5 Logical Fallacy yang Sering Muncul di Media Sosial, Pernah Terjebak?

Intinya sih...
- Ad hominem sering terjadi di media sosial, menyerang pribadi lawan debat dan memancing reaksi emosional.
- Straw man distorsi argumen lawan menjadi lemah, terutama di platform dengan batasan karakter.
- False dilemma memaksa pilihan ekstrem, populasi di media sosial sering jadi penentu kebenaran.
Pernah gak sih scrolling timeline media sosial terus tiba-tiba kepancing ikut debat di kolom komentar? Awalnya cuma mau iseng baca-baca, eh ujung-ujungnya malah terlibat perdebatan sengit sampai lupa waktu. Yang bikin gemes, kadang argumen yang dilempar terasa aneh tapi kita gak bisa langsung menjelaskan di mana letak kesalahannya.
Sebenarnya, banyak perdebatan di media sosial dipenuhi dengan logical fallacy atau kesalahan dalam penalaran logika. Menariknya, fallacy ini sangat mudah menyebar dan terkesan masuk akal bagi banyak orang. Bahkan orang-orang terpelajar pun sering terjebak! Platform media sosial dengan karakter terbatas dan kecenderungan konten viral yang provokatif membuat logical fallacy semakin subur. Yuk, kenali lima logical fallacy yang paling sering muncul di media sosial agar kamu gak mudah tertipu!
1. Ad hominem, menyerang orangnya bukan argumennya
Ad hominem mungkin adalah fallacy paling populer di media sosial. Alih-alih menanggapi substansi argumen, seseorang malah menyerang pribadi, latar belakang, atau karakteristik personal lawan debatnya. Misal, "Pendapatmu soal ekonomi gak valid karena kamu masih tinggal sama orangtua" atau "Dia kritik kebijakan pemerintah padahal dia sendiri gak pernah bayar pajak."
Di media sosial, ad hominem sangat mudah terjadi karena sifatnya yang personal dan emosional, sehingga cepat memancing reaksi dan engagement. Perhatikan kolom komentar berita politik—berapa banyak yang berfokus mendiskusikan isu dan berapa banyak yang malah sibuk mengomentari siapa yang bicara. Kalau kamu melihat perdebatan berubah arah dari "apa yang dikatakan" menjadi "siapa yang ngomong," itu tandanya ad hominem sedang beraksi. Trik terbaik menghadapinya? Kembalikan diskusi ke substansi dengan pertanyaan "Mari kita bahas argumennya, bukan orangnya."
2. Straw man, mendistorsi argumen lawan agar mudah dijatuhkan
Straw man terjadi ketika seseorang sengaja mendistorsi atau menyederhanakan argumen pihak lain menjadi versi yang lebih lemah dan mudah diserang. Contohnya, ketika seseorang mengatakan "Pajak penghasilan perlu direformasi agar lebih adil" lalu ditanggapi dengan "Jadi kamu mau semua orang jadi miskin dan negara bangkrut karena gak ada pemasukan pajak?!"
Di platform seperti X dengan batasan karakter, straw man sangat umum terjadi karena argumen kompleks terpaksa disederhanakan. Ditambah lagi, media sosial menghargai respons cepat dan viral, sehingga mendorong orang membuat tanggapan provokatif yang sering kali mendistorsi argumen asli. Cara terbaik menghindari jebakan ini adalah dengan mengklarifikasi ulang posisi kita: "Saya gak pernah bilang pajak harus dihapus, yang saya maksud adalah sistemnya perlu direformasi agar lebih proporsional."
3. False dilemma, menyederhanakan pilihan kompleks jadi hitam-putih
False dilemma atau black and white fallacy memaksa kita memilih satu dari dua pilihan ekstrem padahal sebenarnya ada banyak alternatif di antaranya. Di media sosial, ini sering muncul dalam bentuk "Kalau kamu gak mendukung pendapat A, berarti kamu mendukung B" atau "Pilih salah satu: prioritaskan ekonomi ATAU lingkungan hidup."
Platform media sosial dengan konten yang viral dan cepat membuat false dilemma berkembang pesat. Ditambah lagi, polling di media sosial yang hanya menyediakan dua opsi semakin memperkuat ilusi bahwa pilihan di dunia nyata sama sederhana itu. Perhatikan juga headline artikel yang sering dibagikan: "Apakah kamu tim A atau tim B?" Untuk menghadapi fallacy ini, ingatkan diri sendiri dan orang lain bahwa dunia jarang sekali hitam-putih. Hampir selalu ada opsi ketiga, keempat, atau bahkan kombinasi berbagai pilihan yang mungkin jadi solusi terbaik.
4. Appeal to popularity, menganggap sesuatu benar karena banyak yang setuju
Appeal to popularity adalah kesalahan logika saat menganggap sesuatu benar atau valid hanya karena banyak orang yang mempercayainya. Di media sosial, ini bisa terlihat dari argumen seperti "Post ini dapat 100 ribu likes, jadi pasti benar" atau "Semua orang bilang produk ini bagus, masa kamu gak percaya?"
Jumlah like, share, dan followers di media sosial sering dijadikan validasi kebenaran, padahal popularitas gak selalu sama dengan akurasi. Algoritma platform media sosial justru semakin memperkuat fallacy ini dengan menampilkan konten populer lebih sering, menciptakan ilusi bahwa opini mayoritas pasti benar. Ingat kasus hoax yang viral? Banyaknya yang percaya gak membuat informasi salah jadi benar. Sikap kritis yang baik adalah selalu mencari bukti di luar jumlah dukungan sosial, terutama untuk klaim yang signifikan.
5. Anecdotal evidence, menggeneralisasi berdasarkan pengalaman pribadi
Anecdotal evidence terjadi ketika seseorang menggunakan pengalaman pribadi atau cerita individual untuk menarik kesimpulan umum, mengabaikan data statistik atau bukti ilmiah yang lebih komprehensif. Di media sosial, ini muncul dalam bentuk "Kakek saya merokok seumur hidup dan hidup sampai 90 tahun, jadi merokok gak berbahaya" atau "Teman saya pakai produk ini dan langsung sembuh, dijamin ampuh!"
Cerita personal memang lebih menarik dan mudah diingat dibanding statistik kering, itulah mengapa anecdotal evidence sangat populer di media sosial. Ditambah lagi, algoritma media sosial memprioritaskan konten yang memicu emosi, dan cerita pribadi yang dramatis jelas lebih menarik daripada analisis data. Untuk menghadapi fallacy ini, penting untuk menghargai pengalaman pribadi tapi juga mengingatkan diri bahwa satu atau dua kasus gak bisa jadi dasar kesimpulan umum. Selalu tanyakan: "Apakah ini cuma kasus terpisah atau memang pola yang didukung data lebih luas?"
Media sosial memang tempat yang penuh dengan logical fallacy, tapi bukan berarti kita harus menyerah dan ikut terbawa arus. Dengan mengenali pola-pola kesalahan penalaran ini, kita bisa lebih kritis saat menerima informasi dan lebih bijak saat berargumen online. Ingat, tujuan diskusi yang sehat bukanlah untuk menang, tapi untuk sama-sama mencari kebenaran.