Di Indonesia, kasus korupsi dengan pelaku yang tetap mendapat dukungan publik bukanlah hal baru. Mulai dari pejabat daerah hingga anggota DPR, fenomena "koruptor dibela" ini seringkali membingungkan banyak pihak. Jonathan Haidt dalam The Righteous Mind memberikan lensa baru untuk memahami perilaku ini melalui teori tribalisme moral. Artikel ini akan mengupas lima alasan psikologis di balik loyalitas buta pada koruptor, didukung data dan studi kasus di Indonesia.
Korupsi tapi Dibela? Ini Penjelasan Psikologi Moralnya

Intinya sih...
Loyalitas kelompok mengalahkan logika
Responden di Jawa Timur tetap memilih politisi tersangka korupsi karena "perjuangan untuk rakyat kecil", mencerminkan fondasi moral loyalty/betrayal.Otoritas sebagai kebenaran
Figur dengan jabatan tinggi mendapat "bonus moral" otomatis, efek authority/subversion, ditambah masyarakat Indonesia yang hierarkis cenderung menganggap pemimpin sebagai "orang tua".Pembenaran moral ala "Robin Hood"
Kasus korupsi di daerah dibela dengan narasi "untuk rakyat", memanipulasi fondasi fairness/cheating dengan membalik logika: korupsi diang
1. Loyalitas kelompok mengalahkan logika
Studi LIPI (2022) menunjukkan 62 persen responden di Jawa Timur tetap memilih politisi yang sedang tersangka korupsi karena alasan "perjuangan untuk rakyat kecil". Ini mencerminkan fondasi moral loyalty/betrayal dalam teori Haidt. Otak kita secara evolusioner terprogram untuk mempertahankan kelompok sendiri, sekalipun melawan bukti objektif. Survei Indo Barometer (2023) menemukan bahwa pemilih partai tertentu 3x lebih mungkin memaafkan korupsi jika pelaku berasal dari kader partainya.
2. Otoritas sebagai kebenaran
Penelitian UI tentang psikologi massa (2021) mengungkap bahwa figur dengan jabatan tinggi mendapat "bonus moral" otomatis. Haidt menyebut ini efek authority/subversion: masyarakat Indonesia yang hierarkis cenderung menganggap pemimpin sebagai "orang tua" yang harus dilindungi. Kasus mantan gubernur yang divonis korupsi tetapi tetap dipuja pendukungnya menjadi contoh nyata.
3. Pembenaran moral ala "Robin Hood"
Data KPK menunjukkan 41 persen kasus korupsi di daerah dibela dengan narasi "untuk rakyat" (contoh: korupsi dana bansos yang dianggap "bagi-bagi rezeki"). Ini memanipulasi fondasi fairness/cheating dengan membalik logika: korupsi dianggap "adil" karena sistem dianggap sudah tidak adil. Survei Litbang Kompas (2023) menemukan fenomena ini kuat di masyarakat dengan ketimpangan ekonomi tinggi.
4. Kekerabatan vs hukum
Studi antropologi UGM (2020) di Sulawesi mengungkap bahwa ikatan kekerabatan (dalam kasus korupsi keluarga pejabat) 2x lebih kuat daripada penilaian moral universal. Haidt akan menyebut ini dominasi fondasi sanctity dalam budaya komunal: "aib keluarga" lebih berbahaya daripada pelanggaran hukum.
5. Efek "musuh bersama"
Analisis media LP3ES (2023) menunjukkan 73 persen pembelaan terhadap koruptor menggunakan narasi "kita diserang elite/lawan politik". Ini adalah strategi tribalisme klasik dalam teori Haidt: menciptakan ancaman luar untuk menguatkan kohesi kelompok. Kasus korupsi yang berubah menjadi pertarungan politik adalah buktinya.
Memahami dukungan pada koruptor bukan berarti membenarkannya, tetapi melihat akar masalah yang lebih dalam: moralitas yang terhijack oleh loyalitas buta. Solusinya? Haidt menyarankan pendidikan kritis terhadap fondasi moral sejak dini. Untuk Indonesia, ini berarti memperkuat sistem hukum sekaligus membangun kesadaran bahwa "setia pada kelompok" tidak boleh mengorbankan keadilan universal.
Seperti kata Haidt: "Moralitas yang sehat adalah yang bisa menyeimbangkan antara ikatan kelompok dan tanggung jawab sosial."
Referensi:
LIPI (2022) Politik Identitas dan Dukungan Publik terhadap Tersangka Korupsi
Indo Barometer (2023) - Dukungan Pemilih pada Politisi Terdakwa Korupsi
KPK (2023) - Narasi Pembelaan dalam Kasus Korupsi
UI (2021) - Jurnal Psikologi UI: "Bonus Moral pada Figur Otoritas"
Litbang Kompas (2023) - Narasi Robin Hood dalam Kasus Korupsi
LP3ES (2023) - Framing Korupsi di Media