Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kalau Bahasa Inggris Pak Jokowi Memalukan, Pantaskah Kita Memberi Ejekan?

Sumber Gambar: dw.com
Sumber Gambar: dw.com

Dalam event yang berlangsung Brookings Institution Amerika, netizen Indonesia merasa 'dipermalukan' dengan tindakan presidennya. Jokowi dianggap tidak cukup kredibel berbahasa Inggris. Lebih jauh lagi, secara umum para netizen tersebut menilai bahwa Pak Jokowi sukses mencabik-cabik harga diri Indonesia di mata dunia karena ketidakpawaiaanya berbicara dalam bahasa asing. Padahal event tersebut adalah acara bergengsi di mana seharusnya Pak Jokowi bisa berbahasa Inggris dengan cukup baik mengingat dia adalah wakil kita.

Menertawakan dan menghujat kekurangan orang jelas bukan budaya yang ada di negara kita. Tapi sayangnya, kini kita bisa dengan mudah menemukan hinaan di mana dan kapan saja.

Default Image IDN
Default Image IDN

Berita tentang dialog Pak Jokowi yang pada akhirnya mengundang celaan dari para netizen tersebut dapat membuatmu teringat ke memori beberapa tahun lalu, tepatnya waktu duduk di bangku sekolah. Sewaktu itu kamu sekolah, lelucon macam ini juga terhitung kerap terjadi tatkala sedang belajar di kelas dan ada yang berbuat kesalahan. Waktu itu jika ada guru yang meminta seorang muridnya baju ke depan untuk mengerjakan soal dan salah, sontak anak tersebut akan jadi bahan ejekan.

Menertawakan kesalahan juga terjadi saat mata pelajaran bahasa Inggris tiba. Jika ada anak yang gagal menyebutkan jawaban benar misalnya, maka sudah pasti satu kelas akan tertawa. Tidak hanya salah menjawab, bila ada yang mengucapkan kalimat bahasa Inggris dengan aksen yang tak sesuai pun, sudah pasti murid lainnya akan menjadikannya objek tertawaan. Walau hal ini bukanlah sesuatu yang melanggar hukum atau norma sosial, tapi jika diperhatikan, kejadian tersebut seringkali meruntuhkan rasa percaya diri seseorang.

Kebiasaan menghina dan menertawakan tersebutlah yang mungkin terbawa hingga kini. Kita terbiasa dengan pola menertawakan dan mengejek orang lain yang berbuat kesalahan. Habit mengejek kesalahan orang lain juga seolah makin di dukung dengan tersedianya kolom komentar di platform media sosial yang membuat pengguna merasa bebas merdeka berkomentar. Kita bisa dengan mudah menemukan kritikan tajam, kasar, dan sayangnya tidak membangun saat melihat orang lain melakukan kesalahan. Sedihnya komentar-komentar seperti ini dapat kita temukan di mana, kapan, dan untuk siapa saja.

Celaan dan ejekan yang terlontar mungkin terdengar sederhana. Tapi, pernahkah kita berpikir bahwa ada perasaan rendah diri yang timbul di dalam sana?

Default Image IDN
Default Image IDN

Menertawakan orang yang berbuat salah dalam proses belajar seolah jadi barang lumrah yang kerap saya temui. Walau hal tersebut tidak pernah menimbulkan masalah besar, tapi jika diperhatikan ada sesuatu yang pelan-pelan rusak. Hal rusak yang saya maksud adalah hilangnya kepercayaan diri. Kalimat-kalimat seperti:

"Ah jangan aku deh. Ntar salah lagi."

"Yang lain saja. Aku gak bisa bahasa Inggris."

Terdengar akrab di telinga. Tak jarang anak yang menerima ejekan saat melakukan kesalahan dalam kegiatan belajar menjadi ogah mencoba lagi. Mereka lebih lebih suka diam atau meminta sang guru memilih murid lain untuk menjawab, karena terlalu takut dihina jika salah lagi. Alhasil, anak tersebut tidak pernah berhasil memahami kesalahan dan sudah tentu makin tidak paham. Dalam poin ini, saya melihat bahwa menghina orang lain karena kekeliruannya, memberikan dampak negatif yakni hilangnya rasa percaya diri secara mendalam.

Padahal jika ditelaah, sejatinya proses belajar bertujuan untuk membuat kita paham apa yang sebelumnya tidak dimengerti. Dalam kegiatan tersebut, berbuat kesalahan atau kekeliruan sudah pasti terjadi. Dulu waktu kita belajar berjalan, entah berapa kali kita terjatuh. Tapi apakah orangtua menertawakan kita? Tentu tidak. Mereka akan senantiasa menyemangati anaknya agar kita bersemangat lagi dan mau terus belajar.

http://cdn.idntimes.com/content-images/post/20151105/jokowiprisil3.JPG

Bila kita mengaitkan dengan masalah guyonan para netizen yang menertawakan kekeliruan Pak Jokowi, bisa jadi ini adalah akar ketidakmampuannya berbahasa Inggris. Bukan tidak mungkin beliau adalah salah satu anak yang merasa tidak percaya diri karena dulu kerap melakukan kesalahan dan ditertawakan. Pada akhirnya ia pun enggan belajar dan akibatnya sampai sekarang kemampuan bahasa Inggrisnya berada di level pas-pasan.

Hinaan dan ejekan serupa juga pernah terjadi saat beliau menjadi pembicara di Konferensi Apec tahun 2014 lalu di mana banyak netizen mengomentari kemampuannya berbahasa asing yang dinilai "payah". Apabila kita memperhatikan kolom komentar, ada banyak sekali hinaan dan ejekan disitu. Meski tidak mengatakan kritik tajam tersebut langsung di depan Pak Jokowi, tapi  pernahkan para komentator tersebut memikirkan perasaan orang yang membaca? Bagaimana kalau seluruh ejekan itu ditujukan pada diri atau anggota keluarganya? Tidakkah hal tersebut menghilangkan rasa percaya diri orang lain?

Padahal dalam kultur ketimuran, kita jelas diajari pentingnya bertindak sopan termasuk saat berkomentar. Namun entah mengapa, seiring dengan berkembangnya zaman ajaran itu seolah makin hilang.

http://cdn.idntimes.com/content-images/post/20151105/jokowi4.png

IDNtimes jelas tidak melarang para netizen untuk memberikan kritik pada pemimpin. Karena pada hakikatnya seorang pemimpin yang telah terpilih harus siap menerima kritik jika ia dinilai tidak mampu membawa kebaikan. Tapi yang menjadi fokus saya di sini adalah bagaimana kita menyampaikan kritik tersebut. Apakah harus disertai kata-kata kasar dan hujatan?

Kita semua tentu diajari tentang pentingnya arti kesopanan. Apalagi ini Indonesia yang kental dengan adat ketimuran di mana menyampaikan sesuatu dengan baik itu penting, termasuk saat berkomentar. Tapi anehnya nilai-nilai yang sudah sejak kecil ditanamkan seolah hilang. Dengan dalih memberikan kiritik, kita seolah kehilangan kontrol memberikan koreksi dengan cara-cara yang baik.

Pada akhirnya kita juga harus bertanya pada diri sendiri, "Haruskah hinaan dan celaan dilontarkan saat orang lain melakukan kesalahan dalam proses belajar?"

Default Image IDN
Default Image IDN

Pak Jokowi jelas bukan manusia super yang sempurna dalam segala hal, termasuk pula kemampuan bahasa Inggrisnya. Meski ia sekarang adalah seorang presiden yang diharapkan mampu berbahasa asing dengan mumpuni, tapi jika pada akhirnya kemampuan itu belum ada, pantaskah kita menghina orang tersebut?

Siapa yang tahu kalau ternyata di dalam istana, presiden kita tersebut terus belajar untuk memperbaiki kemampuannya berbahasa Inggris. Siapa pula yang paham, kalau diam-diam beliau membaca semua komentar dan semakin tidak percaya diri karena ada ribuan orang yang menertawakannya di luar sana. Ya terlepas dari atribut kepresidenannya, Pak Jokowi adalah manusia yang memiliki perasaan sama dengan kita.

Melalui tulisan ini, IDNtimes ingin mengajak teman-teman untuk lebih arif saat berkomentar. Kita harus lebih peka saat mau memberikan kritik karena hal tersebut bisa jadi justru akan melukai perasaan orang lain bila disampaikan dengan kasar. Mungkin sebelum akhirnya mencela orang lain, kita harus bertanya pada diri sendiri, "Pantaskah saya menghina orang ini karena kesalahannya?"

Share
Topics
Editorial Team
Priscilla Immaculata Silaen
EditorPriscilla Immaculata Silaen
Follow Us

Latest in Life

See More

5 Zodiak yang Cocok jadi Pasangan Ideal Scorpio

19 Des 2025, 23:15 WIBLife