KAKG, Oasis Segar di Tengah Kalutnya Korban Kekerasan Seksual

Perjuangan penyintas hingga menjadi penggagas

“Baju kamu sih terlalu terbuka”

“Makanya jangan genit!”

Sentimen-sentimen sinis serupa masih sering terlontar saat ada yang mengalami tindak kekerasan seksual. Terlebih jika korbannya adalah perempuan. Tak mendapati simpati, justru menjadi pihak yang tersudutkan. Bagaimana hal ini akhirnya tidak membuat mereka enggan untuk melaporkan dan mencari bantuan?

Budaya patriarki yang masih berkembang di masyarakat kita cenderung menggiring opini bahwa kekerasan seksual adalah kesalahan korbannya. Seolah-olah itu terjadi karena “kelalaian” mereka sendiri yang tak bisa menjaga diri, mudah tergoda, mau sama mau, hingga berbagai dalih lainnya.

1. Menarik ke belakang kehidupan selama pandemik COVID-19 

KAKG, Oasis Segar di Tengah Kalutnya Korban Kekerasan Seksualilustrasi KDRT (pexels.com/Karolina Grabowska)

Kamu mungkin masih ingat, bagaimana 2 tahun terakhir ini banyak kasus kekerasan seksual bermunculan di media massa, pun media sosial. Kalau diibaratkan, mungkin seperti pertumbuhan jamur di musim penghujan.

Satu per satu kasus naik ke permukaan. Mirisnya, kasus-kasus tersebut muncul sebagai upaya korban untuk mencari keadilan. Mereka lebih “nyaman” bercerita di media sosial, ketimbang membuat laporan ke kepolisian. Ya, viralitas adalah cara yang dinilai lebih konkret untuk menemukan titik terang kasus kekerasan seksual.

Selama pandemik COVID-19, orang dipaksa di rumah, bekerja dari rumah, bersekolah dari rumah. Secara mengejutkan, fenomena ini juga dibarengi dengan meningkatnya tindakan kekerasan seksual, terutama di ranah domestik, seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan berbasis gender online (KBGO). Sering kali, perempuan yang rentan menjadi sasarannya.

Berdasarkan data Komnas Perempuan yang disediakan dalam Catatan Tahunan (CATAHU) tahun 2021, dilaporkan ada sekitar 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2020. Jumlah ini terdiri dari kekerasan terhadap istri, kekerasan terhadap anak perempuan, kekerasan dalam pacaran, dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Tak hanya itu, kasus KBGO juga dilaporkan meningkat tajam, yakni hampir 400 persen di tahun tersebut.

Sayangnya, tingginya kasus kekerasan seksual yang terjadi, seperti tak diimbangi dengan proses penyelesaian yang sigap dan “terniati”. Justru malah dibumbui dengan intimidasi-intimidasi. Kasus tak dibereskan, luka baru pun didapatkan.

Hal inilah yang kemudian mendorong gerakan “spill the tea” atau viralitas di media sosial ketika ada kasus kekerasan seksual. Fenomena ini semakin lama semakin membudaya yang dianggap paling ampuh untuk memberikan sanksi instan kepada pelaku tindak kekerasan seksual.

2. Lahirnya KAKG, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender

KAKG, Oasis Segar di Tengah Kalutnya Korban Kekerasan Seksualilustrasi kegiatan KAKG (youtube.com/SATU Indonesia)

Kekalutan, keresahan, dan ketakutan juga dirasakan oleh Justitia Avila Veda, kala ia mengalami kejadian serupa. Ya, semasa sekolah, ia juga pernah mendapatkan perlakuan kekerasan seksual oleh atasannya. Ia yang berprofesi sebagai advokat dengan background hukum pun, masih merasa tertatih-tatih untuk mencari keadilan buat diri sendiri.

Tak banyak yang bisa dilakukan. Bahkan, orang-orang di sekitar yang seharusnya menjadi support system pun terkadang tak sepenuhnya bisa diandalkan.

Belum lagi, ribetnya penanganan hukum di negara kita, beserta intimidasi-intimidasi yang kerap datang memojokkan korban dari segala arah. Semua ini hanya menyisakan trauma yang semakin mendalam, ungkap perempuan yang pernah aktif di berbagai lembaga serupa, seperti KontraS (Komisi untuk orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) di beberapa kesempatan wawancara daring.

Maraknya pengungkapan kasus kekerasan seksual di media sosial, membuat Veda, begitu ia akrab disapa, akhirnya turut turun tangan. Menurutnya, memviralkan kisah kekerasan seksual di media sosial itu seperti dua mata pisau. Di satu sisi menguntungkan, di sisi lain bisa sangat merugikan, yang justru dapat menimbulkan tindak pidana baru.

Ia pun akhirnya “iseng” mengirimkan sebuah postingan yang berisi tentang tawaran bantuan konsultasi hukum gratis bagi siapa saja yang mengalami tindak kekerasan atau pelecehan seksual.

Sederhana, setidaknya ia bisa menjadi teman atau support system bagi penyintas untuk memahami kondisinya. Dengan beberapa privilese yang dimiliki, ia pun berharap dapat memberikan expert advice tentang apa yang terjadi.

Tak disangka, postingan tersebut mendapat respon positif yang luar biasa dari warganet. Dalam 24 jam pertama, ia menerima banyak sekali aduan kasus kekerasan seksual, yang membuatnya sampai tidak tidur.

Tak hanya di-reach-out oleh korban, postingannya juga ramai ditanggapi oleh sesama advokat yang ingin bersama-sama membantu mengurai benang kusut kasus kekerasan seksual yang marak terjadi. Antusiasme yang begitu besar, akhirnya mendorong Veda beserta kawan-kawannya untuk membentuk KAKG, yang merupakan singkatan dari Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, pada Juni 2020.

Baca Juga: Indonesia Ramah Autis, Mimpi Alvinia Christiany dan Teman Autis

3. Langkah konkret KAKG membantu korban kasus kekerasan seksual 

KAKG, Oasis Segar di Tengah Kalutnya Korban Kekerasan Seksualilustrasi pendampingan KAKG (youtube.com/SATU Indonesia)

Main core KAKG adalah advokasi hukum. Namun, jika ada kasus yang masuk minta pendampingan psikologis, akan dibantu refer ke mitra psikolog. Tapi, jadinya tidak ada monitoring progresnya. Akan tetapi, proses koordinasi ini juga dapat muncul ketika korban membutuhkan pendampingan hukum dan psikolog secara bersamaan,” jelas pemenang penghargaan SATU Indonesia Award 2022 di bidang kesehatan tersebut.

Menurut hasil survei Indonesia Judicial Research Society, ada beberapa alasan mengapa korban kekerasan seksual enggan melaporkan kejadian yang dialaminya. Di antaranya adalah karena takut (33,5 persen), malu (29 persen), tidak tahu melapor ke mana (23,5 persen), dan merasa bersalah (18,5 persen).

Memahami sensitivitas tersebut, KAKG yang mulanya dibentuk untuk layanan konsultasi hukum gratis, akhirnya dikembangkan menjadi lebih serius. Veda beserta anggota lainnya, menjadikan KAKG sebagai layanan pro bono, yaitu layanan pengabdian masyarakat dari profesi advokat.

dm-player

Melalui layanan ini, korban kekerasan seksual dapat mengakses bantuan hukum maupun nonhukum, seperti layanan psikologis atau medis sesuai yang dibutuhkannya. Namun, fokus utama KAKG adalah menyediakan bantuan hukum, mulai dari konsultasi, pendampingan, hingga penyelesaian perkara di persidangan. Akan tetapi, jika diperlukan bantuan nonhukum, KAKG juga siap membantu meneruskan ke mitra terkait.

Yang menjadi sangat menarik dari keberadaan KAKG adalah program ini sangat berorientasi pada korban, terutama pada pemulihan psikologisnya. Mendengarkan kebutuhan dan keinginan korban menjadi concern utamanya, yang mana ini juga sejalan dengan slogan yang diusungnya “Sahabat Korban Kekerasan Seksual”.

You are not gonna be alone. You gonna be with me, with all of us. Kami ada di sini semua. Kami akan temenin sampai selesai saat kamu siap”, sebuah pesan hangat yang disampaikan oleh pendiri KAKG di tengah wawancara kami beberapa waktu lalu.

Selain itu, ia juga menjelaskan, siapa saja dapat mengakses layanan konsultasi dan pendampingan dari KAKG. Akan tetapi dalam layanan pro bono, program ini diprioritaskan untuk memberikan manfaat kepada kelompok rentan tertentu, seperti:

  • korban anak;
  • disabilitas;
  • ekonomi menengah ke bawah;
  • korban dengan kerentanan khusus, misalnya minoritas seksual; dan
  • korban konflik.

Saat dihubungi melalui wawancara virtual pada Sabtu (3/12/2022), perempuan yang kini merupakan Founder dan Director KAKG ini, mengatakan, sejauh ini sudah ada sekitar 150 aduan kasus yang masuk dan ditangani oleh KAKG. Beberapa di antaranya sudah berhasil dimenangkan di tingkat peradilan, dan beberapa lainnya diselesaikan secara nonhukum.

Tak berhenti di sini. Seolah tak ingin setengah-setengah memperjuangkan isu kekerasan seksual, KAKG juga sedang berupaya untuk terus aktif menyuarakan kebijakan-kebijakan antikekerasan seksual di berbagai organisasi yang lebih terstruktur, seperti perusahaan atau instansi.

“Sekali dua kali mencoba memengaruhi kebijakan-kebijakan di perusahaan atau lembaga berkaitan dengan SOP kalau ada kekerasan seksual. Lagi didorong supaya tidak hanya menunggu kebakaran terus untuk dipadamkan, tetapi ada pencegahan dari awal, ungkapnya ketika menjelaskan harapan-harapan KAKG ke depannya.

Bak peribahasa, sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Justitia tak hanya membuka layanan bantuan, tetapi juga mendorong lahirnya produk-produk antikekerasan seksual dari berbagai lembaga. Harapannya agar kasus ini bisa dicegah semaksimal mungkin, tanpa menunggu merebak terlebih dahulu. Bahkan, kalau bisa tidak akan ada lagi kasus serupa di masa depan.

4. Berbagai tekanan dan tantangan mewarnai perjuangan KAKG mencari keadilan gender  

KAKG, Oasis Segar di Tengah Kalutnya Korban Kekerasan SeksualJustitia Avila Veda (youtube.com/SATU Indonesia)

Bukan perjuangan namanya jika tak ada batu sandungan. Perlawanan, ancaman, dan tekanan dari berbagai pihak, juga sering kali mewarnai perjuangan KAKG mengawal hak-hak korban. Bahkan ini sudah seperti makanan sehari-hari yang harus dinikmati.

Ia menuturkan, sering sekali mendapatkan tekanan dari pelaku atau pun pihak kepolisian untuk tidak melanjutkan perkara. Bahkan sempat, ia dan timnya dilaporkan ke dewan kode etik advokat, serta diancam balik dengan UU ITE pencemaran nama baik.

Adanya diskriminasi dan komentar-komentar judgemental terhadap korban dari berbagai pihak, termasuk institusi penegak hukum, sering kali juga tak bisa diabaikan. Bahkan, paparan seperti ini juga kerap menimbulkan secondary trauma bagi pendamping. 

“Kerjaan ini capek banget. Capek banget. Capek fisik, capek mental. Banget! Karena kalau ngomongin fisik, misal kita melakukan dampingan di polisi. Itu bisa dari jam 08.00—03.00 pagi. Sementara kita juga punya fulltime job, punya keluarga. (Dalam segi) mental, ngadepin polisi selama belasan jam juga melelahkan, juga bikin frustrasi. Frustrasi ketika aparat penegak hukum tidak punya sensitivitas.

Misalnya mereka justru bikin komentar-komentar negatif (terhadap korban), kayak, 'Kamu sendiri aja mabuk, ya pantesan kamu digituin'," ungkap Justitia Alvia Veda menjelaskan bagaimana kendala dan tantangan yang dihadapi KAKG.

5. Perjuangan dari hati sampai ke hati

KAKG, Oasis Segar di Tengah Kalutnya Korban Kekerasan Seksualilustrasi kegiatan KAKG (youtube.com/SATU Indonesia)

Genggam bara api sampai menjadi arang.

Peribahasa di atas kiranya cocok untuk menggambarkan pengabdian KAKG hingga detik ini. Hambatan dan tantangan yang dihadapi KAKG tak ubahnya justru membuat mereka semakin solid dan terasa seperti keluarga. Berkat ketulusan dan totalitasnya, juga menumbuhkan sense of belonging satu sama lain.

“Dan ini yang bikin saya sangat, sangat bersyukur karena semua orang dalam KAKG tulus. Dan tulusnya juga total, bekerja keras full," tambahnya saat menceritakan dedikasi KAKG.

Di sela-sela wawancara, ia juga menceritakan pengalaman yang membuatnya terkesan ketika menghadiri penghargaan SATU Indonesia Award Astra Indonesia.

"Jadi waktu itu, setelah wawancara dengan jurnalis, ada dua cewek bolak-balik berusaha deketin, ngenalin diri, dan meluk. Terus nangis dan bilang 'Kak, terima kasih udah ngelakuin semua ini’," tuturnya dengan penuh haru.

Baginya, tak perlu penghargaan megah, tetapi yang penting program ini bisa memberi manfaat buat masyarakat, itu lebih dari cukup. Ia juga melangitkan harap semoga KAKG ini bisa semakin berkembang dan terjangkau oleh banyak orang di seluruh Indonesia.  Bahkan, bisa diakses sedekat WhatsApp.

Pesan terakhir yang disampaikan oleh perempuan lulusan Universitas Indonesia ini adalah ketika kamu mengetahui ada kekerasan seksual, jangan pernah menjadi by stander, yaitu memilih diam dan tak melakukan apa-apa. Sebab, kamu mungkin bisa menyelamatkan nyawa dari tidak menjadi by stander.  Ia pun mengimbau, jika kamu mengalami atau mengetahui korban kekerasan seksual yang membutuhkan bantuan, adukan kasus tersebut melalui:

  • bit.ly/AduanKAKG
  • Hotline WhatsApp: 62 882-998-9248
  • Email: konsultasi@advokatgender.org.

Dari penyintas menjadi penggagas, Justitia Avila Veda mungkin bukan satu-satunya sosok muda yang menginspirasi melalui gagasan briliannya. Namun kegigihan dan keberaniannya mengambil langkah, seolah menjadi oasis segar di tengah gersangnya gurun yang menumbuhkan harapan-harapan baru yang kian memupus. Terus menebar inspirasi menuju bangkit bersama untuk Indonesia.

Baca Juga: Semangat Garamin Ubah Mindset tentang Penyandang Difabel

Dwi wahyu intani Photo Verified Writer Dwi wahyu intani

@intanio99

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Izza Namira

Berita Terkini Lainnya