Reza Riyady Pragita dan Aliran Harapan di Desa Ban

Bali sering tampil di kartu pos dunia dengan wajah yang sama: pantai berpasir putih, pura yang memantulkan senja, dan hotel mewah di tepi laut. Namun, beberapa kilometer dari gemerlap itu, ada Bali yang lain: kering, berbatu, dan senyap. Di lereng Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, berdiri Desa Ban, tempat di mana air bersih pernah lebih berharga daripada emas.
Dari wilayah inilah seorang perawat muda, Reza Riyady Pragita, penerima SATU Indonesia Awards 2022 tingkat provinsi di bidang kesehatan dari PT Astra International, menanam harapan. Dia bukan pejabat, bukan tokoh besar, hanya seorang tenaga kesehatan yang percaya, penyembuhan sejati dimulai bukan dari ruang perawatan, melainkan dari sumber kehidupan bernama air. Sejak 2019, melalui program yang dia beri nama Sumber Air untuk Sesama (SAUS), Reza mengalirkan air bersih ke desa-desa kering di timur Bali, yang perlahan juga mengalirkan keyakinan tentang kepedulian ternyata bisa mengubah nasib kehidupan-kehidupan yang dilaluinya.
1. Seorang perawat yang melebarkan sayapnya untuk mereka yang membutuhkan

Reza Riyady Pragita bekerja di lingkungan yang rapi dan steril di ruang rawat dengan cahaya putih dan bau antiseptik. Namun, di balik rutinitas itu, dia merasa ada jarak antara profesinya dan akar persoalan kesehatan masyarakat. Reza melihat betapa penyakit sering kali bukan lahir dari tubuh, melainkan dari ketimpangan: air yang kotor, lingkungan yang gersang, dan kebiasaan hidup yang terbentuk karena keterpaksaan.
“Saya lihat sendiri, turis mandi di kolam hotel, sementara warga di perbukitan belum tentu bisa mandi tiap hari,” ujar Reza dalam Workshop Menulis Online dan Bincang Inspiratif Astra 2025 pada Rabu (8/10/25)
Suatu hari, ketika bertugas di Karangasem, dia menyaksikan kontras yang tak mudah dilupakan. Di satu sisi, Bali bersinar sebagai pusat pariwisata dunia. Di sisi lain, masyarakat di perbukitan harus menunggu berhari-hari agar truk tangki datang membawa air. Sebab, lingkungannya terdampak erupsi Gunung Agung.
Dari sanalah lahir keputusan yang mengubah arah hidup banyak orang. Reza meninggalkan kenyamanan ruang rawat. Dia terjun langsung ke lapangan pengabdian, melebarkan sayapnya untuk membantu mereka yang membutuhkan.
2. Ibu-ibu dan jeriken besar di balik pemandangan yang menggerakkan tekad

Titik balik itu datang dari sebuah sore yang sederhana pada 2019. Reza Riyady Pragita melihat beberapa ibu mendorong jeriken besar di jalanan. Mereka menempuh hampir 5 kilometer untuk mengisi air dari sumber kecil yang tersisa pada musim kering. Dia menatap lama, membayangkan sosok ibunya di antara wajah-wajah lelah itu. Sekejap kemudian, Reza merasa tidak bisa lagi diam.
Dari sana, cita-cita SAUS lahir. Ide tentang sebuah upaya menyediakan sistem distribusi air bersih dengan teknologi sederhana muncul lewat pipa-pipa, bak penampungan, dan kerja gotong royong warga. Reza tahu dirinya bukan insinyur, tetapi percaya niat baik akhirnya akan menemukan caranya sendiri. Air, baginya, bukan hanya persoalan infrastruktur. Ia adalah bahasa kasih yang menghubungkan manusia dengan manusia lain.
3. Menemukan air di antara batu sempat menjadi mimpi yang sukar dipercaya

Mendirikan SAUS bukan pekerjaan ringan. Reza Riyady Pragita dan beberapa relawan mesti menapaki jalur terjal, menembus semak dan bebatuan, mencari mata air yang masih mengalir. Mereka membawa pipa di pundak, menghitung kemiringan tanah dengan alat seadanya, dan menandai lokasi penampungan menggunakan peta buatan tangan.
Hal yang membedakan proyek ini adalah caranya melibatkan warga. Tidak ada kontraktor, tidak ada mesin berat. Semuanya dikerjakan bersama. Para bapak menggali tanah, anak muda mengangkat batu, dan ibu-ibu memasak untuk para pekerja. Keringat bercampur harapan. Saat air pertama kali keluar dari pipa pada awal 2020, langit mendadak mendung, lalu hujan turun deras seolah alam ikut bersyukur.
“Awalnya kami dianggap mimpi, karena banyak yang tidak percaya air bisa sampai ke sana,” kata Reza tersenyum.
4. Saat harapan nyaris kering di Karangasem, uluran tangan justru mengalir dari Medan

Jalan menuju perubahan jarang lurus. Dana pembangunan kerap tersendat. Penggalangan bantuan daring sempat berhenti di angka 2 jutaan rupiah. Reza Riyady Pragita mulai khawatir proyek itu akan gagal sebelum mengalirkan setetes air. Namun, entah dari mana, datang kabar dari Medan, yang menyumbangkan lebih dari 20—30 jutaan rupiah untuk proyek air itu.
Bagi Reza, peristiwa itu lebih dari sekadar bantuan finansial. Dia melihatnya sebagai bukti, kebaikan masih memiliki daya menjalar, seperti air yang mencari celah untuk terus mengalir. Dari situlah SAUS berkembang, tidak hanya sebagai sebuah proyek sosial, tetapi juga gerakan kecil yang menumbuhkan solidaritas. Ini ibarat air kehidupan, sesuatu yang membasahi tanah sekaligus melembutkan hati.
5. Air pun membangun mimpi tentang kemandirian

Pembangunan bak penampungan air mulai membawa perubahan nyata. Anak-anak Desa Ban bisa berangkat ke sekolah tanpa haus. Para lansia tak lagi menunggu truk bantuan untuk mandi. Ibu-ibu kini menanam sayur di pekarangan yang dulu gersang. Air bukan hanya memberi kehidupan, melainkan juga membuka ruang bagi martabat dan harapan.
Reza Riyady Pragita kini bermimpi lebih besar. Dia ingin desa-desa di timur Bali mengelola airnya secara mandiri, bahkan menjadikannya sumber ekonomi baru, seperti air mineral dan desa wisata. Air tidak hanya untuk diminum atau disiramkan ke tanah, tetapi juga untuk menumbuhkan kemandirian. “Bukankah hidup seperti pohon? Hidup untuk menghidupi, selalu senantiasa memberikan manfaat bagi banyak orang," katanya di salah satu unggahannya di Instagram pada 4 November 2024.
Dari langkah seorang perawat muda, air kini mengalir di tanah yang dulu retak. Di balik citra glamor Bali, Reza telah menunjukkan sisi lain pulau ini. Tempat di mana gotong royong, empati, dan tekad bisa menghidupkan kembali harapan. Air memang tampak sederhana—bening tak berwujud besar. Namun, di tangan orang yang percaya, ia menjadi metafora paling indah tentang kasih dan kehidupan. Dari satu niat kecil, Reza mengalirkan perubahan. Dari satu aliran air, lahir kisah yang akan terus bergerak dari nurani ke nurani.



















