Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

6 Pelajaran Moral dari Buku The Righteous Mind

Buku The Righteous Mind karya Jonathan Haidt (dok. Pribadi/Anastasia Jaladriana)
Buku The Righteous Mind karya Jonathan Haidt (dok. Pribadi/Anastasia Jaladriana)
Intinya sih...
  • Moralitas manusia dibangun atas enam fondasi: care, fairness, loyalty, authority, sanctity, dan liberty. Perbedaan ini memicu kesalahpahaman dalam debat politik.
  • Manusia membuat keputusan moral secara spontan berdasarkan intuisi, kemudian mencari pembenaran rasional. Fakta dan data sering kalah oleh emosi dan prasangka.
  • Moralitas berevolusi sebagai "lem sosial" untuk memperkuat ikatan kelompok. Agama memainkan peran evolusioner penting dalam membangun masyarakat besar.

Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, buku The Righteous Mind karya Jonathan Haidt seperti cahaya pencerahan. Buku ini menjelaskan mengapa orang baik bisa bertengkar sengit hanya karena perbedaan politik atau agama. Haidt, seorang psikolog sosial, menggali akar moral manusia lewat penelitian lintas budaya dan eksperimen psikologi. Karyanya menawarkan jawaban mengapa kita sering merasa benar sendiri, sementara lawan bicara terlihat "irasional".

Artikel ini akan merangkum enam poin kunci dari buku tersebut, mulai dari konsep "rasa moral" hingga bahaya fanatisme kelompok. Mari selami pemikiran Haidt untuk memahami dunia yang terbelah dengan lebih bijak.

1. Enam fondasi moral: Kode rahasia perilaku manusia

ilustrasi manusia (unsplash.com/@imamhassan)
ilustrasi manusia (unsplash.com/@imamhassan)

Menurut Haidt, moralitas manusia dibangun atas enam fondasi: care/harm (kepedulian vs kekerasan), fairness/cheating (keadilan vs kecurangan), loyalty/betrayal (kesetiaan vs pengkhianatan), authority/subversion (otoritas vs pembangkangan), sanctity/degradation (kesucian vs penodaan), dan liberty/oppression (kebebasan vs penindasan). Kombinasi fondasi ini membentuk "kecap moral" unik setiap individu.

Kaum liberal cenderung menekankan care dan fairness, sementara konservatif mempertimbangkan semua fondasi secara seimbang. Perbedaan inilah yang sering memicu kesalahpahaman dalam debat politik. Dengan memahami keragaman fondasi moral, kita bisa lebih empati pada pandangan yang berbeda. Haidt menunjukkan bahwa tidak ada sistem moral yang benar secara absolut.

2. Intuisi datang pertama, logika menyusul belakangan

ilustrasi (unsplash.com/@andremouton)
ilustrasi (unsplash.com/@andremouton)

Haidt menggambarkan pikiran manusia seperti penunggang di atas gajah. Penunggang (logika) merasa memegang kendali, tetapi gajah (intuisi) yang sebenarnya menentukan arah. Penelitian menunjukkan bahwa kita membuat keputusan moral secara spontan, baru kemudian mencari pembenaran rasional. Mekanisme ini menjelaskan mengapa debat politik sering tidak produktif - kita hanya mencari alasan untuk membenarkan keyakinan yang sudah ada. Fakta dan data sering kalah oleh emosi dan prasangka. Pemahaman ini mengajarkan kita untuk lebih rendah hati dalam berargumen.

3. Fanatisme yang berbahaya

ilustrasi sekte (unsplash.com/@kate_astrid)
ilustrasi sekte (unsplash.com/@kate_astrid)

Manusia adalah makhluk tribal yang secara alami membentuk kelompok. Haidt menunjukkan bagaimana moralitas berevolusi sebagai "lem sosial" untuk memperkuat ikatan kelompok. Sayangnya, ini membuat kita mudah terjebak dalam groupthink dan memandang kelompok luar sebagai ancaman. Politik modern sering memanfaatkan kecenderungan ini dengan menciptakan narasi "kita vs mereka". Efeknya adalah polarisasi ekstrem di masyarakat. Contoh nyata terlihat dalam fenomena cancel culture dan dehumanisasi lawan politik.

4. Agama bukan candu, tapi lem sosial

ilustrasi (unsplash.com/@luancabralbr)
ilustrasi (unsplash.com/@luancabralbr)

Bertentangan dengan pandangan ateis modern, Haidt berargumen bahwa agama memainkan peran evolusioner penting. Ritual dan kepercayaan agama memperkuat kohesi kelompok dan memungkinkan manusia membangun masyarakat besar. Eksperimen menunjukkan bahwa komunitas religius cenderung lebih kooperatif daripada kelompok sekuler. Namun, kekuatan pemersatu ini memiliki bayangan gelap - kecurigaan terhadap kelompok luar. Haidt tidak membela agama tertentu, tetapi menjelaskan fungsinya dalam evolusi masyarakat manusia.

5. Politik adalah moralitas yang dieksekusi

ilustrasi politik (unsplash.com/@marcooriolesi)
ilustrasi politik (unsplash.com/@marcooriolesi)

Haidt menganalisis bagaimana perbedaan fondasi moral menjelaskan perpecahan politik. Kaum liberal fokus pada care (melindungi korban) dan fairness (kesetaraan), sementara konservatif juga menghargai loyalty, authority, dan sanctity. Perbedaan ini bukan tentang siapa yang lebih bermoral, tetapi tentang penekanan nilai yang berbeda. Sistem dua partai di banyak negara mencerminkan pembagian alami kecenderungan moral manusia. Memahami hal ini membantu kita melihat politik bukan sebagai pertarungan baik vs jahat, tetapi sebagai benturan nilai yang wajar.

6. Keluar dari kotak moral kita sendiri

ilustrasi (unsplash.com/@heathermount)
ilustrasi (unsplash.com/@heathermount)

Bagian terpenting buku ini adalah ajakan untuk memahami sudut pandang lain. Haidt menyarankan kita "mencoba berjalan dengan moral orang lain" sebelum menghakimi. Dalam percobaan yang dilakukannya, mahasiswa liberal yang memahami fondasi moral konservatif menjadi lebih toleran. Solusi untuk polarisasi bukan dengan menghilangkan perbedaan, tetapi dengan membangun kebijaksanaan moral. Kita perlu menyadari keterbatasan perspektif sendiri dan terbuka terhadap kompleksitas isu sosial. Buku ini mengakhiri dengan pesan optimis tentang kemungkinan rekonsiliasi.

The Righteous Mind bukan sekadar buku psikologi, tetapi panduan untuk hidup di era penuh konflik. Jonathan Haidt mengajak kita melihat perbedaan bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai cermin untuk memahami diri sendiri. Enam pelajaran di atas menunjukkan bahwa moralitas jauh lebih kompleks dari sekadar benar dan salah.

Dengan memahami mekanisme moral manusia, kita bisa menjadi pribadi yang lebih bijak dalam berdebat, berpolitik, dan berelasi. Buku ini layak dibaca oleh siapa pun yang ingin memahami akar perpecahan masyarakat moderen. Pada akhirnya, kebijaksanaan moral adalah tentang menyadari bahwa kebenaran kita mungkin hanya sebagian dari gambaran yang lebih besar.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anastasia Jaladriana
EditorAnastasia Jaladriana
Follow Us