5 Penyebab Umum Selective Empathy, Trauma Masa Lalu?

- Trauma masa lalu yang belum terselesaikan dapat mempengaruhi selective empathy seseorang, membuatnya sulit merasakan empati terhadap orang lain.
- Lingkungan sosial dan budaya serta media sosial turut membentuk pola pikir sempit dan selective empathy pada seseorang.
- Mekanisme pertahanan diri untuk menghindari emotional overload juga menjadi penyebab selective empathy, membuat otak melakukan seleksi terhadap informasi mana yang perlu direspons dengan empati.
Pernah gak kamu merasa mudah berempati dengan teman yang sedang galau karena putus cinta, tapi justru cuek saat melihat tetangga yang kehilangan pekerjaan? Atau mungkin kamu sangat peduli dengan nasib hewan terlantar, tapi gak terlalu tergerak dengan isu kemiskinan? Kalau iya, kemungkinan kamu mengalami selective empathy, yaitu kondisi di mana seseorang hanya menunjukkan empati pada kelompok atau situasi tertentu saja.
Selective empathy sebenarnya lebih umum dari yang seseorang kira dan bukan berarti kamu adalah orang yang gak berperasaan. Fenomena ini terjadi karena berbagai faktor kompleks, mulai dari pengalaman masa lalu, lingkungan sosial, hingga mekanisme pertahanan diri. Meskipun terdengar wajar, selective empathy bisa jadi masalah kalau dibiarkan terus-menerus karena membuat seseorang jadi bias dan gak bisa memahami penderitaan orang lain secara menyeluruh. Yuk, kenali lima penyebab umum selective empathy yang mungkin juga sedang kamu alami!
1. Trauma masa lalu yang belum terselesaikan dengan baik

Trauma adalah salah satu penyebab utama selective empathy yang sering gak disadari. Ketika seseorang pernah mengalami pengalaman menyakitkan, otak secara otomatis akan melindungi diri dengan cara menghindari situasi atau orang yang mengingatkan pada trauma tersebut. Misalnya, kalau kamu pernah dikhianati oleh sahabat dekat, kamu mungkin jadi sulit berempati dengan orang lain yang mengalami masalah persahabatan karena hal itu memicu kembali rasa sakit yang pernah kamu rasakan.
Trauma gak selalu berbentuk kejadian besar seperti kecelakaan atau kekerasan. Bisa juga berupa pengalaman penolakan, diabaikan orang tua, atau bullying yang terjadi berulang kali. Dampaknya, kamu jadi membangun "tembok emosional" untuk melindungi diri dari rasa sakit yang sama. Sayangnya, tembok ini juga menghalangi kemampuanmu untuk merasakan empati secara utuh terhadap orang lain yang mengalami situasi serupa.
2. Lingkungan sosial dan budaya yang membentuk pola pikir sempit

Lingkungan tempat kamu tumbuh besar punya pengaruh besar terhadap cara kamu melihat dunia. Kalau sejak kecil kamu dibesarkan dalam lingkungan yang cenderung eksklusif atau punya prejudice terhadap kelompok tertentu, kemungkinan besar pola pikir ini akan terbawa sampai dewasa. Misalnya, kalau keluargamu selalu mengkritik orang dari latar belakang ekonomi berbeda, kamu mungkin jadi sulit berempati dengan mereka yang mengalami kesulitan finansial.
Budaya populer dan media sosial juga turut berperan dalam membentuk selective empathy. Seseorang cenderung lebih mudah berempati dengan isu-isu yang viral atau trending, sementara mengabaikan masalah lain yang sebenarnya sama pentingnya tapi gak mendapat sorotan. Algorithm media sosial yang menampilkan konten sesuai preferensi seseorang juga menciptakan "echo chamber" yang semakin mempersempit perspektif dan membuat mereka hanya peduli pada isu-isu tertentu saja.
3. Mekanisme pertahanan diri untuk menghindari emotional overload

Kehidupan modern membuat manusia terpapar dengan begitu banyak informasi tentang penderitaan dan masalah di dunia. Dari berita tentang bencana alam, kemiskinan, perang, hingga cerita sedih di media sosial. Kalau kamu berempati dengan semua hal tersebut, bisa jadi dirimu mengalami emotional overload atau kelelahan empati yang justru berbahaya bagi kesehatan mental.
Sebagai bentuk perlindungan diri, otak secara otomatis melakukan seleksi terhadap informasi mana yang perlu direspons dengan empati dan mana yang diabaikan. Ini sebenarnya mekanisme survival yang natural, tapi masalahnya adalah proses seleksi ini sering kali gak objektif. Seseorang cenderung lebih mudah berempati dengan orang yang mirip dengan diri sendiri atau situasi yang bisa dibayangkan terjadi pada diri sendiri, sementara mengabaikan penderitaan yang terasa "jauh" dari kehidupan.
4. Pengalaman hidup yang terbatas dan kurangnya eksposur terhadap keberagaman

Selective empathy juga bisa terjadi karena keterbatasan pengalaman hidup. Kalau kamu tumbuh dalam lingkungan yang homogen dan jarang berinteraksi dengan orang dari latar belakang berbeda, wajar aja kalau kamu sulit memahami perspektif mereka. Gak ada yang salah dengan hal ini, tapi dampaknya adalah empatimu jadi terbatas pada lingkaran yang itu-itu aja.
Keterbatasan ini juga bisa disebabkan oleh privilege yang kamu miliki tanpa sadar. Misalnya, kalau kamu lahir dari keluarga mampu, mungkin sulit bagimu untuk benar-benar memahami bagaimana rasanya hidup dalam kemiskinan. Bukan karena kamu gak mau peduli, tapi karena kamu gak punya referensi pengalaman yang cukup untuk bisa merasakan apa yang mereka alami. Inilah mengapa penting untuk terus memperluas wawasan dan berinteraksi dengan berbagai kalangan.
5. Bias kognitif dan stereotype yang mengakar dalam

Otak manusia punya kecenderungan untuk mengkategorikan informasi supaya bisa memproses data dengan lebih efisien. Sayangnya, proses ini sering menciptakan bias dan stereotype yang mempengaruhi cara manusia berempati. Misalnya, kalau kamu punya stereotype bahwa "orang kaya pasti hidupnya senang," kamu mungkin jadi gak bisa berempati ketika melihat mereka mengalami masalah mental atau kesepian.
In-group bias juga berperan besar dalam selective empathy. Seseorang secara natural lebih mudah berempati dengan orang yang dianggap sebagai "kelompok", entah itu berdasarkan usia, profesi, hobi, atau bahkan fandom yang sama. Sebaliknya, seseorang cenderung kurang empati terhadap out-group atau orang yang dianggap berbeda dari dirinya. Bias ini sering gak disadari tapi dampaknya sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari caramu merespons berita hingga memilih siapa yang akan dibantu.
Selective empathy memang fenomena yang kompleks dan gak bisa diselesaikan dalam semalam. Terpenting adalah kamu mulai sadar akan pola-pola ini dalam dirimu sendiri. Kalau mampu mengenali penyebab selective empathy, kamu bisa mulai memperluas kapasitas empatimu dan menjadi pribadi yang lebih berperasaan dan adil. Ingat, dunia butuh lebih banyak orang yang bisa berempati secara genuine, dan itu bisa dimulai dari dirimu sendiri!