Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Penyebab Burnout Justru Sering Terasa saat Libur Panjang

ilustrasi burnout
ilustrasi burnout (pexels.com/Andrea Piacquadio?
Intinya sih...
  • Tubuh berhenti, pikiran baru mengejar. Pikiran yang tertekan mulai muncul saat libur panjang, karena tubuh beristirahat dan memberi ruang bagi perasaan yang tertahan.
  • Ekspektasi liburan terlalu tinggi. Tekanan untuk bahagia dan produktif membuat liburan justru memicu rasa bersalah dan frustrasi ketika ekspektasi tidak terpenuhi.
  • Kehilangan struktur dan ritme harian. Hilangnya rutinitas harian membuat otak bekerja lebih keras dalam pengambilan keputusan kecil, memicu kelelahan mental.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Banyak orang membayangkan libur panjang sebagai momen ideal untuk memulihkan energi, menjauh dari rutinitas, dan kembali merasa utuh secara mental. Namun kenyataannya, tidak sedikit yang justru merasa lebih lelah, kosong, bahkan cemas saat liburan berlangsung.

Alih-alih rileks, burnout yang selama ini terpendam malah muncul ke permukaan. Fenomena ini bukan hal aneh yang sering dialami oleh banyak orang. Terdapat lima penyebab utama mengapa burnout sering terasa justru ketika libur panjang tiba. Simak lebih lanjut.

1. Tubuh berhenti, pikiran baru mengejar

ilustrasi bosan
ilustrasi bosan (pexels.com/Monstera)

Saat hari kerja berjalan padat, tubuh dan pikiran sering berada dalam mode bertahan. Fokus utama adalah menyelesaikan tugas demi tugas tanpa banyak ruang untuk refleksi. Begitu libur panjang datang, ritme melambat secara drastis. Tubuh mungkin beristirahat, tetapi pikiran yang selama ini ditekan justru mulai berbicara.

Perasaan lelah, jenuh, atau kecewa yang sebelumnya tertahan akhirnya muncul. Banyak dari kita baru menyadari betapa berat beban mental yang dipikul ketika tidak lagi sibuk. Inilah sebabnya burnout sering terasa lebih jelas saat libur. Bukan karena liburnya salah, tetapi karena pikiran akhirnya punya ruang untuk merasakan.

2. Ekspektasi liburan terlalu tinggi

ilustrasi traveling
ilustrasi traveling (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Libur panjang sering dibebani ekspektasi tidak realistis. Kita merasa harus bahagia, harus produktif, harus healing total, dan harus kembali dengan versi diri yang baru. Tekanan ini membuat liburan justru menjadi proyek tambahan, bukan waktu istirahat.

Ketika realitas liburan tidak seindah bayangan, rasa bersalah dan frustrasi muncul. Misalnya tetap merasa capek atau mood tidak stabil. Alih-alih menerima kondisi diri apa adanya, seseorang merasa gagal memanfaatkan libur. Ekspektasi berlebihan inilah yang memperparah burnout secara emosional.

3. Kehilangan struktur dan ritme harian

ilustrasi merasa bosan
ilustrasi merasa bosan (pexels.com/Maria Geller)

Rutinitas sering dianggap musuh kebebasan. Padahal struktur harian memberi rasa aman dan arah. Saat libur panjang, jadwal menjadi longgar atau bahkan hilang sama sekali. Waktu bangun tidak menentu, aktivitas tidak terencana, dan batas antara siang dan malam menjadi kabur.

Bagi sebagian orang, kondisi ini justru memicu kecemasan dan kelelahan mental. Tanpa struktur, otak bekerja lebih keras untuk mengambil keputusan kecil sekalipun. Fenomena ini dikenal sebagai decision fatigue, yang membuat seseorang merasa lelah meski tidak melakukan banyak hal secara fisik.

4. Libur tidak menyentuh akar kelelahan

ilustrasi merasa lelah
ilustrasi merasa lelah (pexels.com/ Cup of couple)

Burnout bukan sekadar kelelahan fisik, melainkan kelelahan emosional dan mental akibat tekanan berkepanjangan. Sayangnya, banyak liburan hanya berfokus pada distraksi. Contohnya jalan-jalan, hiburan, atau aktivitas padat yang tidak benar-benar memberi ruang pemulihan batin.

Jika akar burnout berasal dari beban kerja berlebih, konflik nilai, atau kurangnya kontrol atas hidup, maka libur panjang saja tidak cukup. Tanpa refleksi atau perubahan pola, burnout akan tetap ada. Bahkan, ketika stimulus eksternal berhenti, rasa kosong justru terasa lebih kuat.

5. Libur menjadi cermin Kehidupan yang tidak seimbang

ilustrasi bersantai
ilustrasi bersantai (pexels.com/Karolina Grabowska)

Saat sibuk, seseorang jarang punya waktu untuk merenungkan apakah hidup sudah seimbang. Libur panjang membuka ruang yang menampilkan sisi realistis. Di sinilah burnout sering terasa paling menyakitkan, karena libur berfungsi sebagai cermin.

Muncul pertanyaan tentang makna pekerjaan, kualitas relasi, hingga arah hidup. Jika selama ini hidup dijalani dengan autopilot, libur panjang bisa memunculkan perasaan hampa atau kehilangan tujuan. Burnout bukan hanya soal lelah, tetapi juga soal ketidaksinkronan antara apa yang dijalani dan apa yang sebenarnya dibutuhkan.

Burnout yang terasa saat libur panjang bukan tanda kegagalan beristirahat. Melainkan sinyal bahwa ada kelelahan mendalam yang belum tersentuh. Alih-alih memaksa diri untuk menikmati libur dengan maksimal, penting untuk memberi ruang bagi perasaan yang muncul tanpa menghakimi. Terkadang, pemulihan tidak selalu berarti melakukan lebih banyak hal menyenangkan. Tetapi berani mendengarkan diri sendiri dengan jujur.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Agsa Tian
EditorAgsa Tian
Follow Us

Latest in Life

See More

6 Masalah Keuangan Mahasiswa Perantau

14 Des 2025, 15:18 WIBLife