Diplomasi vs Revolusi, Dino Patti Djalal dan Wanda Hamidah Bicara Gaza

- Dino Patti Djalal: Diplomasi dan hukum internasional penting dalam menegakkan keadilan bagi Palestina.
- Wanda Hamidah: Peace talk yang diinisiasi Amerika disebut sebagai kolonialisme baru, menyerukan revolusi moral untuk menghentikan ketidakadilan.
- Dua jalan, satu tujuan: Perdamaian. Dino melalui diplomasi, Wanda melalui revolusi moral, tetapi keduanya berbagi keyakinan bahwa dunia tidak boleh diam.
Di tengah situasi di Gaza, suara untuk kemanusiaan datang dari berbagai arah termasuk dari Indonesia. Dalam acara Ngobrol Seru IDN Times bertajuk “Gaza: Peace, Justice, and A Future” yang digelar Kamis (16/10), tiga figur publik hadir membagikan pandangannya: Dino Patti Djalal, Wanda Hamidah, dan Uni Lubis, Editor in Chief IDN Times yang sekaligus bertindak sebagai moderator diskusi. Suasana sore itu bukan sekadar forum intelektual, tapi ruang untuk berbagi kegelisahan dan seruan nyata bagi kemanusiaan. Dua tokoh utama, Dino dan Wanda, tampil dengan cara pandang yang berbeda namun berpijak pada satu hal yang sama: keadilan bagi Palestina.
1. Dino Patti Djalal: “Perdamaian tidak boleh menghapus dosa kemanusiaan.”

Sebagai mantan Wakil Menteri Luar Negeri RI sekaligus pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal memandang isu Gaza lewat perspektif diplomasi dan hukum internasional. Ia mempertanyakan, apakah genosida bisa dihapus hanya dengan kesepakatan damai?
“Apakah dengan damai, lalu genosida yang sudah dilakukan bisa dimaafkan? Tentu tidak,” tegasnya.
Bagi Dino, kredibilitas hukum kemanusiaan internasional kini tengah diuji. Dunia tidak boleh diam ketika kejahatan semacam itu dibiarkan tanpa konsekuensi.
“Netanyahu harus dimintai pertanggungjawaban. Dan kita harus terus memantau apakah dunia benar-benar menegakkan keadilan ini,” tambahnya.
Ia juga menyoroti pentingnya dukungan nyata terhadap masyarakat Palestina, bukan hanya dalam bentuk wacana politik, tetapi lewat langkah konkret seperti pendidikan dan rekonstruksi. Menurutnya, Indonesia telah lama memberikan beasiswa bagi warga Palestina agar mereka bisa mempersiapkan diri membangun negaranya kelak.
2. Wanda Hamidah: “Peace talk yang diinisiasi Amerika adalah kolonialisme baru.”

Sementara itu, Wanda Hamidah — aktivis, politisi, sekaligus advokat hak asasi manusia, berbicara dengan energi yang meledak dan emosi yang sulit disembunyikan. Dalam forum itu, ia mengaku skeptis terhadap konsep peace talk yang selama ini dikendalikan oleh Amerika Serikat.
“Kita nggak bisa lagi dalam permainan yang Amerika pegang semua kendali. Peace talk yang diinisiasi Amerika itu justru perpanjangan kolonialisme,” ujar Wanda dengan nada tegas.
Ia menyebut bahwa kekuatan Zionis Israel tidak akan ada tanpa dukungan penuh Amerika Serikat.
“Mereka bukan orang Palestina, mereka imigran yang datang dari Jerman, Ukraina, Kanada, Amerika dan mereka menjajah tanah yang bukan milik mereka,” ujarnya lantang.
Bagi Wanda, perjuangan tidak bisa berhenti pada meja diplomasi. Dunia perlu revolusi moral untuk berani menyebut ketidakadilan sebagai penjajahan dalam bentuk baru. Ia menutup dengan kalimat yang menjadi highlight sore itu:
“Do something, pressure our government. Kalau kamu pikir genocide is wrong, try to do something to stop it.”
Kalimat yang sederhana tapi bergetar di dada. Seruan itu tidak hanya untuk pemerintah, tapi untuk siapa pun yang percaya bahwa kemanusiaan tidak boleh dinegosiasikan.
3. Dua jalan, satu tujuan: Perdaiaman

Perbedaan cara pandang keduanya justru menghadirkan refleksi yang penting. Dino berbicara dari jalur diplomasi — bahwa keadilan harus ditegakkan lewat mekanisme hukum dan hubungan internasional.
Sementara Wanda menuntut keberanian moral, bahwa dunia tidak boleh tunduk pada aturan main negara besar yang menciptakan ketimpangan.
Dino dan Wanda berbagi keyakinan yang sama: dunia tidak boleh diam. Keduanya berbicara dari ruang yang sama, ruang nurani, tempat keadilan dan kemanusiaan berdiri berdampingan. Karena pada akhirnya, kemanusiaan tidak punya satu bentuk perjuangan tunggal. Ia bisa hadir lewat diplomasi yang membangun, atau lewat suara lantang yang mengguncang. Yang terpenting adalah satu hal: kita tidak boleh berhenti bersuara.