Di sudut gelap dunia maya, sebuah grup Facebook bernama "Fantasi Sedarah" mengguncang nurani kita. Dengan sekitar 41.000 anggota, grup ini menjadi cermin buram dari sisi manusia yang kelam; fantasi inses, bahkan melibatkan anak-anak, diperbincangkan layaknya obrolan politik di warung kopi. Tangkapan layar yang berisi pengakuan seorang ayah yang punya fantasi pada anak kandungnya sendiri menyebar di X; sontak warganet dari seluruh penjuru negeri marah dan geram dengan postingan sang ayah yang sepertinya akalnya telah padam. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) buru-buru memblokir grup serupa, sementara Polda Metro Jaya mulai menyelami kasus ini.
Tapi, di balik hiruk-pikuk ini, ada pertanyaan yang lebih dalam: apa yang membuat seseorang sampai hanyut dalam pikiran begitu gelap? Yang lebih penting, bagaimana kita, sebagai bagian dari masyarakat yang terkoneksi ke internet bisa menjaga diri dari jurang yang sama? Ini bukan sekadar skandal media sosial. Ini adalah panggilan untuk kita semua, yang setiap hari bergelut dengan layar ponsel, untuk melihat ke dalam diri dan lingkungan kita. Lingkungan di mana keluarga adalah pilar budaya, gagasan tentang "fantasi sedarah" bukan cuma menjijikkan, hal tersebut menghantam nilai-nilai yang kita junjung. Berikut empat langkah nyata untuk melindungi pikiran kita dari godaan yang merusak, sembari tetap bertahan di era digital yang penuh jebakan.