya dikendalikan oleh sistem yang mengutamakan keterlibatan, bukan kebenaran atau keberagaman perspektif. Ini membuat pengguna mudah terjebak dalam gelembung informasi yang memperkuat pandangan sendiri, alih-alih memperluas wawasan. Opini publik pun menjadi semakin terfragmentasi, dipengaruhi bukan oleh data yang objektif, tapi oleh konten yang viral atau sensasional.

Untuk memahami bagaimana opini publik bisa dibentuk, dimanipulasi, atau bahkan dipolarisasi oleh media sosial, penting untuk melihat lebih dekat bagaimana algoritma bekerja. Berikut ini lima cara algoritma media sosial memengaruhi opini publik, dan mengapa hal ini harus menjadi perhatian serius dalam kehidupan digital kita sehari-hari.

1. Algoritma memperkuat bias lewat echo chamber

ilustrasi media sosial memengaruhi opini publik (unsplash.com/Mo Rashidi)

Salah satu efek paling nyata dari algoritma media sosial adalah terciptanya echo chamber, di mana pengguna hanya terpapar pada informasi atau opini yang serupa dengan pandangan mereka sendiri. Ini bukan kebetulan, melainkan hasil dari algoritma yang menyaring konten berdasarkan apa yang kalian sukai, klik, atau komentari sebelumnya.

Ketika terus-menerus melihat konten yang mendukung pandangan kalian, tanpa disadari, kalian mulai percaya bahwa sudut pandang itu adalah satu-satunya kebenaran. Ini membuat kalian kurang terbuka terhadap perspektif lain dan lebih mudah menolak informasi yang berbeda, bahkan jika informasi tersebut faktual. Echo chamber memperkuat keyakinan dan pada akhirnya membentuk opini publik yang kurang inklusif.

2. Algoritma lebih memilih konten yang memicu emosi

ilustrasi media sosial memengaruhi opini publik (unsplash.com/VENUS MAJOR)

Dalam dunia algoritma, keterlibatan adalah segalanya. Konten yang memicu emosi, baik marah, sedih, takut, maupun terhibur, cenderung mendapatkan lebih banyak like, komentar, dan share. Algoritma akan mengutamakan konten seperti ini karena dianggap lebih “menjual” dan memperpanjang waktu interaksi pengguna di platform.

Sayangnya, konten emosional sering kali tidak objektif atau bahkan menyesatkan. Berita yang menimbulkan kemarahan atau teori konspirasi yang membuat penasaran bisa menyebar jauh lebih cepat dibandingkan informasi yang bersifat netral atau mendidik. Opini publik pun bisa dibentuk bukan oleh fakta, tetapi oleh narasi yang paling menggugah emosi dan paling sering dibagikan.

3. Algoritma membentuk persepsi mayoritas

ilustrasi media sosial memengaruhi opini publik (unsplash.com/Armin Narimani)

Ketika sebuah konten muncul berkali-kali di beranda kalian, otak mulai menganggapnya sebagai sesuatu yang umum atau populer. Ini dikenal sebagai efek ilusi frekuensi, di mana kita percaya suatu pendapat adalah pandangan mayoritas hanya karena sering kita lihat. Padahal, bisa jadi itu adalah hasil dari algoritma yang menyajikan ulang konten serupa berdasarkan preferensi kita sebelumnya.

Persepsi bahwa “semua orang” berpikir sama bisa membentuk tekanan sosial untuk ikut menyetujui pandangan tersebut, bahkan jika kita awalnya tidak sependapat. Akibatnya, opini publik terbentuk bukan oleh diskusi terbuka, melainkan oleh persepsi ilusi yang diciptakan algoritma melalui pola tayangan berulang. Ini membuat kita lebih rentan terhadap konformitas digital.

4. Algoritma membuat polarisasi semakin tajam

ilustrasi media sosial memengaruhi opini publik (unsplash.com/Shalom de León)

Karena algoritma cenderung mengarahkan pengguna pada konten yang mereka sukai, kelompok dengan pandangan berbeda jarang bertemu dalam diskusi yang sehat. Hal ini memperparah polarisasi karena setiap kelompok merasa mereka berada di sisi yang benar, sementara kelompok lain tampak “asing” atau bahkan “berbahaya.”

Polarisasi ini diperkuat oleh konten yang sengaja dirancang untuk menyerang lawan pendapat, yang sering kali dipromosikan oleh algoritma karena menarik interaksi tinggi. Bukan hanya perbedaan opini yang makin lebar, tapi juga meningkatnya ketidakpercayaan terhadap mereka yang berbeda pandangan. Opini publik pun tidak lagi didasarkan pada dialog, melainkan pada pertentangan yang dikobarkan terus-menerus.

5. Algoritma mengaburkan batas antara fakta dan opini

ilustrasi media sosial memengaruhi opini publik (unsplash.com/Borna Hržina)

Di media sosial, algoritma tidak bisa membedakan mana konten yang berbasis fakta dan mana yang hanya opini atau bahkan hoaks. Selama konten tersebut mampu memicu interaksi, maka ia akan diprioritaskan. Ini membuat informasi yang salah atau menyesatkan bisa menyebar luas dan dengan cepat membentuk opini publik yang keliru.

Ketika informasi palsu sudah tertanam dalam pikiran banyak orang, membetulkannya jauh lebih sulit. Ini karena orang cenderung percaya pada informasi pertama yang mereka terima, apalagi jika itu sesuai dengan bias mereka. Dalam konteks ini, algoritma menjadi semacam “kurator realitas” yang menentukan informasi mana yang dilihat, dan pada akhirnya membentuk pemahaman publik terhadap suatu isu.

Algoritma media sosial dirancang untuk membuat pengalaman kalian lebih personal, tapi personalisasi ini datang dengan konsekuensi yang tidak kecil. Dari memperkuat bias hingga membentuk persepsi palsu tentang realitas, algoritma memiliki kekuatan besar dalam memengaruhi opini publik secara masif dan halus. Jika kita tidak menyadari cara kerja ini, maka kita akan terus menjadi target dari sistem yang tidak memprioritaskan kebenaran.

Untuk menghindari terjebak dalam gelembung informasi dan polarisasi digital, penting bagi kita untuk aktif memilih sumber informasi yang beragam, bersikap kritis terhadap konten yang kita lihat, dan membangun kebiasaan digital yang sehat. Mengerti bagaimana algoritma bekerja bukan berarti kita harus meninggalkan media sosial, tapi memanfaatkannya dengan lebih sadar dan bertanggung jawab.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us