Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi wanita (pexels.com/Liza Summer)
ilustrasi wanita (pexels.com/Liza Summer)

Intinya sih...

  • Takut dianggap tidak peduli saat menolak permintaan orang lain karena kebiasaan memenuhi kebutuhan orang lain.

  • Terbiasa menyenangkan orang lain sejak kecil, membuat penolakan terasa seperti tindakan “nakal” yang harus ditebus dengan permintaan maaf.

  • Merasa ada tanggung jawab atas perasaan orang lain sehingga muncul keinginan untuk “memperbaiki” situasi lewat permintaan maaf.

Menolak permintaan orang lain seharusnya menjadi bagian wajar dari interaksi sosial. Setiap orang punya batas energi, waktu, dan kapasitas, sehingga tidak mungkin selalu bisa memenuhi harapan semua pihak. Namun, bagi sebagian orang, mengatakan “tidak” saja belum cukup, harus diikuti permintaan maaf, meski tidak melakukan kesalahan apa pun. Hal ini bukan sekadar kebiasaan, tapi sering kali berakar dari perasaan bersalah yang sulit dikendalikan.

Permintaan maaf yang muncul setelah menolak sering menunjukkan adanya tekanan emosional dari dalam diri. Ada perasaan tidak enak, takut mengecewakan, atau khawatir citra diri berubah di mata orang lain. Padahal, menjaga batas bukanlah bentuk pelanggaran sosial, melainkan wujud dari penghargaan terhadap diri sendiri. Berikut lima alasan mengapa seseorang sering merasa perlu minta maaf setelah menolak permintaan orang lain.

1. Takut dianggap tidak peduli

ilustrasi wanita (pexels.com/fauxels)

Seseorang yang terbiasa memenuhi kebutuhan orang lain bisa merasa bersalah saat sesekali menolak. Ketakutan utamanya adalah dianggap tidak peduli, egois, atau tidak suportif. Maka, untuk menyeimbangkan keputusan itu, ia buru-buru meminta maaf.

Padahal, menolak bukan berarti tidak peduli. Justru dengan mengenali batas diri, seseorang bisa menjaga relasi dalam jangka panjang, karena hadirnya tetap sehat dan tidak dilandasi keterpaksaan.

2. Terbiasa menyenangkan orang lain sejak kecil

ilustrasi wanita (pexels.com/MART PRODUCTION)

Banyak orang dibesarkan dengan pola asuh yang mengajarkan bahwa menjadi anak baik berarti tidak mengecewakan siapa pun. Kebiasaan ini terbawa hingga dewasa, membuat penolakan terasa seperti tindakan “nakal” yang harus ditebus dengan permintaan maaf.

Tanpa disadari, pola ini membuat seseorang menilai dirinya berdasarkan seberapa senang orang lain terhadapnya. Maka ketika menolak, muncul rasa bersalah yang kuat, meski secara logika tidak ada yang salah dilakukan.

3. Merasa ada tanggung jawab atas perasaan orang lain

ilustrasi wanita (pexels.com/Liza Summer)

Ada yang merasa bahwa penolakan bisa menyakiti hati orang lain, dan itu menjadi tanggung jawabnya. Maka, meskipun keputusan menolak itu sah, tetap muncul keinginan untuk “memperbaiki” situasi lewat permintaan maaf.

Padahal, setiap orang bertanggung jawab atas perasaannya sendiri. Menolak secara sopan dan jujur adalah bentuk komunikasi yang sehat, bukan sesuatu yang harus diikuti rasa bersalah berlebihan.

4. Ingin tetap dipandang baik dan ramah

ilustrasi wanita (pexels.com/Khoa Võ)

Bagi sebagian orang, citra diri sebagai sosok baik, bisa diandalkan, dan menyenangkan sangat penting. Maka ketika perlu menolak, ada rasa takut citra itu akan retak. Permintaan maaf menjadi semacam upaya mempertahankan image tersebut.

Sayangnya, jika hal ini terus terjadi, seseorang bisa terjebak dalam perangkap ekspektasi sosial. Segala tindakan diukur berdasarkan bagaimana pandangan orang lain, bukan berdasarkan kenyamanan atau kebenaran pribadi.

5. Tidak terbiasa menetapkan batas dengan tegas

ilustrasi wanita (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Sering minta maaf setelah menolak juga bisa muncul karena belum terbiasa membela batas diri sendiri. Kata “tidak” terasa kaku atau kasar, sehingga perlu dilunakkan dengan kata “maaf” agar terasa lebih bisa diterima.

Padahal, penolakan yang disampaikan dengan jelas dan sopan sudah cukup tanpa perlu tambahan rasa bersalah. Butuh proses belajar untuk menyadari bahwa menetapkan batas itu bukan tindakan buruk, melainkan bagian dari relasi yang sehat.

Permintaan maaf setelah menolak mungkin terlihat sopan, tapi jika selalu muncul dari rasa bersalah yang tidak sehat, maka bisa jadi tanda bahwa seseorang belum berdamai dengan haknya sendiri. Menolak bukan bentuk penolakan terhadap orang, tapi pilihan sadar untuk menjaga keseimbangan. Saat seseorang bisa berkata “tidak” tanpa rasa bersalah, itu artinya ia mulai membangun hubungan yang sehat baik dengan orang lain, maupun dengan dirinya sendiri.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team