Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ramadan Pertamaku, Seorang Kristen di Lingkungan Mayoritas Muslim

Sindonews.com

Aku lahir di Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Selama ini, aku terbiasa hidup di lingkungan mayoritas agama Kristen. Ya, aku pun dilahirkan sebagai umat Kristiani. Meski demikian, kampung kami tetap semarak ketika bulan Ramadan dan Lebaran. Kami menyambutnya dengan antusias, seperti halnya umat Islam. 

Orang-orang ramai berjualan makanan menjelang buka puasa, meski mereka seorang Kristen. Sebetulnya, mereka berjualan untuk para pembeli yang Islam. Lucunya, makanan dan minuman para penjual justru menjadi rebutan kami yang tak berpuasa. Bagi kami, Ramadan memberi keberkahan tersendiri, yakni berlimpahnya makanan setiap hari, meski harus merogoh kocek lebih dalam dari biasanya. Menurut kami, Ramadan menjadi simbol toleransi tertinggi bagi umat Islam dan Kristen di kampung kami.

Di kampungku, tak ada yang berbeda dari jam biologis rumah makan. Mereka tetap buka seperti hari-hari biasa, dari pagi hingga malam. Kami yang tak berpuasa, bisa dengan mudah mendapatkan makanan kapan pun kami mau. Tahun lalu, aku mulai merantau di kota orang. Aku melanjutkan pendidikan di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung, Jawa Barat. Kondisinya berbanding terbalik dengan kebiasaan di kampungku. Kalau sebelumnya keluargaku menjadi kaum mayoritas di kampungku, kini aku menjadi kaum minoritas. Kebanyakan, penduduk Bandung dan teman kuliahku beragama Islam.

Tak ada perbedaan mencolok, kecuali saat Ramadan. Di hari pertama puasa, aku sangat terkejut karena banyak warung makan yang tutup. Hal ini membuatku kesulitan mencari makanan, apalagi aku anak kost-an. Penjual makanan baru berlimpah ruah ketika menjelang buka puasa dan sahur. Awalnya, bagiku kondisi ini cukup menyakitkan karena aku tidak pernah berpuasa dan bangun dini hari untuk makan.

Keadaan tersebut "memaksaku" ikut berpuasa, meski hanya setengah hari. Sebab, mencari makan di siang hari sangat sulit, kecuali di restoran yang cukup mahal. Padahal, uangku sebagai mahasiswa hanya bisa rutin mengunjungi warung tegal. Tapi tak mengapa, aku jadi belajar berpuasa meski setengah-setengah. Secara tak langsung pula, aku mempraktikkan apa yang dinamakan toleransi. Bagiku, pengalaman pertama menjalani bulan Ramadan di lingkungan mayoritas muslim tak akan terlupakan. Ada kebahagiaan tersendiri karena semuanya berjalan dengan indah dan damai hidup berdampingan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dewi Suci Rahayu
EditorDewi Suci Rahayu
Follow Us