Perbedaan Self Reward dan Hedonisme, Jangan sampai Tertukar!

- Makna self reward adalah apresiasi terhadap diri sendiri setelah menyelesaikan tugas atau tantangan tertentu.
- Hedonisme adalah gaya hidup yang menjadikan kesenangan sebagai tujuan utama tanpa mempertimbangkan prioritas atau batas kemampuan finansial.
- Self reward dilakukan sesekali sebagai bentuk perayaan kecil, sementara hedonisme sulit dikendalikan dan bisa menimbulkan dampak negatif.
Akhir-akhir ini, istilah self reward makin sering kita dengar. Apalagi di media sosial maupun promosi ecommerce, takarir seperti “Capek kerja, waktunya self reward!” atau “Gajian = waktunya memanjakan diri” sudah jadi hal lumrah. Namun, jangan sampai kamu terjebak dalam hedonisme dengan dalih self reward, ya.
Masih banyak orang yang keliru membedakan antara self reward dan hedonisme. Padahal, keduanya punya makna yang sangat berbeda. Jangan sampai niatnya mengapresiasi diri, malah jadi kebiasaan boros dan impulsif.
Yuk, kita bahas lebih dalam tentang perbedaan self reward dan hedonisme, biar kamu bisa lebih bijak saat memanjakan diri. Ternyata keduanya punya batasan tersendiri.
1. Apresiasi diri vs gaya hidup berlebihan

Makna self reward adalah apresiasi terhadap diri sendiri setelah menyelesaikan tugas atau tantangan tertentu. Misalnya, setelah berhasil menyelesaikan ujian, kamu memberi hadiah kecil berupa beli es krim atau maraton film seharian. Ini bukan soal nilai barangnya, tapi lebih ke simbol penghargaan atas usaha diri sendiri.
Sementara itu, hedonisme adalah gaya hidup yang menjadikan kesenangan sebagai tujuan utama. Dalam dunia hedonis, prinsipnya adalah menikmati hidup semaksimal mungkin tanpa peduli dampak jangka panjang. Hedonisme sering kali gak mempertimbangkan prioritas atau batas kemampuan finansial. Yang penting senang sekarang, urusan nanti belakangan.
Pendeknya begini, kalau self reward ibarat pelukan hangat setelah berjuang. Sementara itu, hedonisme itu seperti berpesta terus tanpa henti walau tubuh sudah minta istirahat. Berbeda banget, kan?
2. Faktor pemicu

Self reward muncul karena adanya pencapaian. Jadi, kamu memberi diri sendiri hadiah setelah menyelesaikan tugas penting. Ada proses, perjuangan, dan hasil yang jadi dasar dari reward tersebut, seperti belajar untuk ujian, menyelesaikan deadline kerjaan tepat waktu, berhasil beres-beres rumah. Ini yang membuat self reward terasa lebih sehat secara mental.
Berbeda dengan hedonisme, karena lebih didorong keinginan sementara. Contohnya, kamu beli barang mahal hanya karena sedang ada promosi, padahal aslinya kamu gak terlalu butuh dan gak ada pencapaian tertentu yang layak diberi reward. Hedonisme seringkali impulsif dan bisa menimbulkan rasa bersalah atau penyesalan setelahnya.
Intinya, self reward terencana dan punya alasan kuat. Hedonisme cenderung spontan dan berpotensi membuatmu terjebak dalam lingkaran konsumsi tanpa arah.
3. Frekuensi dan kontrol diri

Self reward dilakukan sesekali sebagai bentuk perayaan kecil. Biasanya sudah dipikirkan sebelumnya dan disesuaikan dengan kondisi keuangan serta kebutuhan pribadi. Bahkan, banyak orang menetapkan batas, seperti memberi self reward setiap kali mencapai target tertentu. Misalnya, kamu sudah menetapkan akan beli es krim di hari Minggu jika berhasil gak jajan kopi dari Senin sampai Sabtu.
Sebaliknya, hedonisme gak terencana dan sulit dikendalikan. Karena tujuannya adalah kesenangan tanpa batas, orang yang terjebak dalam hedonisme cenderung terus mencari pengalaman menyenangkan baru tanpa memedulikan kondisi fisik, emosional, atau finansial. Misalnya, di siang hari kamu pengin jajan es krim, padahal di pagi hari kamu sudah beli kopi, bisa jadi kamu sedang menuju hedonisme kecil-kecilan.
4. Produktif vs merugikan

Self reward seharusnya berdampak positif. Dengan memberikan penghargaan pada diri sendiri, kamu bisa lebih termotivasi untuk mengejar target berikutnya. Ini juga bisa memperbaiki kesehatan mental, karena kamu belajar menghargai proses dan pencapaianmu sendiri.
Sebaliknya, hedonisme bisa menimbulkan berbagai dampak negatif. Mulai dari keuangan yang kacau, kehilangan fokus terhadap tujuan hidup, hingga kesehatan mental yang memburuk karena terus merasa gak pernah cukup. Sering kali, orang yang hidup hedonis malah merasa hampa, karena kebahagiaan mereka bergantung pada hal-hal eksternal.
5. Contoh dalam kehidupan sehari-hari

Mari kita buat contoh kasus agar kamu lebih mudah membayangkan. Misalnya, kamu harus lembur beberapa hari di akhir bulan. Sebagai bentuk self reward, kamu berencana traktir diri sendiri makan steak favorit setelah gaji ditransfer.
Kamu sudah merencanakan ini sejak beberapa hari lalu, dan kamu tahu ini gak akan membuat dompet jebol. Ditambah, kamu langsung merasa happy dan makin termotivasi setelah menerima reward kecil ini.
Sekarang bandingkan dengan seseorang yang baru saja gajian, langsung checkout keranjang belanjaan online tanpa pikir panjang, ikut nongkrong sana-sini, dan di pertengahan bulan sudah sibuk cari pinjaman. Pengeluaran ini gak terencana, tanpa batas, tanpa ada pemicu yang produktif, dan gak membuat kamu termotivasi. Ini jelas masuk ke wilayah hedonisme.
Walaupun sama-sama memanjakan diri, tapi self reward dan hedonisme sangat berbeda. Self reward bisa jadi cara sehat untuk menjaga semangat hidup. Namun, penting untuk tahu batas dan alasan di baliknya agar ini gak bertransformasi menjadi hedonisme.