Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ternyata JOMO Tidak untuk Semua Orang, Jangan Paksa Diri karena FOMO! 

Ilustrasi Joy of Missing Out (Pexels/LisaFotios)
Ilustrasi Joy of Missing Out (Pexels/LisaFotios)

Sebagian dari kita pasti sudah tidak asing lagi dengan dua singkatan FOMO dan JOMO. Fear of Missing Out merupakan kepanjangan dari istilah FOMO yang berarti ketakutan yang dirasakan seseorang jika tertinggal suatu event atau trend. Sedangkan JOMO adalah kebalikan FOMO yang memiliki kepanjangan Joy of Missing Out atau perasaan bahagia yang dinikmati seseorang meskipun dia ketinggalan segala trend sosial media atau event terbaru.

Di tengah gempuran media sosial seperti sekarang, sangat susah bagi kita untuk melepas smartphone dari genggaman kita. Tidak hanya saat bangun tidur, bahkan jika ada waktu luang sedikit saja kita langsung gunakan untuk mengakses sosial media dan melihat berita serta trend terbaru apa yang sedang terjadi. Tentu saja bagi penganut FOMO yang secara terusmenerus mengakses internet kebiasaan ini pasti membuat lelah secara fisik juga psikologis. Oleh karena itu, banyak orang yang akhirnya memilih untuk berubah menjadi JOMO. Tetapi ternyata menurut penelitian terbaru oleh Washington State University, JOMO tidak selamanya memiliki dampak positif, lho!

1. FOMO bagai kecanduan hidup dalam simulasi

Ilustrasi hidup di dunia matrix (youtube.com/warnerbrospictures)
Ilustrasi hidup di dunia matrix (youtube.com/warnerbrospictures)

“Selamat datang di dunia Hyperreality, The Matrix has you!”

Kamu pernah nonton film The Matrix? Film yang mengusung konsep dari buku filsafat karya Jean Baudrillard berjudul Simulacra and Simulation ini sangat menggambarkan keadaan FOMO saat ini. Dalam bukunya, beliau menyinggung tentang konsep Hyperreality di mana dunia simulasi lebih terlihat nyata dibanding kehidupan nyata itu sendiri.

Sama halnya dengan kondisi saat ini di mana kita secara tidak langsung dikontrol oleh iklan dan didorong mengikuti unggahan gaya hidup selebgram yang mewah. Selain itu, demi validasi dan like di sosial media kaum FOMO akan melakukan apa pun dari mulai mengikuti trend, hingga mengedit atau menggunakan filter untuk menunjang penampilan. Tentu saja konten yang mereka unggah merupakan simulacra dari realitas aslinya karena telah melewati berbagai proses editing yang makin menghilangkan nilai aslinya.

2. JOMO cara damai terlepas dari "Matrix"

Ilustrasi kecanduan smartphone (pexels/RomanOdintsov)
Ilustrasi kecanduan smartphone (pexels/RomanOdintsov)

Mengikuti trend memang tidak ada habisnya. Belum lagi jika kita terjebak dalam Hyperreality di mana citra diri kita di media sosial lebih penting dari kehidupan nyata. Maka tekanan untuk selalu up to date dan tampil sempurna akan makin membebani kesehatan fisik dan mental kita. Sebuah studi mengungkapkan, selain terikat dengan Narcissism, FOMO juga menyebabkan depresi, perasaan kesepian, dan kesulitan tidur hingga gangguan makan.

Demi kesehatan mental, mengubah kebiasaan FOMO menjadi JOMO adalah pilihan terbaik. Sesederhana mengurangi screen time di media sosial, menikmati me time, atau menghabiskan waktu berkualitas bersama orang terdekat, hingga belajar mempraktikkan mindfulness. Dengan begitu, kita kan terlepas dari dunia maya dan segala kepalsuannya serta lebih terlibat ke dalam hal-hal yang nyata.

3. Peneliti temukan keterkaitan JOMO dengan Social Anxiety

Ilustrasi kesepian sambi memegang Smartphone(Pexels/mikoto)
Ilustrasi kesepian sambi memegang Smartphone(Pexels/mikoto)

Sayangnya menjadi JOMO juga tidak selalu indah seperti di film The Matrix di mana dunia nyata tidak seindah dunia simulasi. Karena pada kenyataannya dari hasil sebuah penelitian di Washington State Univesity, sebagian orang memang memilih JOMO agar terhindar dari anxiety yang disebabkan FOMO. Tetapi sebagian besar lagi justru menggunakan JOMO sebagai pelarian dari social anxiety yang dimilikinya. Bahkan tidak sedikit dari peserta penelitian tersebut yang menerapkan gaya hidup JOMO masih kerap merasa kesepian.

Jadi, sebelum memutuskan untuk menjadi JOMO atau FOMO ada baiknya kamu mendengarkan kata hatimu dahulu. Apakah kamu cenderung menjadi JOMO karena merasa depresi dan sedih akibat social anxiety? Atau kamu memang tipe orang introvert yang gampang burnout dan perlu recharge energi dalam kesendirian? Tidak ada salahnya menjadi JOMO jika memang kamu membutuhkan waktu menyendiri untuk menikmati ketenangan dan terlepas dari dunia maya. Tetapi jika JOMO hanya menjadi coping mechanism dari masalah kesehatan mental seperti depresi, tampaknya JOMO bukan jawaban yang tepat untuk mengurangi depresimu.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Pinka Wima Wima
EditorPinka Wima Wima
Follow Us